Enam

8 0 0
                                    

Jam dinding kamarnya menunjukan pukul 7 pagi. Gadis itu mengucek matanya, badannya terasa sakit akibat semalam. Erina merasa wajahnya sangat sakit ketika disentuh, ia lalu mengambil handphonenya dan mengalihkannya ke kamera untuk berkaca.

Benar saja, wajahnya lebam, padahal semalam ketika Erina sampai di rumah wajahnya biasa saja, hanya terasa sakit. Mungkin karena semalam ia tidak mengompresnya, jadi timbulah lebam tersebut. Saat sampai di rumahnya Erina langsung berbaring di kasur dan tertidur, bahkan ia tidak sempat untuk membersihkan tubuhnya saking lelahnya hari kemarin.

Seharian bekerja dan menghadapi orang tidak jelas, sangat membuat tenaga Erina terkuras habis. Tapi tidak apa, sampai di rumah dengan selamat pun Erina sangat bersyukur, untung saja semalam ia masih bisa mengendarai motornya walaupun sesekali ia berhenti hanya karena kepalanya yang terasa pusing.

Perihal kejadian semalam Erina belum cerita pada siapapun termasuk Alan. Saat ini Erina sedang berpikir haruskah ia pergi ke kampus atau absen saja.

Saat masih berpikir, Erina melirik ke meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia melirik bingkai foto, setelahnya ia mengambil bingkai itu lalu mengusapnya.

"Ma, pa liat muka aku, lebam. Tapi ga apa-apa aku udah biasa, kalian jangan khawatir ya."

"Kalo nanti aku udah ketemu sama pelaku pembunuhan kalian, boleh ga aku bunuh dia juga? Pasti ga boleh kan ya? Soalnya itu dosa besar."

"Aku udah jago loh ma, pa. Aku semalem ngelawan orang aneh sendirian, dulu waktu papa masih ada yang lindungin aku kan papa. Sekarang aku bisa ngelindungin diri aku sendiri, walaupun muka aku yang jadi taruhannya."

"Tapi ga apa-apa deh. Skincare aku mahal, jadi luka aku bakal cepet ilang." Erina terus saja berbicara sendiri. Rasanya sedikit lega ketika ia mencurahkan isi hatinya pada kedua orang tuanya, walaupun Erina tau tidak akan ada respon atas ucapannya.

"Oh iya satu lagi. Tolong ucapin makasih ke Alan dari atas sana. Karena dia orang yang bikin aku bertahan sampe sekarang, dia juga tempat aku pulang kalo aku cape."

"Aku terlalu males kalo aku bilang  makasih langsung ke Alan, soalnya dia suka ke ge-eran." Erina terkekeh kecil mendengar ucapannya sendiri. Sepagi ini Erina sudah curhat kepada kedua orang tuanya.

"Yaudah ya, aku mau ke kampus dulu. Dadah mama, papa," Ia mencium bingkai foto yang dipegangnya.

Setelah puas dan merasa lega karena sudah mencurahkan isi hatinya, Erina segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Badannya sekarang sudah seperti permen karet, lengket.

30 menit berlalu, gadis itu keluar dari kamar mandi. Sekarang tubuhnya sudah merasa lebih segar.

Erina berjalan ke arah cermin yang ada di kamarnya, di tatap wajahnya dengan lekat. Terdapat lebam berwarna ungu di pipinya, ujung hidungnya pun berwarna merah, seperti sedang flu.

"Masa gua ke kampus kayak gini sih mukanya. Kalo pake masker nanti pada curiga ga ya."

"Yakali gua pake helm ke kelas, kan ga lucu. Wibawa gua sebagai detektif ilang nanti."

"Yaudah lah, pake masker aja."

Erina telah memutuskan ia pergi memakai masker ke kampusnya, ia membuka laci lemarinya dan mengambil satu masker berwarna hitam lalu memakainya.

Lukanya di pipi dan merah hidungnya memang tertutup. Tapi lebam berwarna ungu di jidatnya masih terlihat. Tidak apa-apalah Erina bisa memakai topi nanti untuk menghalangi keningnya.

Erina berjalan keluar kamarnya dengan perlahan, karena selain wajahnya yang lebam, kaki ia juga sangat terasa sakit akibat pukulan semalam.

Ia segera menuju ke garasi untuk mengambil motornya. Setelah siap ia langsung tancap gas.

COLD BLOOD KILLERWhere stories live. Discover now