06| Persiapan Married

1.9K 147 8
                                    

Hari penting seorang wanita salah satunya adalah saat memilih dress yang akan digunakan untuk hari yang sangat sakral, pernikahan.

Seperti yang sedang kulakukan saat ini bersama Pak Raffa, ditemani oleh Bu Rahma. Masih di tempat kerjaku, bedanya aku yang menjadi klien bukan mengurusi klien.

Sesuai kesepakatan kedua keluarga kemarin, saat Bu Rahma dimintai untuk datang ke rumah. Ayah, Bunda, Bu Rahma, dan Pak Raffa membicarakan perihal foto yang tersebar di sosial media. Bang Aydan? Dia ikut serta, hanya saja melalui video call. Karena sedang ada urusan di luar kota.

Setelah menjelaskan kebenarannya, mereka sepakat bahwa acara pernikahan akan dilangsungkan secepatnya untuk menghindari fitnah lainnya.

Bukannya tidak bahagia, hanya saja ini terlalu cepat. Aku belum siap apapun untuk menikah, semuanya terlalu mendadak.

"Apa kamu harus pake semua dress aja? Ibu bingung milihnya, semuanya bagus kalau dipake sama kamu." Canda Bu Rahma yang masuk ke kategori serius.

"Sekalian promosi gitu," Kekehnya diikuti yang lain.

Aku menatap Bu Rahma, dia tersenyum setelah berkata seperti itu. Aku merasa canggung karena pembicaraan yang tidak formal lagi seperti saat bekerja, tersenyum yang terlihat canggung adalah andalanku.

"Habis ini kita ke toko perhiasan dulu buat beli cincin, tapi kayaknya ibu gak bisa ikut. Kalian aja berdua ya," Lanjutnya.

Aku kembali menatap ke padanya, lalu Pak Raffa. Dia seolah mengerti arti tatapan itu, "Nanti Kak Zizah ikut sama suaminya."

Aku hanya membalas dengan anggukkan. Di sisi lain tanpa kami sadari, Bu Rahma tersenyum melihat kami.

=====

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," Jawab kami serentak.

"Maaf ya lama, tadi Zela pup. Jadi ganti pampers dulu," terang Kak Zizah.

Aku belum kenal dengan mereka, karena kebetulan saat melamarku Kak Zizah sedang ke kampung halaman suaminya.

"Masya Allah cantiknyaa," seru Kak Zizah. "Sekalinya dapet cewek modelan gini, emang seleramu tinggi," bisik Kak Zizah pada Pak Raffa.

"Kakak sepupuku, ini suami dan anaknya." Kata Pak Raffa sambil mengambil alih anak kecil yang digendong Kak Zizah.

Dalam hati aku berkata, memang begitu ya cara dia memperkenalkan seseorang? Aneh.

Oh ya, Bu Rahma sedari tadi sudah pulang duluan. Karena katanya ada kepentingan yang nggak bisa ditunda, jadi hanya menitipkan salam saja.

"Alesha, Kak." Ucapku mengulurkan tangan, tapi tidak dibalas. Kak Zizah malah menarik ku dalam eplukannya, aku merasa canggung dan tersenyum canggung juga.

"Yaallah, masya allah. Akhirnya punya adek perempuan juga," kata Kak Zizah setelah melepas pelukan.

"Maaf ya, lancang peluk kamu. Abisnya gemes, cantik masya allah." Aku hanya tersenyum membalas ucapannya.

"Maklumin aja, emang aneh orangnya."

Kak Hilman tertawa mendengar ucapan Pak Raffa, terlebih melihat reaksi Kak Zizah yang mencebikkan bibirnya. Seru ya keluarga mereka, aku bersyukur akan menjadi bagian dari mereka.

Kalian tahu pada saat menunggu kedatangan Kak Zizah, aku dan Pak Raffa hanya diam saja. Fokus kami masing-masing, paling saling bicara saat menanyakan haus atau lapar. Selebihnya hening.

====

Sepanjang perjalanan selama di mobil penuh dengan canda tawa, rasa canggung hilang begitu saja. Bahkan, Nazela si bayi gembul itu ingin terus menempel padaku. Padahal, ini pertama kalinya kami bertemu.

"Tidur dia, sini takut pegel." Kak Zizah mengulurkan tangan untuk mengambil alih Zela.

Namun, baru tangannya saja disentuh sangat ibu dia sudah merengek. "Yaudah gapapa Kak, gak pegel ini."

"Masa sih, Kakak aja suka pegel. Udah sini, gapapa bangun juga."

Aku menggeleng, ya masa Zela baru aja tidur udah kebangun lagi. Kan kasihan, "it's okay Kak."

"Ibunya siapa, nurutnya sama siapa. Galak kali ya, ibu aslinya. Makanya anaknya gak mau," celetuk Pak Raffa.

Aku tersenyum sambil geleng-geleng, astagfirullah gini ya sifat aslinya. Jail ternyata.

"Sayang, ih. Masa aku dikatain galak," Adu Kak Zizah.

"Loh, emang iya kan?"

Kami tertawa bersama dengan volume sederhana, agar tidak mengganggu putri kecil yang sedang tidur di pelukanku.

"Rencana pengen langsung dapet momongan atau nunda nih?" Tanya Kak Hilman. Kami saling bersitatap melalui kaca depan.

"Sedikasihnya aja, gabaik kalau ditunda-tunda Kak." Jawabku.

"Lagian kita udah sepakat tentang anak, rumah, dan lain-lain." Ucap Pak Raffa.

"Oh ya?" Kami mengangguk.

"Jadi, mau punya anak berapa?"

"Kita sepakatnya sih antara tiga atau empat, lima juga gak papa." Aku menggeleng mendengarnya, apaan lima. Dia pikir gampang apa melahirkan.

"Tapi, ya karena ikut program pemerintah. Jadinya tiga aja."

"Yee, mana ada tiga. Program pemerintah itu dua aja, ngadi-ngadi." Protes Kak Zizah.

"Melenceng satu lah Kak, biar rame." Jawabku.

"Nah itu, lagian kita ini yang bikin."

Astagfirullah, bisakah aku keluar dari mobil saja. Kenapa dia teramat terus terang sih, pipiku sudah panas ini.

Kak Zizah dan Kak Hilman tertawa mendengar ucapan Pak Raffa, apalagi saat Kak Zizah melihat rekasiku. Yaallah, aku malu sungguh.

=====

Pagi ini berbeda seperti hari-hari sebelumnya, dengan status yang berbeda terntunya.

Tidak ada komunikasi diantara diriku dengan Pak Raffa. Bahkan nomor handphone nya pun tidak kusimpan sama sekali.

Ngomong-ngomong, perihal nama panggilan. Aku masih memanggilnya Pak Raffa, walaupun berkali-kali ditegur Bu Rahma. Tapi aku merasa canggung kalau harus merubah nama panggilan, mungkin nanti setelah halal saja kuganti.

Hari ini memang spesial juga, tepat satu hari sebelum akad dilangsungkan. Pingitan sudah dilakukan dari lima hari lalu, lebih tepatnya aku tidak diperbolehkan bekerja dulu. Catat, hanya aku.

Tok tok tok

"Siapa?" Tidak ada sahutan dari luar. Aku menuju pintu kamar seraya memakai hijab instant.

"Assalamu'alaikum!" Seru Cinta, Lea, dan Mela.

"Wa'alaikumussalam, allahu akbar."

Aku mengelus dada, pasalnya mereka mengucapkan salam sambil berteriak. "Al, surprise!" mereka masuk sambil menghambur ke pelukanku.

"Calon pengantin masya allah, cantiknya. Bridal shower checkk!" Mela memekik.

Aku, Cinta, dan Lea menutup telinga masing-masing. Bisa-bisa nanti gendang telinga kami rusak karena pekikan suara Mela.

Berbagai macam ritual bridal shower mereka lakukan, aku hanya menurut saja. Sebab, jika tidak pasti akan terkena amukan.

"Ateu! Aaaaaaa!" Keponakan ku histeris saat masuk ke dalam, belum sempat masuk dia sudah balik lagi keluar.

Aku lupa menutup pintu, habisnya mereka langsung make over ku dengan ala-ala mereka.

"Huwaaa ndaaaaa" teriaknya sambil berlarian.

Kami tertawa lepas bersama, siapa suruh masuk ke kamar tanpa ketuk. Jadi ketakutan kan, ngelihat muka tantenya di poles seperti badut ancol dengan dress daster yang bermotif banyakk.

=====

"Saya terima nikah dan kawinnya Alesha Aqilla Hibatillah dengan mas kawin tersebut tunai."

See youu
Terima kasih sudah membaca🙏
Vote dan comment nya jangan lupa! 💜

KISAH KASIH KITAWhere stories live. Discover now