BAB 46

6.8K 536 143
                                    

Gerald segera menyingkirkan wanita di pangkuannya. Dia berdiri dan menatap Lovia, "Lovia?" Gerald masih menatap terkejut Lovia.

Lovia berjalan mendekati Gerald dan wanita itu. Sampai di depan Gerald, Lovia menampar pipi Gerald dengan keras.

Plak!

"APA YANG KAU LAKUKAN DI BELAKANGKU, GERALD?! JADI INI KELAKUANMU, PADAKU KETIKA AKU TIDAK ADA?!"

Lovia berteriak tepat di wajah Gerald. Wajahnya memerah akibat menangis.

Gerald mendapatkan tamparan dan teriakan dari Lovia membuat dia sadar bahwa dia telah kembali menyakiti hati istrinya.

"Lovia, aku bisa jelaskan..."

"Apa?! Bukankah ini sudah jelas? K-kamu menghianatiku, Gerald! Aku membencimu!" napas Lovia naik turun, dadanya terasa begitu sesak, air matanya sejak tadi tidak berhenti keluar. Ini sangat menyakitkan dibanding Gerald melukai dirinya.

"Lovia tenangkan dirimu. Aku bisa jelaskan, ini semua salah paham," Gerald menjangkau tangan Lovia untuk memberi penjelasan padanya. Namun, Lovia lebih gesit menjauhkan tangannya.

"Salah paham katamu? Jelas-jelas aku melihatmu menciumnya! Dari mana letak kesalahpahaman itu, Gerald?!"

"Gerald, dia siapa?" sela wanita yang dicium oleh Gerald tadi.

Lovia beralih menatap wanita itu saat dia mengeluarkan suaranya, "Kamu mau tau aku siapa? Aku Lovia, istri dari pria yang kau cium ini!" jawab Lovia memandang nyalang wanita tersebut.

"Istri?" ulang wanita itu memasang wajah tidak percaya.

"Iya, kau tidak percaya? Jika, tidak percaya kau tanyakan langsung pada pria bajingan ini!" tunjuk Lovia pada Gerald.

"Gerald, benar bahwa wanita ini ad--"

"Argh! Diam kau, Sialan!" umpat Gerald pada wanita itu. Perasaan Gerald sangat gelisah. Ia takut Lovia akan kembali pergi meninggalkannya.

"Lovia aku bisa jelaskan. Kamu harus mendengarkan penjelasanku dulu," dengan segala rasa paniknya, Gerald berusaha membujuk Lovia agar mau mendengarkan penjelasannya.

"Tidak ada yang harus dijelaskan! Semua sudah terbukti bahwa kau memang pria bajingan! Aku menyesal kembali padamu. Mulai detik ini aku ingin kita cerai, dan aku akan pergi dari tempat terkutuk ini!" perkataan Lovia sungguh membuat Gerald terkejut. Tidak, Lovia tidak boleh menceraikannya.

"Tidak Lovia! Kamu tidak boleh mengatakan itu! Sampai kapanpun kita tidak akan bercerai!" tekan Gerald meninggikan suara.

"Oh, ya? Kita buktikan saja," Lovia tersenyum miring memandangi Gerald, dia juga sudah berhenti menangis.

Kemudian, Lovia pergi dari sana. Namun, Gerald cepat menahan tangannya, "Lovia, ingat anak kita. Dia membutuhkanku,"

Lovia menghepaskan tangan Gerald, menatapnya tajam, "Anakku tidak butuh sosok bajingan sepertimu!" tekan Lovia, setelah itu pergi dengan cepat dari hadapan Gerald.

Gerald mengacak rambutnya frustasi melihat Lovia benar-benar pergi meninggalkannya. Lovianya tidak boleh pergi. Ia tidak mau menjadi gila lagi, itu sangat menyiksanya.

"Hai, tenangkan dirimu," wanita itu kembali mengeluarkan suara melihat Gerald frustasi akibat kepergian istrinya.

Gerald menghentikan gerakkannya, dia menatap wanita itu nyalang. Gara-gara wanita ini Lovia pergi meninggalkannya. Lihat saja, dia tidak akan mengampuninya.

"Ini semua gara-gara kau wanita jalang! Aku tidak akan mengampunimu, kau lihat saja nanti!" setelah mengancam wanita itu, Gerald pergi mengejar Lovia.

Sedangkan wanita itu berdecih melihat kepergian Gerald mengejar istrinya, "Cih, rumah tangga yang penuh drama."

~~~

"Lovia berhenti!" teriak Gerald dari atas pada Lovia yang sudah mendekati pintu keluar.

Lovia tetap berlari. Ia bahkan tidak peduli bahwa dirinya sedang mengandung. Melihat Lovia terus berlari, membuat Gerald melemparkan pisaunya ke arah Lovia.

"Akkhh!!" Lovia seketika jatuh saat pisau menusuk kakinya, Gerald tersenyum miring melihat pisaunya menusuk tepat sasaran, kemudian ia cepat berlari menuju Lovia.

"Berani sekali kamu lari dariku!" Gerald menjambak rambut Lovia, sehingga kepala Lovia mendongak menatapnya.

"Lepaskan aku! Aku tidak ingin hidup bersamamu!" bentak Lovia. Mata sembabnya terlihat menyakitkan menatap Gerald.

Gerald menyeringai mendengar ucapan Lovia. Dia semakin memperkuat jambakannya, "Kamu harus hidup denganku!" paksa Gerald.

"Tidak! aku tidak mau! Aku tidak mau hidup bersama pria bajingan sepertimu!"

Plak!

Setelah menampar pipi Lovia kuat, Gerald beralih mencengkam leher istrinya. Gerald mendekati wajahnya ke wajah Lovia sembari tersenyum iblis, "You only have two choices Dear, live with me or die in my hands. It's better to kill you than to part with you."

"TIDAK, JANGAN!"

Napas Lovia naik turun sebab rasa sesak di dadanya ketika ia terbangun dari mimpi buruknya. Peluh bercucuran membasahi di dahi Lovia, rasa takut mulai menyelimutinya. Mimpinya sangat buruk, yaitu Gerald mencium seorang wanita, dan akan membunuhnya karena dia ingin minta berpisah.

"Itu hanya mimpi, Lovia kamu tidak boleh takut," monolog Lovia menenangkan diri.

Lovia tersadar akan Gerald, dia cepat menoleh ke samping. Tidak ada Gerald di sampingnya. Hal itu membuat Lovia bertambah takut jika mimpi buruknya memang benar-benar terjadi.

"Gerald, dia belum balik juga?" tanya Lovia diselimuti rasa takut.

Secepat mungkin Lovia turun dari ranjang sekedar melihat apakah ada Gerald di luar.
Baru saja turun, pintu kamar terbuka menampilkan Gerald memakai kaos putih dengan celana pendek selutut berwarna hitam.

Gerald mengernyitkan dahinya melihat Lovia menatapnya cemas, apalagi wajah Lovia basah terutama keningnya karena peluh. AC kamar hidup tidak mungkin Lovia kepanasan disuhu sedingin ini.

"Hai, ada apa?" tanya Gerald berjalan mendekati Lovia.

Lovia memperhatikan Gerald terus berjalan mendekatinya sampai Gerald kini sudah di hadapannya.

"Ada apa Lovia kenapa menatapku seperti itu?" ulang Gerald semakin aneh melihat Lovia hanya diam.

"Habis dari mana?" tanya Lovia.

"Dapur, mengambil minum." jujur Gerald.

"Kamu tidak berbohong, kan?" Ntah, kenapa Lovia tidak percaya sama jawaban Gerald.

"Untuk apa berbohong?" Gerald menatap Lovia aneh. Apa yang terjadi pada istrinya ini?

Lovia menghirup napasnya kasar. Tadi itu cuma mimpi. Gerald tidak mungkin melakukan itu padanya.

"A-aku bermimpi kamu membawa seorang wanita di kamar ini," Lovia mulai berbicara tentang mimpinya.

"Itu tidak mungkin, Lovia" jawab Gerald.

"Tapi itu mungkin. Kamu bahkan menciumnya, Gerald," mata Lovia menjadi berkaca-kaca mengingat mimpinya tadi.

"Aku tidak mungkin mencium seorang wanita selain dirimu, Lovia." Gerald kembali menjawab.

"Tapi, kamu beneran menciumnya, Gerald, kamu juga hampir membunuhku," sekarang Lovia sudah menangis. Ia tidak tahan membendung air matanya lagi.

"Lovia, itu cuma mimpi."

"Bagaimana jika mimpi itu nyata, sebenarnya kamu memang menyimpan seorang wanita di belakangku? Aku juga tidak tau apa kamu lakukan di luar sana, aku hanya terus menunggumu di sini. Kemungkinan besar kamu bermain di belakangku."

Gerald berdecih mendengar lontaran kata Lovia. Apakah pikiran seorang ibu hamil memang seperti ini?

"Sudahlah, ayo tidur," Gerald tidak ingin berdebat. Lebih baik dia menyuruh Lovia tidur agar besok pikirannya kembali terbuka.

Lovia menyingkirkan rangkulan tangan Gerald dari bahunya. Mimpi itu masih menghantuinya, ia tidak bisa tidur.

"Aku takut Gerald, aku takut kamu menghianatiku," ucap Lovia menatap Gerald penuh binar.

"Aku tidak akan menghianatimu, Lovia. Berhentilah berpikiran negatif," Jika bisa Gerald ingin sekali memarahi mimpi Lovia itu, karena telah membuat istrinya berpikiran jelek tentangnya.

"Bagaimana suatu saat nanti ada wanita cantik yang membuatmu tetarik? Kamu akan meninggalkanku." sendu Lovia.

Gerald memutar bola matanya ke atas. Merasa jengah Gerald mengambil kedua bahu Lovia, menatapnya sangat dalam, "Tidak akan ada yang bisa mengalahkan cantikmu, ibuku saja kalah cantik darimu. Kamu tetap menjadi objek terindah setelah ibu. Tidak ada yang menarik di dunia ini selain dirimu, Lovia. Sampai sini apa kamu paham?"

Lovia diam, membuat Gerald memeluknya, "Aku mencintaimu. Apa kamu masih ragu?"

"Mimpi sialan ini membuat keraguan di hatiku." cicit Lovia.

"Dirimu yang bodoh terlalu mengambil pusing."

"Ck. Jahat, kamu mengataiku bodoh."

"Kamu tidak bisa menyangkalnya, jika kamu beneran bodoh."

"Gerald!" bentak Lovia tidak suka.

Gerald semakin mempererat pelukannya mendengar bentakan Lovia, "Iya-iya maafkan aku."

"Tidak, sebelum aku membunuhmu," jawaban Lovia membuat Gerald tertawa kecil.

"Apa kamu akan membunuhku?" tanya Gerald.

"Iya, jika kamu beneran selingkuh," jawab Lovia sungguh-sungguh.

"Kalau begitu aku selingkuh saja biar dibunuh oleh Lovia."

"Gerald!" Lovia semakin membentaknya, membuat Gerald hanya tertawa karena berhasil menjahili istrinya.

In Psycho PrisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang