4

7 0 0
                                    

Aku terus berlari hingga sampai di depan pintu toilet. Okay, aku harus memenangkan diri. Yang tadi itu cuma inseden, artinya tidak disengaja. Aku menstabilkan nafasku dan membuka pintu toilet.

"Ehh ngapain lo disini ?" Aku terkejut mendapati kerumunan cowok-cowok yang sedang berganti pakaian, segera ku tutup kembali pintu.

Astaga....benar saja aku salah masuk toilet. Toilet cowok dan cewek di sekolahku bersebelahan seharusnya aku baca petunjuk yang ada di pintu.

Aku kembali berjalan menuju toilet sebelah, tapi sebelumnya aku ingin memastikan sesuatu. Ku buka satu persatu pintu toilet. Dan untungnya kosong.

"Aaaaaa.....sial-sial." Aku berteriak sembari menghentak-hentakkan kedua kakiku kesal.

Seharusnya aku menolak taruhan konyol tadi, sekarang aku hanya punya satu harapan. Semoga saja tidak ada teman sekelasku yang melihat kejadian tadi. Bisa habis aku dijadikan bulan-bulanan mereka.

Aku mengangkat wajahku, menatap pantulan wajahku di cermin. Pipiku tampak merah persis seperti kepiting rebus, aku tak menyangka efeknya akan sedahsyat ini. Detak jantungku tidak beraturan, kakiku terasa lemas.

Tapi apa yang buat aku uring-uringan seperti ini ?

Jatuhnya ? Ciumannya ? Atau karena masuk toilet cowok ?

"Akkhh...." Aku menggusar rambutku asal.

Aku tidak pernah berciuman. Ralat dicium maksudku. Tapi yang tadi itu tidak bisa dianggap sebagai ciuman kan ?

Aku menunduk ke wastafel, membasuh wajahku. Aku harus segera menenangkan diri.

Brakkk....

Suara pintu yang dibanting mengalihkan perhatianku, tampak Luna dengan wajah gusarnya disana.

"Gue pikir lo ke kelas." wajahnya tampak sedikit panik.

"Lo gak papa kan ?" tanyanya kembali.

Aku berusaha tampak setenang mungkin "Enggak lah," sahutku enteng.
"Kenapa lari tadi ?" Sampailah ke inti pembicaraan. Aku harus jawab apa ? Ayo Nita mikir ! Aku memerintah otakku untuk berpikir tapi nihil. Otakku kosong, setiap kali berpikir malah teringat kejadian tadi. Sial.... pipiku terasa panas lagi.

"Cieee...cieee. Yang dicium kapten basket." Luna malah menggodaku.

Ku angkat wajahku angkuh, membuktikan kejadian tadi sama sekali tidak berefek bagiku. "Mana ada ?" sahutku asal, aku yakin kini wajahku pasti sudah merah tapi aku tak mau tampak lemah.

"Lo suka Angga ?" Pertanyaannya kini malah jadi tambah absurd.

"Enggak lah."

"Kenapa lari ? Terus ni pipi kenapa kayak tomat masak ?" Luna bertanya sembari menunjuk-nunjuk wajahku.

"Gue.. gue..." Aku berpikir sejenak memikirkan kalimat yang tepat.

"Gue kebelet pipis. Lagian gue gak suka bocah, lo juga tahu kan gue anti cowok," elakku, setidaknya terdengar masuk akal kan.

"For your information yaa, perasaan itu sifatnya dinamis sewaktu-waktu mungkin aja berubah. Gue juga yakin setiap orang itu ditakdirkan untuk berpasangan. Cinta itu juga kebutuhan dasar manusia Nit. " Luna memulai sesi ceramahnya.

Dia sering memberiku wejangan seperti ini, tapi jawabanku juga selalu sama. "Gue beda. Hal itu gak berlaku buat gue."

"Kita liat nanti yaa Nit, kalau...."

Segera ku potong ucapan Luna. "Gue gak mau ikut taruhan apapun lagi." ucapku cepat dan tegas.

Luna malah menertawakanku. "Siapa yang ngajak taruhan ? Yang tadi aja belum kelar. Gue cuma mau bilang, kalau suatu saat nanti lo pasti menemukan cinta dan saat itu terjadi lo akan merasa jadi orang paling bahagia di dunia ini."

Aku hanya mengidikkan bahuku acuh, cinta membuatku bahagia ? No. Cinta itu rumit, terikat dan membatasiku. Aku gak mau hidup seperti itu. Aku ingin bebas, menikmati hidupku sendiri.

Aku membatalkan niatku yang ingin membasuh wajah, pembahasan tentang cinta telah menyadarkanku. Aku uring-uringan karena aku terkejut sekaligus malu. Terjatuh dihadapan adik kelasku tentunya hal yang bisa dianggap memalukan.

Aku melangkahkan kakiku keluar toilet, tentunya Luna juga kembali mengikutiku.

Sesampainya di kelas, suasana tampak sepi. Karena pertandingan basket tadi mata pelajaran jadi di kosongkan. Aku duduk menyenderkan punggungku di kursi.

"Btw lo belum kasih selamat Nit," celetuk Luna.

Kenapa bahas itu lagi sih ? Aku hanya memutar bola mataku malas, kemudian menenggelamkan kepalaku di kedua lenganku.

"Kantin yukk. Laper gue," ajak Luna

"Gue enggak," tolakku

" Tadi ngebet makan. Apa udah kenyang karena dicium dik Angga ?" godanya lagi. Aku yakin pembahasan ciuman tadi akan berlangsung sekurang-kurangnya selama 2 minggu sampai akhirnya Luna lupa sendiri.

Aku mengangkat wajahku dengan mata melotot ke arah Luna.

"Canda Nit..." ujarnya cengengesan

"Yaudah gue aja. Nitip apa ?" tanyanya.

"Gak ada," sahutku, rasa laparku sudah hilang entah menguap kemana.

"Okeey,, roti selai stroberi kesukaan lo sama susu kotak coklat yaa Nit. Wait yaa,  gue beli dulu," ujarnya segera berlari.

Aku kembali ke posisi awalku, kali ini aku sengaja menaruh buku biologi yang tebal di atas kepalaku.

Samar-samar aku mendengar derap langkah menuju kelasku. Aku masih bergeming di tempatku, mungkin saja itu Luna. Tapi baru beberapa detik ia pergi keluar.

"Wahh....ada orang," ucap seseorang yang kuyakini teman sekelasku juga.

Aku menurunkan buku di kepalaku, melihat kedatangan orang itu.

"Sisil," gumamku. Sisil adalah sekretaris di kelas, ia memang ramah dan baik. Mungkin aku yang kurang bersahaja, sehingga tidak bisa akrab dengannya. Dia tampak sibuk mengurus absensi siswa di kelasku.

"Kembaran mana ? biasanya nempel mulu kayak perangko."

"Luna lagi ke kantin," sahutku singkat

"Ohhh"

Setelahnya tak ada pembicaraan lagi. Di kelas ini yang bisa di kategorikan sebagai temanku hanya Luna. Sisanya hanya sekedar kenal saja, aku jarang bersosialisasi dengan mereka.

"Hampir lupa gue. Tadi ada yang nanyain lo," ucap Sisil

"Siapa Sil ?" Bukan aku yang menyahut tapi kembaran beda ayah dan ibuku.

"Anak kelas 11. Angga, kakak lihat kak Amel gak ? Dia nanya gitu, gue bingunglah gue gak punya temen namanya Amel. Terus dia bilang, kakak yang putih agak pendek, sekelas sama gue. Katanya lagi. Inget deh gue sama lo Nit."

"Terus ??" Luna nampak penasaran

"Gue geleng-geleng. Tadi kan emang gak lihat Nita, lihatnya baru sekarang," jawab Sisil polos.

Luna melirikku, mencolek-colek pinggangku.

"Apaan sih ?" tepisku segera.

"Dicariin dedek." Bisiknya di dekat telingaku.

Untuk apa lagi sih bocah itu nyariin aku ? Jangan sampai aku bertemu lagi dengannya. Otakku mulai berproses menyusun rencana supaya aku bisa terhindar dari bocah itu.

Mau tahu apa rencananya Nita ??

Next chapter yaa....

Jangan lupa vote, komen, follow aku disini dan ig Ms_Renjani

Makasii......






GanitaWhere stories live. Discover now