Part 39 Fakta Baru

589 28 0
                                    

Sang sopir yang sempat ragu akhirnya menyerahkan bayi tersebut kepada Alya. Alya menggendongnya dengan sangat hati-hati.

“Berapa usianya pak?” tanya Alya setelah menempatkan bayi tersebut ke dalam pangkuannya.

“Jalan 5 bulan mbak,” jawab sang sopir taksi seraya menjalankan kembali kendaraannya.

Alya mengamati bayi tersebut. Pipinya bulat, matanya jernih, dan tangannya berusaha meraih wajah Alya. Alya mendekatkan wajahnya ke arah bayi tersebut. Ia meraihnya dan kemudian tersenyum. Hati Alya menghangat melihat senyuman manis dari bayi dalam pangkuannya.

“Sepertinya cucu saya menyukai mbak,” ucap sopir taksi, “pasti selain cantik, mbak orangnya baik hati dan penyayang.”

“Kenapa bapak bisa menyimpulkan seperti itu?” tanya Alya bingung.

“Seorang anak itu hatinya masih bersih mbak, dia bisa tahu mana orang yang baik dan tidak,” jawab sopir taksi.

Alya diam. Ia merasa kali ini penilaian orang di depannya tersebut salah. Ia bukan orang baik sama sekali.

Alya menoleh ke arah luar kaca mobil, mengamati pohon-pohon yang berlari berlawanan arah dengannya.

“Mbak sudah mempunyai anak? Maksud saya, mbak sudah menikah?” tanya sopir taksi.

“Eh, itu ... Ya, saya sudah menikah, tapi belum mempunyai anak.”

“Oh ... Semoga disegerakan ya mbak.”

Alya tidak menjawab ucapan sopir tersebut, ia lebih tertarik untuk mengetahui kehidupan bayi dalam pangkuannya.

“Ehm ... Bapak kenapa membawa cucu bapak bekerja? Maksud saya, kemana orang tuanya?” tanya Alya.

“Malang sekali nasib cucu saya mbak, dia tidak bisa merasakan kasih sayang orang tuanya dari lahir.”

“Ehm ... Maaf maksud bapak orang tuanya meninggal?” tanya Alya hati-hati.

Sang sopir taksi menggeleng, “tidak mbak. Menantu saya, ayah dari cucu saya, meninggalkan istri dan anaknya dan memilih untuk bersama dengan wanita lain.”

Deg. Alya mulai tak enak hati mendengar kalimat yang diucapkan sopir tersebut.

“Hal itu membuat putri saya depresi, dan akhirnya harus mengalami gangguan kejiwaan. Dan sekarang dirawat di rumah sakit jiwa. Saya adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki cucu saya. Istri saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Tapi karena saya juga harus bekerja, makanya saya membawa serta cucu saya bersama saya.”

“Apa tidak apa-apa membawa bayi saat bekerja pak?”

“Saya tidak punya pilihan lain mbak, ya memang sih, terkadang ada beberapa penumpang yang komplain sampai mengcancel pesanannya, tapi kembali lagi, rezeki sudah ada yang ngatur kan, saya tidak perlu khawatir.”

“Iya, bapak benar,” jawab Alya lirih seraya memandangi wajah bayi yang terus tersenyum ke arahnya.

Lama Alya terdiam dan hanya memandangi wajah bayi yang kini mulai terlihat mengantuk itu, hingga pertanyaan sang sopir taksi membuyarkan lamunannya, “mbak kok malah melamun, pasti memikirkan kelakuan buruk ayah dari cucu saya ya? Mereka berdua memang manusia tak punya hati mbak, maksud saya dia dan selingkuhannya. Terlebih lagi wanita itu, teganya dia menghancurkan wanita lain demi kebahagiaannya sendiri.”

Alya terdiam, ia merasa sopir taksi tersebut sedang mengumpat dirinya.

“Maaf mbak, saya malah jadi curhat. Sepertinya cucu saya sudah tertidur. Biar saya pindahkan ke boksnya lagi mbak.” Sopir taksi menghentikan mobilnya ke pinggir jalan tanpa menunggu jawaban dari Alya, lalu dengan hati-hati segera memindahkan cucunya melalui pintu belakang.

Sisa perjalanan menuju ke rumah Tedi, Alya lebih banyak diam. Ia tidak begitu menanggapi obrolan yang dilontarkan sopir taksi. Ia lebih memilih untuk membuka ponselnya kembali, mencoba menghubungi Tedi, namun masih tidak aktif. Jari Alya tergerak untuk membuka notifikasi sosial medianya yang sudah 99+. Wajah Alya seketika memucat membaca salah satu notifikasi di sana. Seorang teman men-tag akunnya pada sebuah postingan yang berisi sebuah foto dirinya bersama Tedi. Dibawahnya ia juga membaca beberapa komentar yang berisi hujatan-hujatan yang ditujukan untuknya.

Alya kemudian membuka profilnya. Isinya tidak jauh berbeda. Hujatan-hujatan dari orang-orang yang bahkan tidak dikenalnya di dunia nyata hampir memenuhi semua kolom komentar di foto-foto yang Alya unggah sebelumnya. Beberapa diantaranya bahkan dengan terang-terangan menyebutnya sebagai pelacur. Dan hal itu sukses membuat Alya meneteskan air mata. Ia benar-benar membutuhkan tempat untuk bersandar, tapi ia tidak tahu harus kemana sekarang ini.

***

Sementara itu di tempat lain yang beberapa saat lalu Alya tinggalkan, dua orang pria berbeda usia tengah berdiri menatap kepergian Alya.

Pria yang lebih dewasa menoleh terkejut ke arah pria yang lebih muda. Ia tidak tahu sejak kapan adik dari mendiang istrinya tersebut berdiri di sana.

“Kamu di sini Ndi?” tanya mas Ridwan.

Sebelumnya, Andi yang sedang berada di rumah mas Ridwan untuk menitipkan surat untuk kepala sekolah kepada Alam, tidak sengaja melihat Alya berdiri tak jauh dari rumah mas Ridwan. Melihat koper yang dibawanya, Andi yakin kalau Alya akan pergi. Andi berinisiatif meminta mas Ridwan untuk membujuk Alya agar tidak pergi, namun ternyata, sesuatu hal lain yang ia dengar.

“Jadi mas sudah tahu sebelumnya?” Andi menjawab pertanyaan mas Ridwan dengan pertanyaan.

“Kamu sudah mendengarnya?” tanya mas Ridwan.

Andi mengangguk, “kenapa mas tidak menceritakannya kepadaku?”

“Kamu tahu alasannya,” jawab mas Ridwan singkat, “Alya sudah menentukan pilihannya Ndi, sekarang bagaimana denganmu?” tanyanya.

Andi menatap ke arah dimana mobil yang Alya tumpangi menghilang. Ia tidak tahu harus apa. Berpisah dari Alya tidak ada dalam rencana hidupnya. Oke, saat ini mungkin Andi sangat marah dan kecewa, tapi bukan berarti Andi ingin Alya pergi. Andi hanya butuh waktu untuk menyendiri. Tapi ternyata cinta Alya memang bukan untuknya lagi.

“Aku akan melepaskan Alya mas, demi kebahagiaannya,” jawab Andi lirih.

“Demi kebahagiaanmu juga,” timpa mas Ridwan.

Andi menggeleng, “entahlah mas.”

“Kamu harus yakin Ndi, Tuhan telah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik untuk kamu,” ucap mas Ridwan seraya menepuk pundak Andi.

Andi hanya tersenyum kecut mendengarnya, “ehm ... Soal mbak Dini, aku harap topik itu cukup sampai sini saja. Aku tidak ingin Ibu mendengarnya, dan akhirnya salah paham. Jadilah ayah yang baik untuk Alam, Ryan, dan Fauzi.”

Mas Ridwan mengangguk.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Alam yang juga mendengar semuanya, mengurungkan niatnya untuk mencari Andi dan memilih untuk kembali ke kamarnya. Sebuah fakta yang baru saja ia ketahui tentang hubungan orang tuanya perlahan mengikis rasa bencinya kepada papanya. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti hubungan seperti apa yang dibicarakan papanya. Saat ini, hanya papanya yang ia punya, dan Alam memutuskan untuk memaafkannya.

“Jadi apa rencanamu sekarang Ndi?” tanya mas Ridwan.

“Aku belum tahu mas, yang jelas aku tidak mungkin kembali melatih basket di sekolah itu lagi,” jawab Andi, “kenanganku dan Alya bermula di sana,” lanjutnya dalam hati.

“Baiklah, terserah kamu saja. Tapi tolong, jangan tinggalkan ibu, ibu sangat rapuh tanpa kamu.”

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang