15. accident (1)

1.1K 262 73
                                    

Kedua netra indah itu tampak sayu, memandang tak fokus pada botol-botol soju di atas meja; tepat di hadapannya. Tangan kanannya tampak memutar-mutar gelas berkaki yang separuh terisi dengan gerakan bosan. Sedangkan dirinya tampak duduk bersimpuh di kaki sofa, pada permadani merah yang tergelar di bawah tubuhnya.

Ingatannya mundur pada beberapa jam ke belakang, mengingat kejadian setelah mengantar Sakura pulang. Sungguh, pemandangan ketika ia tanpa sengaja melihat Naruto dan anaknya tengah bercengkerama dengan Ameno selalu berputar dalam angan.

Di mata Hinata, mereka terlihat begitu bahagia. Tentu melihat hal tersebut sukses kembali menggores hatinya, menambah jajaran luka. Ah, harinya semakin kelam saja. Lebih muram lagi karena sang ayah sedang tiada di rumah, sehingga ia tiada memiliki tempat untuk berkeluh kesah.

Setelah kejadian tersebut, pada akhirnya ia memutuskan untuk membeli beberapa botol soju untuk menemani malamnya. Ia berpikir, ia butuh cairan beralkohol tersebut untuk menenangkan pikirannya yang kacau bak benang kusut. Ia tersenyum miris meratapi nasib yang ia alami, kemudian meneguk habis sisa cairan bening nan memabukkan dalam gelasnya.

"Kurang. Hik. Masih kurang. Aku masih haus." Merasa belum puas, wanita itu kembali menuang isi botol di tangan kanannya pada gelas di hadapan hingga penuh.

Senyumannya kian bertambah lebar ketika cairan tersebut berhasil melewati kerongkongan. Namun, ketika atensinya menatap sampul sebuah majalah fashion tak jauh dirinya, senyumannya menghilang. Entah kenapa di mata Hinata, potret wanita dengan gaun spektakuler tersebut seakan tengah tersenyum mengejek padanya.

"Tch, sialan! Hik. Kau menertawaiku, hah?!" Hinata mengumpat keras, bahkan suaranya terdengar menggema di keheningan ruang keluarga. "Aku memang sangat menyedihkan. Hahahaha. Hik." Di sela cegukan, ia tertawa kencang. Ah, mabuk sudah mulai menguasai dirinya.

"Semuanya pergi. Semuanya menghilang. Aku sendirian. Bahagia sekali hidupku." Berbanding terbalik dengan gurat senyum yang berhasil terukir di kedua belah bibir, air matanya justru kembali mengalir. "Ayo minum lagi."

Dan lagi-lagi ia meneguk minumannya, entah hingga gelas ke berapa. Yang ia tahu, pening telah mulai merasuk dalam kepala cantiknya.

"Sepertinya sudah cukup. Kepalaku berat sekali." Dengan sisa tenaga, Hinata bangkit dari posisinya. Tetapi, ketika ia baru saja berhasil berdiri tegak, kedua kakinya melemas tiba-tiba, membuat dirinya terjatuh di atas sofa.

"Oh, shit! Kenapa jadi banyak bintang-bintang? Hik. Indahnya~" setengah meracau, ia kembali tertawa kencang seperti orang gila. Kedua kelopak matanya menutup sempurna, dengan sebuah botol soju yang masih berada dalam dekapannya.

Sedangkan di ambang pintu ruang keluarga, Ayame; sang babby sitter hanya mampu memandang sendu majikannya. Sesungguhnya ia merasa bersalah, nyonyanya seperti itu pasti karena ia yang tak mampu mencegah sosok pria asing berambut pirang membawa Tuan muda kecilnya.

***

Wajah tidur Bolt tampak begitu lelap dalam gendongan. Setelah berhasil keluar dari pintu mobilnya, Naruto berjalan dengan teramat pelan menuju pintu utama mansion Hyuuga agar sang jagoan tak terusik dari mimpinya yang indah.

Malam memang sudah semakin kelam ketika kedua kaki panjang pria itu menginjak pelataran tempat tinggal sang putra. Ah, ia memang sedikit terlambat untuk mengantar Bolt pulang, ia memang sengaja mengulur waktu, bahkan sejujurnya ia enggan mengembalikan sosok pria kecilnya pada ibunya.

Namun, seorang pria harus bisa memegang janjinya, bukan? Tentu ia menepati apa yang telah ia janjikan pada Hinata.

Hinata, ya?

Naruto terdiam cukup lama di depan daun pintu besar ketika nama ibu dari anaknya muncul dalam kepala. Rasanya sudah lama sekali ia tak bertatap muka dengan wanita yang telah berhasil menjungkir balikkan hidupnya.

Bila boleh jujur, sebenarnya ada setitik rasa rindu yang mati-matian ia tahan. Ia tak ingin berharap lebih, sudah pasti Hinata menghindar untuk bertemu dengannya, seperti kemarin lusa ketika ia mengantarkan Bolt setelah seharian menghabiskan waktu dengannya.

Lagipula, jika pun bertemu untuk apa? Mereka sudah seperti orang asing sekarang. Naruto tentu masih ingat kejadian beberapa hari yang lalu ketika ia melihat Gaara dan Hinata semakin dekat. Ia tersenyum miris, hanya ia sendiri yang masih menyimpan rasa.

Tentu ia tak akan lagi mengemis cinta, ia masih memiliki harga diri yang tinggi. Jika Hinata bisa tersenyum bersama Gaara, ia pun bisa bersenang-senang dengan wanita lainnya, bukan?

Bukankah itu yang dinamakan impas?

Yah, meskipun sialnya ia tak bisa benar-benar merasa senang ketika bersama dengan wanita selain Hinata.

Kepala pirang itu menggeleng sejenak untuk menjernihkan pikiran. Ia membenarkan posisi Bolt dalam gendongannya, lantas mengetuk pintu di depannya dengan tangan kanan.

Dan ... tak lama setelah ketukannya yang ke tiga, terdengar suara langkah kaki kian mendekat, disusul daun pintu yang perlahan tersingkap. Sosok baby sitter berseragam biru tua-lah yang berada di baliknya.

"Silakan masuk, Tuan." Ayame membukakan pintu semakin lebar ketika menangkap sosok pria yang sore tadi membawa Tuan muda kecilnya.

Sedangkan Naruto hanya mengangguk sembari menempelkan jari telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan agar pengasuh putranya tidak bersuara.

Ayame yang paham maksudnya---setelah melihat Bolt tengah terlelap dalam dekapan ayah kandungnya---segera menepi, memberi jalan pada Naruto tanpa menimbulkan suara sama sekali.

Namun, ketika langkah kaki Naruto semakin masuk lebih dalam, kedua mata birunya menangkap presensi Hinata. Hatinya mencelos melihat wanita yang masih ia cintai terlihat begitu depresi. Terlihat dari banyaknya botol soju yang berserakan di sekitar sang wanita yang tertidur dengan posisi tak nyaman di atas sofa.

Apakah harimu sangat buruk, Hinata?

Secara spontan langkahnya terhenti, tentu Naruto masih ingat jika tubuh Hinata tak bisa menoleransi alkohol sama sekali.

Ia hanya mampu memandang sang wanita hyuuga dengan tatapan iba. Meskipun dalam radius yang cukup jauh, nyatanya ia masih mampu menangkap jejak air mata di kedua pipi tirus sang wanita. Ia pun tak mengerti, ia sudah berulang kali disakiti, namun masih saja tetap peduli.

"Sus, tolong tidurkan Bolt di kamarnya." Ujar Naruto sembari menolehkan kepala, pada sang pengasuh yang berada di belakang tubuhnya. Setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk mengecek kondisi wanita yang dahulu begitu mencintainya. Setidaknya untuk sedikit membuang rasa cemas yang datang tiba-tiba.

"Baik, Tuan." Tentu Ayame segera menerima sosok kecil Tuan mudanya perlahan, lantas melangkah menjauh menuju kamar sang balita tampan di lantai dua. Meninggalkan dua entitas di ruangan yang sama.

Pada akhirnya takdir kembali mempertemukan mereka berdua, baik jiwa maupun raga untuk kembali bersua.

Akankah rindu yang membuncah akan mendapatkan penawarnya?

Ataukah justru kembali menciptakan malapetaka?

Namun, untuk saat ini Naruto lebih memilih untuk menuruti apa kata hatinya. Apa pun hal yang akan terjadi di depan sana, ia hanya akan mengikuti setiap alurnya.

***

Tbc...

Don't like, don't read ya...
Kalau tidak suka, cukup tinggalkan lapaknya^^

Thanks to Ainun_M93

Hope you enjoy it!

MINE✔Where stories live. Discover now