Chapter 4 ♗

1.2K 204 54
                                    

Senyum kecil (1)

⧫︎ ⧫︎ ⧫︎

"O- Oh..."

Dina meraba pedang kayu yang baru saja Valias serahkan padanya.

"Teksturnya masih kasar karena belum dihaluskan. Kau bisa meminta orang untuk menghaluskannya," Valias berkata.

"....Kakak... "

Dina sedang menimbang-nimbang apakah dia bisa memberitahu isi hatinya atau tidak.

Valias menyadari itu. "Dina, kau tidak perlu lagi merasa gugup padaku. Katakan saja. Jika seseorang memiliki sesuatu untuk dikatakan, maka orang itu harus mengatakannya."

Valias mendengar nasihat itu dari salah satu dosennya. Sekarang dia mengatakannya pada Dina.

Dina, mendengar ucapan kakaknya terhenyak sebelum memperoleh serbuan keberanian untuk mengutarakan isi pikirannya.

"A, Apakah kakak mau membantuku menghaluskannya?" tanyanya.

"Aku?"

"I- Iya. Kakak membuatkan ini untukku. Aku tidak ingin ada campur tangan orang lain mengotorinya." Dina mencicit.

.....Mengotori?

Valias hampir tercengang dengan kata-kata yang Dina pilih. "Tentu."

Mata Dina berbinar. Lantas berseru penuh keceriaan. "Terimakasih kakak!"

Dina memandangi wajah kakaknya. Valias belum mengubah senyum kecilnya. "Kau masih mau di sini? Atau ada yang harus kau lakukan?"

"Aku akan membereskan ini. Kakak bisa beristirahat," Dina tersenyum lucu.

Valias mengangguk mengerti. Hendak membangkitkan tubuhnya berdiri. Tanpa disangka mendapatkan pusing mendadak melanda kepalanya. Membuat pandangannya menggelap sedikit dan membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.

"Kakak!" Dina sontak bangkit. Merasa panik berpikir kakaknya akan jatuh. Tapi sudut matanya menangkap penampakan seseorang berlari melompati semak dan meraih tubuh terhuyung kakaknya.

Valias berhasil menjaga keseimbangannya walau terlihat kikuk. Pandangannya masih agak gelap. Dia berusaha menjelaskan visinya dengan memfokuskan matanya pada salah satu sudut taman.

Tanpa dia sadari sepasang tangan melekat di kedua sisi lengannya.

Tubuh ini selemah apa?

Tubuhnya sebelumnya cukup tinggi, memiliki cukup otot, dan daya tahan tubuh yang bagus. Terakhir dia sakit adalah ketika ayahnya masih ada. Sejak saat itu dia harus bekerja untuk mendapatkan uang dan dari situ tubuhnya menjadi lebih kuat dan terlatih.

Tubuh Valias ini berbanding terbalik dengan tubuhnya dulu.

Apakah darah rendah?

"Kakak..."

Mendengar suara ketakutan Dina Valias mencoba menoleh ke arah anak itu. Pandangannya masih agak gelap dan berkabur. Tapi dia masih bisa melihat wajah khawatirnya.

Valias memaksakan senyum kecil dan menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."

"Aku akan meminta pelayan menyiapkan teh."

Sebuah suara muncul di sampingnya. Kali ini bukan suara kecil Dina. Tapi lebih rendah. Suara anak laki-laki. Valias sudah pernah mendengar suara anak ini. "Danial?"

Danial tidak menjawab. Matanya yang lebih rendah dari Valias mengharuskannya mendongak sedikit untuk meneliti wajah kakaknya.

Pucat.

[HIATUS] Count Family's Young Master 백작가의 젊은 주인Where stories live. Discover now