Part 16 Bolehkah Aku Egois

191 14 1
                                    

Aku duduk bersandar di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Melihat foto-foto yang tadi kami ambil ketika sedang di resepsi pernikahan Fakhrul dan Zia, temanku semasa SMA.

Ada beberapa foto yang di kirim teman-temanku di grup whatsapp. Rata-rata dari mereka memuji kecantikan mempelai wanita, dan betapa beruntungnya mempelai pria mendapatkannya. Zia saat ini sudah menjadi seorang perawat, sedangkan Fakhrul adalah seorang polisi.

Entah kebetulan atau bukan, seorang polisi biasanya menikah dengan tenaga medis, baik itu perawat ataupun bidan. Walaupun banyak juga yang menikah dengan wanita yang berprofesi di luar itu. Tetapi dari beberapa orang yang aku kenal hampir semua seperti itu.

“Pestanya meriah ya Al.” Andi ikut bergabung bersamaku untuk melihat lebih jelas layar ponselku.

Aku mengangguk, “iya Ndi.”

“Gak nyangka yah mereka akhirnya menikah. Setahu aku dulu Fakhrul sering sekali membully Zia yang kucel dan gendut. Siapa sangka beberapa tahun berlalu, Zia berubah jadi cantik,” pujinya.

“Itu yang ada di pikiran laki-laki?” tanyaku seraya mematikan layar ponsel.

“Aku itu tahu banget bagaimana Fakhrul Al,” ucapnya disertai tawa renyah.

“Terus kalau Zia udah gak cantik lagi, Fakhrul gak cinta lagi sama Zia gitu?” tanyaku sewot.

“Eh itu ... Aku juga gak tahu sih.” Andi menggaruk bagian belakang kepalanya, yang entah memang karena gatal atau hanya untuk mengurangi kecanggungan.

“Kalau kamu gimana? Kamu cinta sama aku karena aku cantik kan? Kalau aku udah gak cantik lagi kamu masih cinta gak sama aku?” Aku ingin menguji sedalam apa perasaan Andi padaku.

“Kamu ngomong apa sih Al, kamu itu selalu cantik di mata aku.” Dan yang aku dengar hanya sebuah gombalan.

“Gombal.”

“Al, gak nyangka yah, sudah bertahun-tahun tapi kita masih di anggap best couple. Tanpa kita sadari, kita sudah menjadi inspirasi buat teman-teman kita.” Andi nampak menerawang, mungkin pikirannya sedang kembali ke masa-masa SMA kami.

“Benarkah? Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Kita pacaran sudah lama, terus lanjut menikah. Dan setelah menikah pun kita masih romantis seperti masih sedang pacaran. Banyak dari teman-teman kita yang menjadikan kita contoh dalam menjalin hubungan loh Al.”

Aku hanya diam. Menatap manik mata Andi yang berkilau. Seandainya dia tahu apa yang telah aku lakukan di belakangnya, apakah dia masih akan sebangga ini pada hubungan kami? Mengingat itu, aku jadi merasa bersalah pada Andi.

“Kamu kenapa Al?”

Aku mengerjapkan mata, “ah, tidak apa-apa. Aku tidur duluan yah, capek.”

Tanpa menunggu persetujuan dari Andi. Aku segera merebahkan diri di atas kasur, lalu menarik selimut hingga menutupi leher.

Aku tidur membelakangi Andi. Mencoba meraba hatiku sendiri, bagaimana sebenarnya perasaanku saat ini.

Kurasakan pergerakan di belakangku. Andi ikut membenamkan diri di bawah selimut yang sama, lalu melingkarkan tangannya di pinggangku. Ia mengusap pelan perutku yang rata.

“Al, sepertinya kita harus mempertimbangkan ucapan mas Ridwan hari itu.” Andi menjeda sejenak ucapannya. “Aku ingin seorang anak Al.”

“Kita sudah membicarakan ini jauh-jauh hari Ndi. Aku akan melepas IUD ini begitu aku sudah siap. Dan itu bukan sekarang,” ucapku masih membelakangi Andi.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang