Part 28 Kamu Adalah Anak Ibu

127 9 0
                                    

“Sebaiknya kita lapor polisi saja Al, aku yakin bukan suatu kebetulan mobil kamu terbakar di sana.” Aku dan Andi sedang melakukan kegiatan pillow talk sebelum tidur.

“Tidak Ndi, aku tidak mau berurusan dengan polisi.” Aku segera menolak usulan Andi yang ingin memproses terbakarnya mobilku ke jalur hukum. Bukan tidak ingin mengetahui siapa pelakunya, lebih dari itu, aku tidak mau hubunganku dengan Tedi terbongkar.

“Kamu yakin Al? Ini sudah termasuk tindakan kriminal loh.”

Aku mengangguk.

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan dengan mobil itu?”

“Aku harus menanyakannya ke pihak kantor, mungkin saja mobil itu ada asuransinya.” Tentu saja 'pihak kantor' yang dimaksud adalah Tedi. “Kalau tidak, mungkin akan ku perbaiki saja.”

“Kayaknya memperbaiki bekas mobil yang terbakar cukup mahal Al. Mungkin akan sama dengan mobil baru.”

Benar kata Andi, tapi masalahnya bukan itu. Mobil itu adalah pemberian dari ayahnya Tedi untuk Tedi. Aku tidak mungkin mengatakannya bukan?

“Tapi itu terserah kamu sih, kalau kamu mau memperbaikinya nanti kita pikirkan solusinya sama-sama.”

Aku mengangguk.

“Sebaiknya sekarang kita tidur, sudah lewat tengah malam.”

Aku menaikkan selimut sampai ke dada. Andi melakukan hal yang sama. Kemudian ia mendekat ke arahku dan memeluk pinggangku.

“Maaf Ndi, aku lelah.” Aku menurunkan tangan Andi perlahan agar dia tidak tersinggung. Bagaimanapun, melihat Andi 2 kali di TKP membuatku harus waspada terhadapnya. Walaupun cat merah ditangan Andi tempo hari sudah terbukti berasal dari tembok rumah mbak Tati, tapi aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Andi ada saat kebakaran rumah orang tuaku dan saat kebakaran mobilku.

Andi mengembalikan posisi tangannya seperti semula, “aku hanya memelukmu Al, aku janji. Aku rindu saat-saat kebersamaan kita dulu.”

Kali ini aku membiarkan tangan Andi memeluk pinggangku. Aku bergerak membelakanginya. Perasaan bersalah kembali menghantuiku. Bayangan masa-masa SMA dan kuliah kami terpampang sangat nyata di pikiranku.

“Maaf,” ucapku lirih.

“Tidak apa Al, aku mengerti,” jawab Andi.

Tentu saja kata ‘maaf’ yang kuucapkan berbeda penafsiran dengan apa yang dipikirkan Andi. Saat ini rasanya aku ingin menangis saja. Kugigit punggung jari telunjukku kuat-kuat agar meredam suara tangisku yang mungkin saja terdengar oleh Andi. Sungguh demi apa pun, rasa bersalah ini sangat menyakitkan!

***

Aku terbangun ketika matahari hampir mencapai puncaknya. Kulihat Andi sudah tidak ada di sampingku. Kemudian aku memutuskan untuk pergi mandi.

Setelah selesai mandi, aku pergi ke dapur untuk sarapan, sekaligus makan siang. Di meja makan sudah ada Alam, Ryan, dan Fauzi. Jika dulu aku akan kesal melihat 3 bocah itu makan di sini, tidak dengan sekarang. Aku berjalan ke arah mereka dan bergabung, duduk di kursi kosong.

“Kalian lagi makan ya?” tanyaku seraya mendaratkan pantatku di salah satu kursi.

“Iya tante, tante baru bangun?” tanya Alam.

Aku mengangguk seraya mengambil piring di atas meja makan. Lalu mengambil Nasi serta lauknya.

“Tante kok baru bangun jam segini? Mama bilang bangun itu harus pagi, kalau bangunnya siang kita akan kehilangan banyak hal.” Ucapan Fauzi menghentikan aktivitas kedua kakaknya yang tengah makan. Sedangkan ia dengan polosnya masih mengunyah ayam goreng di tangannya.

“Aku selalu bangun pagi, tapi tetap kehilangan Mama.” Ucapan Ryan menyadarkanku akan kehilangan tiga bocah ini terhadap sosok ibu.

“Ryan, Mama tidak hilang, Mama akan selalu bersama kita. Cuma bedanya, saat ini kita tidak bisa melihatnya.” Alam mencoba untuk menenangkan adiknya. “Sekarang habiskan makanannya, Mama kan tidak suka kalau makanan kita bersisa.”

Ryan mengangguk, ia kembali menyantap makan siangnya walaupun sangat terlihat kalau ia tidak bersemangat.

Aku ikut menyantap makananku, yang entah mengapa rasanya tidak seenak biasanya. Ucapan Fauzi mengganggu pikiranku. Walaupun aku tahu, aku salah menafsirkannya. Tapi kata-katanya tentang 'kehilangan' sangat menggangguku.

Dengan menjalin hubungan dengan Tedi, aku sudah menggadaikan bukan hanya Andi, tapi seluruh keluarga besarnya. Aku sadar, jika aku bersama Tedi, aku akan kehilangan banyak hal. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku sangat mencintainya.

Di rumah Tedi, aku tidak akan mendapatkan kehangatan ini. Hanya ada bu Ningrum yang sangat jauh dari kata mertua idaman. Ah, bisakah aku bersama dengan Tedi tapi tetap merasakan kehangatan keluarga ini? Dan Andi ... Apakah kami bisa bersahabat saja? Aku serakah bukan?

Keluarga Andi memang tidak sekaya Tedi. Tapi di sini ada banyak hal yang tidak ada di sana.

“Kalian sedang makan?” pertanyaan ibu mertuaku menyadarkanku dari lamunan.

Ibu mertuaku datang di susul dengan mas Ridwan di belakangnya. Mereka duduk di kursi kosong yang masih tersisa.

“Ibu habis manggil papanya anak-anak untuk makan. Kalau tidak di suruh makan dia akan lupa sama perutnya sendiri.” Ibu mertuaku sudah menjelaskan tanpa perlu aku bertanya.

Kulihat penampilan mas Ridwan sangat kacau. Lingkar matanya menghitam, matanya merah, seperti tidak tidur. Apakah begitu besar arti mbak Dini dalam hidupnya, sehingga kehilangannya membuat mas Ridwan patah arah?

“Udah bu, segitu aja.” Mas Ridwan menghentikan gerakan tangan ibu mertuaku yang sedang menyendokkan nasi ke dalam piringnya.

“Alam, kalau makannya sudah selesai, bawa adik-adik kamu main di luar ya,” titah ibu mertuaku yang melihat tidak ada lagi makanan di piring Alam.

Alam menyimpan piring kotor bekasnya dan kedua adiknya di tempat mencuci piring. Lalu ia mengajak adik-adiknya untuk keluar.

“Wan, kamu tidak boleh seperti ini terus. Kamu harus kuat dan harus jadi penguat untuk ketiga anak kamu,” ucap ibu mertuaku ketika anak-anak sudah pergi.

Mas Ridwan hanya diam. Melihatnya seperti bocah yang sedang dinasihati orang tuanya.

“Selain istri kamu, Dini adalah anak ibu. Katakan, kesedihan apa yang menimpa seorang ibu selain ketika mengantarkan anaknya sendiri ke peristirahatan terakhirnya?” Suara ibu mertuaku sedikit bergetar.

“Kamu pikir kamu saja yang sedih? Kamu pikir kamu saja yang merasa kehilangan? Ibu juga Wan! Ibu juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan!”

Mas Ridwan menitikkan air mata.

“Kamu boleh saja bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Pikirkan juga nasib anak-anak kamu.”

Air mata mas Ridwan semakin deras membanjiri pipinya dan berakhir di piringnya sendiri.

Benar yang di katakan mas Ridwan, dia sangat mencintai mbak Dini. Aku bisa merasakannya.

“Maaf Bu,” ucap mas Ridwan lirih.

“Sudahlah, kamu tidak perlu meminta maaf sama ibu. Ibu sudah menganggap kamu sebagai anak ibu sendiri.” Lalu ibu mertuaku mengalihkan pandangannya kepadaku, “begitu pun kamu Alya. Sejak pertama kali kamu menginjakkan kaki kamu di rumah ini, kamu adalah anak ibu juga. Jadi jika sewaktu-waktu Andi menyakitimu, kamu jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya pada ibu.”

Aku tersenyum. Kulihat mas Ridwan mengangkat wajahnya. Sepertinya ia baru sadar kalau aku ada di sini. Mata kami bertemu, tapi sedetik kemudian ia kembali memfokuskan matanya ke arah makanannya di piringnya. Ia memakannya dengan tergesa. Tidak menyadari kalau makanan di piringnya sudah bercampur dengan air matanya.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Where stories live. Discover now