2

13 5 1
                                    

Happy Reading.......

Usiaku sudah memasuki angka 17 tahun, meski begitu aku masih tidur satu ranjang yang sama dengan ibu. Di rumah memang ada kamar lain, karena keterbiasaan aku tidak pernah bisa tidur sendiri. Ku rasa ibu juga merasakan hal yang sama. Setahuku ibu tidak pernah sekamar dengan ayah, hubungan mereka  tidak baik. Entah sejak kapan hubungan mereka mulai retak, tapi selama aku ada disini hubungan mereka memang sudah tidak harmonis. Tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Aku tak paham hal apa yang masih meraka pertahankan, hingga saat ini mereka masih mempertahankan status rumah tangga dan tinggal di satu atap yang sama. Mungkin aku terkesan seperti anak durhaka, karena di lubuk hatiku yang terdalam aku memang mengharapkan perpisahan kedua orangtuaku. Aku lelah dengan kondisi ini, hubungan kami sangat rumit.

Aku kesal pada ibu yang masih diam atas semua perlakuan ayah. Aku benci ayah dengan semua perlakuan bejatnya pada ibu. Aku malu pada diriku sendiri, selama ini aku hanya bisa diam dan meratapi nasibku.

"Bang Yasa belum pulang dari kemarin." suara ibu membuyarkan isi pikiranku. Aku berbalik menghadap ibu, menatap wajahnya lamat-lamat. Ibu cantik, parasnya ayu sayangnya wajah cantiknya selalu dihiasi mendung kesedihan.

"Kenapa juga harus peduli sama dia ?" selain dengan ayah, hubunganku dengan Bang Yasa juga tidak harmonis. Bang Yasa adalah anak tertua di keluargaku, dia kakak kandungku. Sama halnya seperti ayah, kami memang jarang berinteraksi. Aku juga benci Bang Yasa, aku tidak suka sikap kasarnya yang memperlakukan ibu semena-mena. Meski begitu ibu masih tetap menyayangi Bang Yasa, sudah jelas terlihat dari perubahan air mukanya saat aku mulai menjelekkan Bang Yasa. Kalau dipikir-pikir rasanya aku terlalu membenci banyak orang, bahkan diriki sendiri.

Aku beringsut mendekat pada ibu, kemudian mendekapnya erat "Tidur Bu. Bang Yasa udah gede, dia bisa urus dirinya sendiri, gak usah dijadikan beban pikiran." seringkali aku dibuat heran dengan pemikiran ibu, kenapa juga dia harus memikirkan semua orang ? parahnya lagi orang yang selalu ia pikirkan adalah orang-orang yang selalu menyakitinya.

Pemandangan biasa yang aku lihat tiap kali bangun tidur adalah wajah ibuku, saat tidur pun beliau masih terlihat cemas. Samar-samar aku masih bisa melihat lipatan-lipatan di dahinya. Aku membenarkan selimut ibuku, kemudian beranjak dari kasur menuju kamar mandi.

Tidak ada sarapan pagi, bau masakan ataupun anggota keluarga yang bersliweran di rumah untuk  menyambut pagi. Aku menatap ke sekeliling rumah, yang ketemukan hanyalah kesunyian yang mengisi setiap sudut ruangan. Sepertinya ayah dan Bang Yasa memang tidak pulang kemarin malam. Ibu memang jarang memasak, biasanya aku akan pergi ke sekolah dengan perut kosong. Tidak masalah, setidaknya aku masih punya uang untuk membeli makanan.

Biasanya aku akan berjalan kaki menuju sekolah, jarak sekolahku tidak terlalu jauh. Namun kalau kali ini aku jalan kaki, bisa-bisa terlambat. Aku memang tidak bangun kesiangan pagi ini, aku hanya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk melamun di kamar mandi tadi. Ku lirik jam di tangan kiriku, masih jam setengah delapan masih ada waktu untuk berangkat ke sekolah.

Untungnya juga aku tidak harus menunggu lama kedatangan bus di halte. Aku duduk di bangku paling belakang tempat favoritku saat menumpangi bus, kursinya lebih luas. Baru beberapa meter bus berjalan, mendadak bus di rem kembali. Aku mendongak ke depan, ku pikir bus kami menabrak sesuatu di depan. Nihil, di depan masih aman.

"Permisi." ucap seseorang dari arah sampingku

Aku menoleh, mendapati seorang cowok dengan seragam sama sepertiku menenteng jaring bola basket di tangannya. Ku geser bokongku menjauh, memberikan ruang untuknya duduk. Ku rasa orang disampingku ini adalah penyebab bus diberhentikan mendadak tadi.

GanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang