🌈Bab 22 - Surat Fikri🌈

125 19 3
                                    

Apa yang kamu anggap baik, belum tentu itu yang terbaik. Apapun alasanmu melakukan itu, kalau tanpa persetujuanku, itu tetaplah egois.

~Hujan Rinduku~

***

Satu tahun berlalu, merupakan satu tahun juga aku tidak bertemu Fikri. Sekarang aku sedang menjalankan kuliah semester dua di Universitas Negeri Padang.

Aku sangat bersemangat menjalankan aktivitas kuliahku, namun tidak dapat di pungkiri ada rasa penungguan yang masih belum hilang selama setahun ini.

Dibalik kesibukkan kuliah, aku selalu menyempatkan diri menulis cerpen-cerpen dan mempublikasikannya di blog dan Watpadd. Kak Nasya pernah menawarkanku untuk mengirimkan cerpen dan novelku ke penerbit besar, dan alhamdulillah pernah diterima, malah pernah dijadikan buku. Aku sangat bangga karyaku di apresiasi oleh penerbit.

Hubungan Kak Aldo dengan Kak Giselle selama tiga tahun ini semakin serius saja, hal itu yang membuat Ayah dan Ibu beserta keluarga Kak Giselle tidak ragu mengadakan acara pernikahan mereka dalam waktu dekat ini.

Kak Aldo minta izin pada Kak Nasya untuk melangkahinya. Kak Nasya sepertinya tidak mempermasalahkan.

Waktu pernikahan Kak Aldo dan Kak Giselle sudah ditentukan yaitu bulan depan, undangannya pun sudah mulai di sebarkan.

Kak Aldo memberikan beberapa undangan padaku, katanya undangan itu untuk teman-teman kuliahku.

"Nggak perlu banyak-banyak, Kak." Ucapku, karena selama ini aku nggak punya teman yang dibilang sangat dekat.

Kukembalikan sisa undangan lainnya pada Kak Aldo.

"Yakin cuma tiga undangan? Tanyanya.

"Yakin."

"Untuk siapa?"

"Maunya buat Fikri, tapi dia telah menghilang seperti ditelan bumi." Aku jadi termenung mengingat kenanganku bersama Fikri.

"Kan bisa ditelfon, Dek."

"Enggak usah, Kak."

"Kenapa?" Dia menatapku.

Aku hanya diam, karna aku memang enggak pernah cerita sama Kak Aldo kalau sebenarnya Fikri sudah memutuskan hubungan persahabatan kami.

***

Malamnya harinya, Ibu ke kamarku, "Syifa! Boleh Ibu minta nomor hp Fikri?

"Untuk apa, Bu?"

"Kata Aldo dia ingin mengundang Fikri, katanya kamu enggak mau telfon dia, biar Kakak kamu saja yang telfon." Perkataan Ibu membuatku tak percaya.

"Enggak perlu, Bu, enggak penting juga."

"Nggak penting tapi masih berharap, kan?" Ibu tersenyum padaku.

"Siapa yang berharap?" Tanyaku lantang.

"Gini lo, Sayang, Kakak kamu itu ingin mengundang Fikri, karena dulu mereka, kan pernah satu genk motor." Ibu menatapku beberapa lama.

Benar juga apa kata Ibu, sebenarnya enggak ada masalah juga, tapi aku merasa ini adalah bagian rencana Ibu dan Kak Aldo untuk mempertemukanku dengan Fikri lagi.

Setelah lama berpikir, aku memberikan nomornya ke Ibu, "Semoga dia bisa, ya, Bu. Dia orangnya super sibuk."

"Dia pasti bisa kalau buat kamu."

"Apa?"

***

Karena Kak Aldo dan Ibu membahas soal Fikri, aku jadi teringat sama dia, jujur, perasaanku pada Fikri enggak pernah berubah. Kalau saja dulu Fikri tidak memutuskan silaturahmi kita, mungkin kita sekarang sering komunikasi di telfon atau hanya sekedar chatting. Ya sudahlah, enggak ada yang harus di salahkan.

Aku membuka laci mejaku, dan melihat surat Fikri tahun lalu. Aku nggak pernah minat membaca surat itu, karena aku enggak ingin tahu alasannya melakukan pemutusan silaturahmi sepihak itu. Sampai sekarang, rasa kecewa itu masih belum hilang.

Enggak ada salahnya juga aku membaca surat itu sekarang, lagian peristiwa itu sudah lama sekali, mudah-mudahan aku enggak sedih membacanya.

Dengan perlahan-lahan aku membuka surat itu dan membacanya dalam hati.

"Disaat kamu membaca surat ini, berarti kamu telah berhasil melaksanakan misi terakhir kita. Selamat ya, Fa! Dari dulu aku percaya, kamu bisa melakukan itu tanpa aku, karena kamu adalah perempuan kuat yang pernah kukenal.

Terimakasih untuk beberapa bulan ini, kamu telah menjadi teman terbaikku, aku banyak belajar dari kamu, belajar arti sabar, belajar arti keluarga, belajar arti persahabatan, dan arti Cinta sejati.

Kita saling berjuang untuk meraih impian kita. Sekarang impian kita telah terwujud, kamu berhasil lulus di Universitas dan jurusan impian kamu, Demi masa depan yang cerah, mengharuskan kita berpisah beberapa tahun yang akan datang. Kamu tenang saja, kita pasti bertemu lagi. Saat itu, aku akan lihat kamu sudah berkumpul kembali bersama keluargamu, seperti hal yang selalu kamu inginkan.

Shifa, ada satu lagi yang ingin aku sampaikan. Aku nggak mau membuatmu terlalu berharap padaku. Aku nggak mau membuatmu selalu menungguku dan terpusat padaku, lihatlah dunia sekitarmu, masih banyak laki-laki yang pantas untukmu. Aku bukannya memintamu untuk melupakanku, aku hanya tidak ingin membuatmu terlalu berharap dan berujung kekecewaan.

Shifa! Aku ingin mengatakan keputusanku tentang hubungan kita, keputusan ini bukanlah sekali pikir, aku sudah memikirkannya berkali-kali, sepertinya inilah yang terbaik untuk kita.

Syifa, mohon maaf, aku akhiri semuanya sampai di sini saja, bukan karena aku tidak ingin menjadi sahabatmu lagi, bukan karena aku tidak ingin menjadi orang yang spesial dihatimu. Aku hanya ingin kamu mulai terbiasa hidup tanpa aku. Satu hal yang harus Kamu tahu, cinta ini akan selalu ada sampai kapanpun, bahkan mungkin jika takdir tidak mempertemukan kita, aku akan tetap mencintaimu selamanya. Aku tahu, sekarang kamu kecewa membaca surat ini, aku benar-benar minta maaf."

Tepatnya seperti itulah surat Fikri setahun lalu. Setelah membacanya tak kusangka air mataku mulai membasahi pipiku.

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, karena menurut dia baik, belum tentu baik menurutku. Belum tentu itulah keputusan yang tepat, bisa-bisanya dia berpikiran ini adalah cara terbaik. Apapun alasan dia melakukan itu, itu tetaplah egois menurutku.

Bersambung....

Ya ampun😭😭

Ternyata itu alasan Fikri melakukan hal itu ke Syifa.

Enggak ngerti lagi, definisi sakit yang sesungguhnya itu seperti ini, ketika belum sempat memiliki dia tapi sudah merasa kehilangan dia secara nyata.

Tapi setidaknya tidak sesakit ketika kamu sudah sempat memilikinya dan dia memutuskan menghilang begitu saja... Ha? Apa?

Kang gosting dong, berarti? Wkwk

Tunggu kelanjutannya di Bab berikutnya..

Yuk bisa yuk!
Detik2 bab menuju ending.. Siap, nggak nih dengan ending kisah ini?

Vote dan komen dulu yang penting, deh!

Thankyou!

Hujan Rinduku (Keluarga, Cinta, dan Impian) ☑️Kde žijí příběhy. Začni objevovat