10.

515 60 2
                                    

Setiap cerita pasti punya kisah awalnya, seperti bagaimana semesta tercipta. Setiap kisah pasti pernah mengalami dimana sang penulis merasa bahwa mereka menemui akhirnya, meskipun kenyataannya belum ada yang berakhir jika semesta masih saling berputar satu sama lain. Seperti halnya seperti dunia yang bahkan tercipta sebelum sapiens lahir sudah mengalami berkali-kali kepunahan, sekitar empat-lima-atau justru enam juta tahun yang lalu. Mungkin, bagi nenek moyang kita, mereka sudah berkali-kali merasa dunia mengalami masa akhirnya, tapi sayangnya dunia masih berjalan sampai sekarang.

Itulah yang gue rasakan dahulu. Disaat gue memutuskan bahwa ini adalah akhir hubungan gue dan Aga. Gue kira kehidupan gue akan berhenti saat itu. Nggak akan ada yang berjalan seperti biasanya, seolah gue hilang arah apa yang harus gue lakukan untuk hidup.

Tapi, nyatanya enggak. Bahwa sebuah akhir bukanlah akhir dari segalanya, akhir dari sebuah keputusan mungkin bisa jadi awal sebuah tragedi. Apapun itu.

"Percaya, Ayunda, mungkin kehidupan yang kamu akan anggap berakhir, bisa jadi justru itu jadi permulaan kamu." Jelas Bunda satu tahun lalu, ketika gue bercerita bahwa gue dan Aga sudah nggak bisa bersama.

"Selama dunia masih memberikan kamu hidup, rotasi hidup itu akan terus berputar dan nggak akan menemukan akhirnya."

Ya. Dan gue percaya. Ketika gue bangun tidur dan nggak ingin memulai hidup, itulah yang selalu gue ingat. Bahwa dunia masih memberikan gue kesempatan untuk menyelesaikan hal yang belum gue selesaikan.

Life is actually just simple and straight just at it is, tapi sayangnya banyak manusia yang memikirkan lika-liku yang membuat segalanya menjadi rumit. Ah- ini sebenarnya hanya menyindir gue.

Percaya atau tidak, saat gue dan Aga putus, alasannya hanya berdasarkan sesuatu yang simpel. Nggak ada konflik berarti.

Hanya diawali dengan nggak intensnya komunikasi kita seperti biasa dan gue yang nggak mempermasalahkan itu. Gue hanya berusaha mengerti bahwa Aga termasuk orang yang sangat sibuk dan waktunya nggak bisa dia luangkan sembarangan. Tapi, selama delapan tahun kami menjalin hubungan, ini hanya terasa nggak biasa bagi gue. Yang gue inginkan hanyalah kami berbicara empat mata, menjelaskan apa yang kami simpan dan rasakan.

Meskipun itu menjadi jurang bagi gue sendiri.

Gue hanya ingin dihargai sebagai pasangan, mau bagaimanapun komitmen yang kami bentuk sudah terjalin lama.

"Ga, bisa kan kita kayak dulu lagi?" Gue memegang gelas berisi cola secara erat, sedangkan Aga masih duduk diam dengan kepala agak menunduk. Bising para pengunjung cafe ikut mengisi obrolan kami.

"Dulu kamu juga sibuk, Ga, tapi... masa iya buat aku nggak ada waktu sedikit?"

Gue bahkan bisa mendengar helaan nafas Aga, "Maaf Ay, sulit banget buat aku akhir-akhir ini."

Dan perasaan mengganjal itu mulai menyerang gue, otot gue semuanya ikut menegang.

"Iya, Ga, aku tahu kerjaan kamu banyak. Tapi, kalau aku masih ada di daftar prioritas kamu, bisa kan semenit aja? Aku nggak masalah."

"Maaf."

Aga nggak pernah sepasrah ini dan ini membuat gue agak frustasi, masih nggak bisa menerka apa yang ada dia pikirkan.

"Kita selesaiin aja semuanya."

Jantung gue rasanya seperti berhenti, kaki gue lemas. Selama delapan tahun berhubungan, baik gue dan Aga nggak pernah berani untuk menyebut kata itu. Bahkan jika kami berhadapan dalam konflik yang mengalahkan perdebatan dunia, pada akhirnya kami bisa menyelesaikannya secara baik-baik.

"Ga... Nggak gini dong." Air mata gue hampir keluar, tapi gue tahan mati-matian.

"Ay, semuanya udah berantakan, aku juga udah nggak bisa ngatur semuanya kayak dulu lagi. Aku udah nggak bisa bikin posisi kamu kayak dulu lagi."

heroine of youWhere stories live. Discover now