7.

78K 4.7K 24
                                    


Setelah menyakinkan kedua orangtuanya agar diizinkan untuk tinggal di rumah sendiri bersama Evelyn, hari ini setelah seminggu pernikahan mereka Sean membawa Evelyn ke sebuah rumah. Rumah bergaya minimalis berwarna hijau lengkap dengan garasi dan juga halaman depan yang cukup untuk meletakkan tanaman-tanaman hias. Evelyn menatap sekeliling rumah itu, sepertinya rumah ini baru saja selesai dibangun.

"Hei! Kau ingin tinggal di luar?" tanya Sean dengan nada cukup tinggi.

Evelyn terlonjak kaget. Ia segera menyeret koper bawaannya ke dalam mengikuti Sean yang sudah meninggalkannya.

"Kau rapikan semua barang-barang ini dan jangan sampai rusak!" perintah Sean pada Evelyn. Laki-laki itu menunjuk kardus kardus yang ditumpuk yang berada di dekat pintu masuk utama.

"Iya, Mas." Evelyn sedikit gugup mengucapkannya. Langkah kecilnya membawanya kepada tumpukan kardus dan memindahkannya ke kamar. Gadis itu mulai menata barang-barang milik suaminya.

Hari sudah sore saat Evelyn selesai merapikan semua isi rumah mereka. Ia tidak melihat keberadaan Sean sejak laki-laki itu meninggalkannya dengan tumpukan kardus.

Evelyn beranjak ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ia senang karena ada bathtub yang bisa ia pakai untuk merendam tubuhnya yang sudah lelah.

Setengah jam kemudian ia keluar dengan tubuh yang dibalut bathrobe berwarna putih. Kaki jenjangnya melangkah menuju lemari pakaian. Tangan gadis itu terulur untuk mengambil baju tidur yang dibelikan kakak iparnya saat mereka berbelanja beberapa hari yang lalu.

Setelah selesai, Evelyn turun ke dapur membuat makan malam untuk mereka berdua. Ia membuka kulkas yang sudah berisi penuh berbagai macam bahan makanan. Setidaknya makanan yang masuk ke perutnya jauh lebih enak dan bergizi dari sebelumnya.

Evelyn membuat sup ayam yang ia tahu adalah makanan kesukaan Sean. Informasi penting itu ia dapatkan dari ibu mertuanya saat mengajarinya membuat sup ayam favorit putra bungsunya.

Evelyn menuangkan sedikit kuah pada telapak tangannya, lalu menyicip rasa seperti seorang juri lomba memasak. Ia menambahkan sedikit garam ke dalamnya saat indra perasanya merasa kurang pas saat menyicip tadi.

Setengah jam kemudian beberapa menu makan malam sudah tertata rapi dan indah di meja makan. Gadis itu beranjak menuju ruang tamu untuk menunggu suaminya pulang.

Berjam-jam lamanya ia menunggu, tapi laki-laki itu belum juga menunjukkan tanda-tanda pulang. Evelyn mulai mengerjap-erjap saat kedua netranya ingin tertutup. Beberapa kali ia harus menahan diri agar tidak tertidur.

Sementara itu, saat hari sudah berganti lelaki bertubuh tinggi itu melangkahkan kedua kakinya masuk. Ia mendapati istrinya sedang tertidur dalam posisi bersandar pada sofa. Sean meninggalkannya dan segera masuk ke dalam kamarnya.

***

"Pulang jam berapa tadi malam, Mas?" tanya Evelyn saat Sean turun dengan pakaian rapi.

Sean menoleh sebentar lalu segera pergi tanpa mengucapkan apa pun.

"Hati-hati di jalan, Mas," ucap Evelyn saat laki-laki itu hendak memasuki mobilnya.

Sean berhenti sebentar, lalu sepersekian detik kemudian kembali melangkahnya kakinya. Deruman mobil miliknya menjadi balasan untuk Evelyn.

Setelah sean berangkat, Evelyn pun juga pergi. Ia akan menemui kakak iparnya. Perempuan itu selalu menganggap dirinya seperti adiknya sendiri.

Evelyn terus memperhatikan kakak iparnya yang sifatnya berbeda jauh dengan suaminya. Gadis itu bisa melihat bagaimana Agatha adalah sosok wanita yang penuh kasih dan juga mudah bergaul. Dan ia ingin bilang bahwa Agatha luar biasa.

Evelyn tersenyum sedih. Harusnya laki-laki seperti Sean tidak menikah dengannya. Laki-laki itu punya standar yang tinggi untuk pasangannya. Kata-kata Agatha terus terngiang di pikirannya.

Evelyn menemui Moses—keponakannya. Anak laki-laki itu seperti ayahnya, tidak banyak bicara dan sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa menit berada di sampingnya, sekalipun ia tidak memandang Evelyn.

Sedikit usil, Evelyn menghancurkan susunan mobil-mobil milik bocah itu. Dan satu teriakan seperi memakai toa berhasil memenuhi ruangan yang cukup luas itu.

"Maafin Tante, ya," ucap Evelyn tersenyum. Ia memperbaiki kembali susunan miniatur roda empat itu. Namun bocah laki-laki itu tetap tidak terima, ia mengacak kembali mainannya sambil menangis keras.

"Sutt, Moses jangan nangis, ini tante benerin lagi. Udah rapi kan?" Evelyn menunjuk deretan mobil-mobilan yang sekian detik kemudian sudah kembali berantakan.

"Moses kenapa nangis, Dek?" Agatha tiba-tiba datang. Ditangannya ada segelas susu dan juga makanan dalam porsi kecil.

Wanita itu duduk kemudian memangku putranya yang sudah mulai reda tangisnya.

"Aku mainin tadi mainannya, kak. Tapi kayaknya dia nggak suka kalau mainannya ada yang megang," jawab Evelyn tersenyum canggung.

"Moses jangan pelit-pelit dong sama tantenya, nanti tantenya nggak mau datang lagi ke sini gimana?" tanya Agatha sambil menyuapinya.

"Mobil aku dilusakin, Ma. Ante nakal," jawab moses mengadu.

"Tante baik, ya," kata Evelyn membalas ucapan anak laki-laki itu.

Moses menatapnya tidak suka. Ia mengambil beberapa mainannya dan meletakkannya di dekat sisinya. Dengan cepat Evelyn mencuri satu mainan dan memasukkan ke dalam kantong hoodienya.

"Dek, balikin nanti dia nangis," tegur Agatha melihat keusilan adik iparnya.

"Moses baik kan? Buat Ante aja ya, mainannya Ante nggak punya mainan, lho." Evelyn memelas berharap keponakannya akan luluh. Namun yang terjadi memang beda dari ekspetasi. Anak laki-laki itu memasukkan tangannya untuk mencari mainannya. Evelyn tersenyum kecut.

"Kamu sama Sean gimana sekarang? Dia nggak kasar kan sama kamu?" tanya Agatha setelah keheningan beberapa saat menyelimuti mereka.

Evelyn menggeleng. "Baik-baik aja, Kak. Walau kita kayak orang yang nggak saling kenal," jawab Evelyn.

Agatha menyudahi menyuapi Moses, putranya terlihat sangat mengantuk dengan perut yang sudah membuncit. Ia memindahkannya ke atas karpet berbulu.

"Moses cepat banget ngantuknya, Kak."

"Udah main, udah kenyang, apalagi? Ya tidur deh." Agatha beranjak ke dapur disusul oleh Evelyn.

"Kamu jangan ambil hati ya kalau Sean ngomong yang nggak enak di depan kamu. Atau semisal dia kasar sama kamu, kamu jangan kasarin balik. Diamin aja, atau kalau misalnya kamu nggak mau ketemu dia, kamu bisa tinggal sementara di sini." Agatha memandang Evelyn dengan sedih. Perempuan itu saja sulit menghadapi adiknya. Apalagi Evelyn, orang asing yang dipaksa menikah bersama adiknya.

"Iya, Kak." Evelyn menjeda sebentar ucapannya. Setelah mengembuskan napasnya perlahan, ia kembali berucap, "Mas Sean nggak akan bunuh aku kan, Kak?"

Agatha tertawa—menyembunyikan kekhawatirannya dan rasa sakit yang menjalar di hatinya saat remaja di depannya bertanya dengan takut seolah hidupnya akan penuh penderitaan. Untuk itu Agatha hanya bisa berdoa agar hubungan di antara mereka berdua bisa membaik.

"Tenang aja, Sean nggak seperti itu kok." Evelyn langsung tersenyum lega mendengarnya.

Kecuali dia benar-benar hilang kendali.

tbc.

Vote & comment ya biar author semangat update  <3

Follow juga akun wp FayannaCrystal biar ga ketinggalan info update

I'm SorryWhere stories live. Discover now