XIII. Home

225 21 4
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Isla sampai di apartemennya dan langsung merebahkan diri di atas sofa. Sejujurnya, kedua orang tua Mingi bersikeras menyuruh Isla untuk menginap di mansion mereka. Tapi karena Isla masih tahu diri, jadi ia menolak dengan sangat halus dan berakhir Mingi mengantarnya pulang. Tak lupa cumbuan bibir Mingi sebelum Isla sempat melangkah keluar dari dalam mobil, membuat mereka terlibat sesi make out selama kurang lebih lima belas menit sampai Mingi menyudahi ciumannya.

Isla menepuk kepalanya beberapa kali guna menjernihkan pikiran, lalu beralih memencet logo telepon pada kontak dilayar ponselnya.

"Halo?"

"Hey, Mom." Isla merasakan sudut bibirnya tertarik ke atas. "Aku merindukanmu."

"Oke, cukup Isla, kau membuatku takut."

Isla terkekeh, ia memang merindukan ibunya yang unik ini.

"Kenapa menelepon?"

"Apakah tidak boleh? Aku merindukanmu."

Terdengar suara ibunya berteriak menyuruh salah satu pelayan untuk segera mencuci piring lalu kembali berkata. "Oke, jadi siapa pacarmu?"

"Bagaimana ibu tahu?"

"Kau tidak akan menelepon secara tiba-tiba hanya untuk berkata 'aku merindukanmu' dan serangkaian hal cheesy lainnya. Ayo, ceritakan tentang pacarmu."

Isla mengubah posisinya menjadi duduk tegap. "Well, ia pria yang baik dan juga tampan. Aku makan siang bersama keluarganya tadi."

Ibu pasti mendengar desir ragu pada nada bicara Isla. "Lalu?"

"And he ask me to marry him. Not right now tho, because I'm not ready."

Hening beberapa detik dan terdengar hembusan napas ibu. Seharusnya Isla bercerita lebih awal dan tidak mendadak seperti ini.

"Kita sudah lama tidak bertemu dan berbincang tapi malam ini kau menelepon ibu untuk mengatakan bahwa kau telah dilamar?"

"Ya...kurang lebih seperti itu." Isla menggigit bibir dengan was-was.

"Ck, dasar anak durhaka."

"MOM!"

"WHAT?" Ibu balik berteriak. "Bisa-bisanya kau menyembunyikan semua ini dari ibu."

"Tidak kusembunyikan, kok! Aku hanya belum siap untuk bercerita."

Ibu berdecak sekali kemudian bertanya. "Apakah ia mapan?"

"Ya."

"Apakah ia merokok?"

"Tidak."

"Siapa nama baptisnya?"

"Adrian." Jawab Isla yakin dan seratus persen jujur. Sempat terpikir dibenaknya untuk lebih sering memanggil Mingi dengan nama baptis karena 'Adrian' memberi sensasi menggelitik pada perut Isla, entah kenapa.

"Baiklah."

"Eh? Ibu merestui kami berdua?"

Ibu kembali berdecak, kali ini diiringi dengan teriakan. "Tentu saja tidak! Besok bawa ia kemari dan ibu akan menilai apakah ia cukup baik untukmu."

"Besok terlalu mendadak, Bu. Lagipula aku harus kuliah."

"Ya sudah, akhir pekan kalau begitu. Kau sudah bertemu dengan orangtuanya dan kini saatnya bagi ibu untuk bertemu dengan Adrian."

"Namanya Mingi."

"Adrian terdengar lebih jantan."

Isla memijit pelipisnya, mendadak pening dengan permintaan ibu tetapi ia harus menyanggupi. Isla pikir, Mingi bisa meluangkan waktu satu hari untuk berada di Jeju bersama Isla dan ibunya. Semoga saja.

THE VICIOUS ONE // Song Mingi ✔Where stories live. Discover now