16. accident (2)

1.5K 285 65
                                    

Naruto menjatuhkan kedua lututnya di atas karpet tebal yang tergelar, agar mampu menatap wajah wanita di depannya lebih dekat. Raut wajah itu tak pernah berubah di mata birunya, tetap cantik nan mempesona seperti dahulu kala.

Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mungil namun mancung, dan kedua belah bibir sewarna cherry yang ranum. Bibir itu ... bibir yang dahulu menjadi candu baginya. Ada setitik hasrat untuk kembali memagutnya saat itu juga.

Tetapi, ia memilih untuk menahan, ia bukanlah pria yang senang mencuri kesempatan.

Tanpa terasa kedua bibir pria itu melengkungkan senyuman, seiring angannya kembali mengingat masa silam. Masa ketika Hinata pertama kali mencoba menenggak alkohol setelah hari kelulusan, tentu ia mendampinginya. Sebagai kekasih yang baik ia tentu berusaha menjaga miliknya, apalagi ia lebih dewasa dari Hinata; tiga tahun jarak usia mereka.

Kala itu ia menjadi satu-satunya pria yang menyaksikan bagaimana gilanya wanita itu ketika kehilangan kesadaran; Hinata menari-nari seraya menanggalkan satu-persatu bajunya hingga nyaris telanjang di depannya. Membuat ia harus mati-matian menahan hasrat lelakinya.

Ah, hanya dengan mengingatnya saja nyatanya telah sukses membuat wajah sang pria Kanada terasa memanas seketika.

"Kau sama sekali tidak berubah, masih tetap keras kepala seperti dulu." Lirihnya, sembari terkekeh ringan. Naruto tak habis pikir, wanita itu tentu tahu jika dirinya tak bisa meminum alkohol, namun masih saja memaksa.

Tentu saja Hinata tidak menjawabnya, kedua kelopak matanya pun masih tertutup sempurna. Hanya erangan pelan yang lolos dari kedua belah bibir ranumnya. "Ngghhh~"

"Jangan terlalu banyak meminum alkohol, tidak baik untuk kesehatanmu." Naruto mengambil botol soju dalam dekapan Hinata, menaruhnya di bawah meja. Setelahnya, ia mengusap jejak air mata di kedua pipi tirus itu dengan tangan kanan.

Sedangkan wanita itu tampak tak terganggu sama sekali. Tubuh yang pada awalnya berbaring miring, kini berubah terlentang. Akibat gerakannya, membuat gaun tidur berbahan satin yang melekat di tubuhnya tersingkap pada bagian dada. Membuat kedua aset pribadinya sedikit mengintip dari celah kain yang terbuka. Napasnya yang terdengar teratur menandakan jika dirinya tak sedikit pun hendak terjaga.

Tanpa sadar Naruto meneguk salivanya sendiri kala melihatnya, seiring ingatan-ingatan malam penuh gairah yang pernah mereka lalui berdua kembali berputar dalam angan.

Namun, sedetik kemudian ia menggelengkan kepala. Ia harus segera angkat kaki dari sana jika tidak ingin lepas kendali.

"Baiklah, sebaiknya aku pulang sekarang. Tidur yang nyenyak." Pria pirang itu bangkit berdiri, sejenak mengusak rambut sang wanita sebelum kedua kakinya benar-benar akan terayun pergi.

Namun, sebelum satu langkah ia telusuri tiba-tiba Hinata menahan pergelangan tangannya. Ketika Naruto menoleh, kedua kelopak mata wanita itu telah membuka.

"Ada apa?"

"Jangan ambil Bolt, kumohon jangan." Hinata tampak susah payah bangkit dari posisinya, raut wajah itu memelas penuh duka. Tangannya yang terasa dingin sekali pun tak ingin terlepas dari tangan kiri sang pria arunika.

Naruto tak langsung meresponsnya, ia terdiam beberapa saat menatapi wajah sang wanita, meneliti segala ekspresinya. Entahlah, setelah mendengar ucapan Hinata, setitik amarah datang dengan tiba-tiba menyelusup ke dalam hatinya.

"Kenapa tidak boleh? Aku ayahnya." Pria itu berujar dingin pada akhirnya.

"Aku ibunya. Aku yang melahirkannya, semoga kau tidak lupa hal itu, Naruto-kun. Kau ... hik. Kau tidak akan bisa merebut Bolt dengan mudah."

MINE✔Where stories live. Discover now