Part 37 Kepergian Andi

407 13 1
                                    

“Kamu mau ke mana Ndi?” Alya melihat Andi sibuk mengepak pakaiannya ke dalam ransel.

“Ada pertandingan persahabatan basket di Yogyakarta, aku harus mendampingi mereka ke sana,” jawab Andi tanpa mengalihkan pandangannya.

“A-apa? Tapi Ndi, soal foto-foto itu—“

Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Andi memotong, “Al, please ....” sangat kentara kalau Andi menghindari topik itu.

Andi sudah akan melangkah keluar dari kamar mereka ketika Alya menarik tangan Andi. Ternyata diabaikan seperti itu membuat Alya tidak nyaman.

“Ndi, tolong, kamu marahi saja aku, jangan diamkan aku seperti ini. Rasanya sungguh menyakitkan.”

Andi menurunkan tangan Alya perlahan, “aku pergi.”

Alya dengan sigap berlari menghalangi langkah Andi, tapi Andi masih enggan untuk menatapnya, “Ndi, please lihat aku sekali saja. Kita harus menyelesaikan masalah ini kan?”

“Aku hanya sedang mencegah diri untuk tidak marah dan akhirnya menyakiti hati kamu Alya. Tolong, mengerti perasaan aku sedikit saja,” ucap Andi pelan, masih tetap menghindari bertatapan langsung dengan Alya.

“Tapi Ndi, kita harus bicara.” Alya sedikit mengguncangkan tubuh Andi.

Andi berbalik membelakangi Alya, “Baiklah. Aku bisa menunda keberangkatanku sekitar lima menit.”

“Ehm ... Itu ... Soal foto-foto itu,” Alya menjeda kalimatnya, untuk melihat ekspresi Andi, tapi Andi tetap bergeming, “itu memang aku,” lanjutnya lirih.

“Aku juga tidak tahu kenapa bisa sampai seperti ini, aku ... Aku tidak berniat mengkhianati kamu Ndi, perasaan ini ... Perasaan ini datang begitu saja.”

“Semua ini bermula saat kami dinas ke Surabaya. Saat itu ... Badan aku gatal-gatal karena alergi makan bebek, lalu mas Tedi mengoleskan obat alergi ke punggung aku, dan ... Dan terjadilah kejadian itu.” Alya melihat Andi menunduk seraya mengeratkan telapak tangannya.

“Sejak kejadian itu, aku ... Aku tidak bisa mengontrol hati aku sendiri Ndi, ini bukan sepenuhnya salah aku. Bukan aku yang menginginkan hati aku jatuh cinta sama siapa. Ya, aku mengaku sekarang. Aku jatuh cinta sama mas Tedi. Aku jatuh cinta sama dia Ndi. Katakan! Aku harus bagaimana Ndi?”

“Sebelum kamu melakukan itu, kamu sadar kan Al, kalau apa pun itu akan menyakiti banyak orang? Bukan hanya aku di sini yang terluka Al, tapi juga sahabat kamu di sana.”

“Aku ... Aku hanya ingin bersama dengan orang yang ku cintai, Ndi,” ucap Alya lirih.

Andi mengusap matanya yang merah berair dengan menggunakan ibu jari dan telunjuknya, “aku harus pergi.”

“Aku akan mencari tahu orang yang telah menyebarkan foto-foto itu Ndi, orang yang telah mencemarkan nama baik keluarga kamu,” ucap Alya di belakang punggung Andi.

Andi berbalik ke arah Alya, kali ini ia menatap bola mata Alya tajam, “jadi itu yang kamu pikirkan? Apa kamu tidak berpikir kalau foto-foto itu tidak akan ada kalau tidak ada yang berbuat Al? Katakan Al, kurang apa aku selama ini sama kamu? Kita menikah memang belum lama, tapi kita sudah bersama selama bertahun-tahun. Dan cinta kamu berpaling begitu saja dalam waktu satu malam?”

“Aku ....”

“Dan satu lagi, aku memberikan kamu kesempatan untuk berbicara berharap kamu mengatakan satu kata yang akan merubah segalanya, 'Maaf'. Kamu tinggal bilang 'Maaf', aku pasti akan memaafkan semua kesalahan kamu Alya! Tapi sepertinya kamu bahkan tidak menyadari kesalahan kamu. Semua ucapan yang aku dengar hanya ucapan pembenaran atas apa yang kamu lakukan. Cinta kamu bilang? Hah! Cinta itu tidak menyakiti Al. Cinta itu memberi kebahagiaan, bukan memberi luka.” Andi meninggalkan Alya yang masih mematung di tempat yang sama.

Tubuh Alya melorot di atas lantai. Ia sadar, cepat atau lambat, hal ini pasti akan terjadi. Tapi saat ini ia benar-benar belum siap. Alya belum siap kehilangan Andi. Alya ingin berpisah dari Andi dengan cara yang baik, bukan dalam kemarahan.

Sementara itu, Andi berjalan cepat menuju ke tempat sepeda motornya terparkir. Ia naik ke atasnya dan menunggu cukup lama sebelum menyalakan mesin motornya. Pandangannya tertuju pada pintu rumahnya. Ia berharap Alya datang mengejarnya, tapi harapannya sia-sia. Kali ini Andi tahu, cinta Alya memang bukan untuknya lagi. Andi pergi dengan rasa kecewa yang ia bawa di hatinya.

Samar-samar, Alya mendengar suara bu Roswita memanggil nama anak lelaki kesayangannya seiring dengan menyamarnya suara motor Andi. Alya berdiri dan keluar kamar, menemui ibu mertuanya yang menatap kepergian anak lelaki satu-satunya tersebut.

Bu Roswita sedang berlutut di atas teras ketika Alya datang. Entah apa yang membuat bu Roswita terlihat sangat sedih. Padahal Andi hanya akan pergi sebentar saja.

“Bu ....” Alya meraih bahu ibu mertuanya tersebut, “ibu kenapa?”

Tanpa aba-aba, mbak Tati datang dari arah belakang dan menghempaskan tangan Alya yang masih menempel di atas bahu bu Roswita. Gerakan yang sangat tiba-tiba tersebut berhasil membuat tubuh Alya terhuyung dan jatuh terduduk di atas teras.

“Gara-gara kamu Andi jadi pergi!” tuding mbak Tati.

“Maksud mbak apa? Bukannya Andi pergi karena ada pertandingan persahabatan basket di Yogyakarta?” tanya Alya bingung.

“Kalau begitu kenapa Alam masih di sini?”

“Alam ikut tim basket?” tanya Alya.

“Ternyata kamu tidak tahu apa pun tentang keluarga kamu sendiri Alya!”

“Lalu Andi kemana mbak?” Alya mulai khawatir.

“Menghindari kamu tentunya!”

“Apa? Tap-tapi ....”

“Ayo bu, kita masuk.” Mbak Tati membawa bu Roswita masuk ke rumah, meninggalkan Alya yang masih terduduk di atas teras.

Alya berdiri memandangi arah motor Andi pergi, “kamu ke mana Ndi? Apa benar kamu pergi karena untuk menghindari aku? Tapi kenapa? Bukankah lebih mudah jika kamu mengusirku dari rumah ini?” Alya bermonolog.

Alya berbalik menatap rumah ibu mertuanya. Tempat ini adalah tempat yang beberapa bulan terakhir menjadi tempatnya untuk pulang, tempat untuk mengistirahatkan diri dari penatnya dunia. Andi adalah alasan satu-satunya ia berada di sini. Tanpa Andi, ia bukan siapa-siapa di rumah ini.

Mungkin sudah seharusnya aku meninggalkan rumah ini. Mungkin Andi terlalu sungkan untuk mengusirku, sehingga dia memilih untuk pergi. Tanpa aku, keluarga ini akan baik-baik saja. Tapi tanpa Andi, keluarga ini akan sangat kehilangan. Batin Alya.

Alya melihat sendiri bagaimana peran Andi dalam keluarga ini. Sebelumnya Alya cemburu karenanya, tapi saat ini ia sadar, begitu pentingnya sosok Andi bagi ketiga wanita dalam keluarga ini, yang sekarang berkurang satu karena mbak Dini telah tiada.

Tanpa terasa bola mata Alya meneteskan air mata. Ia tidak siap kehilangan semuanya. Terlebih lagi, saat ini orang tuanya sudah tiada. Ia tidak mempunyai tempat untuk pulang.

“Aku harus menghubungi mas Tedi,” putus Alya seraya mengusap kedua matanya yang masih basah. Ia kemudian berlari ke kamarnya untuk mengambil ponselnya.

Pernikahan Pasangan Populer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang