33.

358 49 0
                                    

Perjalanan ke Malang dengan kereta yang memakan waktu sepuluh jam lebih, menyisakan estimasi perjalanan Aga dan Ayu tujuh jam lagi.

Ayunda sudah tertidur dengan kepala yang sedikit miring bersender pada pinggir jendela dekat tempat duduknya. Tadi, lima menit sebelum Aga lihat, Ayu masih fokus membaca bukunya, sekarang gadis itu sudah terlelap dengan tangannya memeluk buku.

Aga menyelipkan satu bantal kecil di kepala Ayunda agar tidak terantuk saat kereta bergerak.

Dipandangnya Ayunda cukup lama, selama Ayu masih ada di sebelahnya.

Cantik. Ayunda sangat cantik hingga Aga bingung bagaimana mengungkapkannya. Meskipun Aga jarang mengutarakannya secara langsung, tapi setiap hari ada saja Aga masih terkesima dengan Ayunda. Nggak peduli saat gadis itu memakai polesan makeup atau tidak. He has seen her in every condition, her flaws, her calm, and something sparkled when she look into something she love; And Aga knows one of them is him.

Pembawaan Ayunda cukup tenang, suaranya begitu lembut, dan masih suka salah tingkah. Untuk yang poin terakhir, Aga masih nggak habis pikir, sudah selama ini mereka bersama Ayunda masih saja nggak bisa mengelak kalau dia sedang malu saat dia goda.

Pipi Ayunda gampang memerah, itulah kenapa Ayunda nggak bisa bohong.

Pandangannya harus terbuyar ketika ada satu panggilan dari Ajun.

—-

Ini juga pertama kalinya Ayunda bisa mengunjungi rumah orang tuanya yang berada di Malang. Mereka baru pindah beberapa bulan, karena ayah Ayu yang menggeluti bisnis perkebunan setelah pensiun dari pekerjaan.

Ayunda begitu takjub ketika turun dari taksi, rumah dengan gaya limasan jawa modern satu lantai tapi sangat luas, dibatasi oleh pagar kayu cendana yang setinggi leher Ayu. Tangannya menggeret koper, sedangkan Aga hanya membawa satu backpack dan di tangannya membawa bingkisan untuk orangtua Ayunda.

Kilas singkat, setelah pusing dengan saran-saran dari temannya barang apa yang Aga bawa untuk orangtua Ayunda di Malang. Kebanyakan dari mereka menyarankan martabak, tapi nggak mungkin membawa martabak jauh dari Jakarta ke Malang.

Sandi menyarankan untuk membawa seserahan lamaran, saran abang tertua itu memang agak gila. Sudah tau Ayunda belum siap, bukannya lamaran Aga akan diterima nantinya, malah bisa jadi ada keributan besar.

Akhirnya setelah bertanya pada Ayunda, dia menyarankan bawakan saja lapis bogor dan mochi, yang dijual di toko oleh-oleh khas bogor.

"Sekeluargaku suka banget sama bolu itu, kali aja bunda sama ayah kangen mau makan lapis bogor hehe. Enak lho ayah suka makan kue itu sambil ngopi."

Jadilah pagi sebelum Aga berangkat ke Malang, dia pergi dulu ke Bogor, untuk membeli beberapa kotak bolu lapis bogor dan mochi dengan isi berbagai rasa.

"Permisi? Ayah? Bunda?" Ayu membuka pagar rumahnya, lalu berjalan melewati batu setapak yang berjejer lurus hingga ke teras rumahnya. Di samping kanan kirinya terdapat rumput, berbagai tanaman dan bunga, dan ada satu pohon jambu air yang sudah tumbuh tinggi.

Sejuk. Pertama kali yang Ayunda rasakan ketika melihat suasana rumah ini.

Suara kunci pintu dibuka terdengar, kenop pintu ditarik dan muncul di daun pintu wanita paruh baya yang masih memakai daster, disusul oleh seorang pria berumur lima puluh ke atas dengan pakaian baju polo dan sarung kotak-kotak berwarna hijau.

"Eh... Sudah sampai." Ujar bunda Ayunda dengan ekspresi kelewat sumringah.

"Bunda!" Ayunda menghambur ke pelukan bundanya, lalu kecupan sayang mendarat di pipi kanan dan kiri Ayunda.

heroine of youWhere stories live. Discover now