XV. End Of The Beginning

337 22 4
                                    

Tujuh tahun kemudian...

Secangkir teh earl grey dengan uap yang masih mengepul tampak begitu nikmat, tetapi akan beresiko ketika meminumnya langsung karena akan membuat ujung lidah terbakar. Isla memandanginya dalam diam, menunggu uapnya surut sambil menghela napas panjang. Ia tersentak ketika mendapati sepasang lengan kokoh melingkari pinggangnya di tengah remang-remang lampu dapur.

"What's wrong, Mama?"

Isla menggeleng. Tanpa berbalik pun ia tahu bahwa itu adalah lengan suaminya.

"Nothing." Gumam Isla. Ia mulai meneguk tehnya perlahan. "Keeho sudah tidur?"

"Ya, ia terlelap begitu saja ketika kubacakan dongeng Peter Pan dan ia memintaku untuk membacakan dongeng tentang bajak laut besok."

Isla membalikkan tubuhnya lalu berhadapan dengan Mingi. "Tentang besok, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu."

"Apakah semuanya baik-baik saja?" Mingi merasakan gelisah dihatinya saat melihat Isla seperti ini.

"Semua baik-baik saja, aku hanya berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahunya tentang Minjeong."

Mingi terdiam dan Isla beringsut maju untuk mengecup pipinya, berusaha meyakinkan.

"Kau yakin?" Raut wajah Mingi terlihat ragu. "Apakah ia tidak terlalu muda untuk itu?"

"Keeho perlu tahu bahwa ia mempunyai saudara. Mungkin akan terdengar sulit dan membuatnya bingung tapi kita bisa memberi penjelasan dan seiring berjalannya waktu, ia akan paham."

Hening beberapa detik sebelum Mingi menelusupkan wajahnya pada leher Isla, merengkuh belahan jiwanya itu sambil berbisik. "Ayo kita lakukan."

Kedua lengan Isla balik merengkuh tubuh Mingi, mengusap punggungnya secara perlahan. "Thank you."

Mingi tak menjawab, sebagai gantinya, ia menghimpit tubuh Isla hingga mengenai kitchen counter di belakangnya. Niat Isla untuk menghabiskan tehnya menguap begitu saja, tergantikan dengan keinginan untuk membalas ciuman Mingi pada bibirnya.

"I miss you." Mingi bergumam sementara telapak tangannya bergerak turun untuk menyibak nightgown yang Isla kenakan.

"I miss this." Ibu jarinya mengusap paha Isla dengan pola abstrak yang sensual. Isla menahan napas ketika pandangannya bertabrakan dengan netra Mingi, gairah menguasainya dan Mingi tidak perlu repot-repot untuk menahannya.

"I miss us."

Isla mendesah, matanya terpejam ketika Mingi meninggalkan tanda keunguan pada tulang selangkanya. Ketika ia mendongak, Isla mendapati suaminya itu tersenyum manis bak bocah polos tanpa dosa.

"Keep quiet, Mama. Don't wanna wake him up."

Isla pun menurut.

*****

Angin musim gugur berhembus sedikit kencang, Isla buru-buru merapatkan mantelnya sambil menatap Mingi yang berjalan di sampingnya.

"Apakah masih jauh?"

Mingi tersenyum ketika mendengarnya, menatap sosok kecil di gendongannya yang terlihat penasaran. "Sebentar lagi."

Setelah mengatakan itu, mereka sampai di hadapan dua pusara yang bersisian. Isla berjongkok untuk membersihkan beberapa daun kering yang berserakan.

"Selamat pagi, Nara." Ucap Mingi sambil mengusap pelan batu nisan berwarna abu-abu itu, lalu beralih pada makam di sebelahnya. "Selamat pagi juga, Minjeong."

Sudah cukup lama Mingi tidak mampir kemari, mungkin sekitar lima bulan. Pekerjaan di kantor dan perjalanan bisnis cukup membuatnya sibuk, berbeda dengan Isla yang sering datang mengunjungi makam Nara dan Minjeong. Secara diam-diam, tentu saja. Isla tidak berniat memberitahu hal tersebut pada suaminya, biarkan ini menjadi rahasia kecil yang ia simpan sendiri.

THE VICIOUS ONE // Song Mingi ✔Where stories live. Discover now