Chapter 2. Bellatrix Burke

10 2 2
                                    


***
Kota Grendfield. Tak ada yang berubah banyak di kota kecil ini sejak badai besar enam belas tahun lalu. Hanya orang-orang yang semakin bertambah tua dan anak-anak yang bertumbuh menjadi remaja. Pagi yang tenang di panti asuhan Hope, Xander menggeliat di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Remaja enam belas tahun itu kemudian memincingkan mata. Sinar matahari yang masuk melalui kisi jendela terasa menyilaukan.

Xander meraih jam weker di atas nakas samping tempat tidurnya. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Dia kemudian beranjak dari pembaringan. Sejak kecil xander memang terbiasa bangun sangat awal, sekali waktu dia terbangun karena berbagai mimpi buruk yang memaksanya tak bisa terlelap kembali yang akhirnya membuatnya terbiasa untuk bangun sebelum jam enam pagi. Remaja lelaki itu kemudian membereskan tempat tidurnya lalu mengambil handuk untuk segera mandi. Tinggal di sebuah panti asuhan membuat dia harus terbiasa melakukan segala halnya sendiri, dia harus bisa mandiri tanpa merepotkan ibu pengasuh. Apalagi saat dulu ia memiliki banyak saudara senasib di panti ini. Ya, Xander saat ini adalah satu-satunya anak panti yang tersisa. Semua temannya yang lain sudah diadopsi oleh orang tua asuhnya masin-masing. Hanya Xander yang tersisa, sejak kejadian orang tua yang ingin mengangkat Xander menjadi anak ketakutan karena melihat pemuda tanggung itu, ibu pengasuh akhirnya tak pernah lagi membawakannya orang tua angkat. Dan sejak itu, ibu pengasuh tak lagi menerima anak untuk di tampung di panti.

Xander menatap malas pantulan wajahnya di cermin. Menarik-narik rambutnya yang berdiri seperti duri landak.
"Uuh, aku harus mengecatnya lagi," gerutu Xander mengeluarkan perlengkapan cat rambut. Dia membuka botol cat rambut berwarna hitam, mengeluarkan isinya yang berbentuk pasta seperi pasta gigi. Mengolesnya dengan cepat ke sikat rambut dan mengoleskan ke rambutnya yang terlihat berwarna merah tua. Xander tak habis pikir, bagaimana mungkin rambut yang baru dua hari dia semir menjadi hiram sudah terlihat luntur. Belum lagi bentuk rambutnya yang berdiri acak-acakan. Selama apun dia menyisir rambutnya tetap saja akan berdiri kembali. Dia selalu teringat dengan tokoh kartu kesukaannya, manusia setengan kera yang memiliki rambut kuning berdiri ketika mendapatkan kekuatan. Andai dia memiliki kekuatan super seperti itu, mungkin takkan ada yang berani mengejeknya. Xander terenyum dan menggeleng memikirkan hal itu di kepalanya. Mana ada yang seperti itu? Tak ada sihir di dunia ini bukan?

Xander merapikan buku-buku sekolah dan memasukkannya ke tas. Tak ketinggalan buku novel kesayangannya tentang seorang anak yang memiliki kekuatan sihir dan memiliki bekas luka di dahinya. Xander melirik telapak tangan kanannya. Dia memperhatikan bekas luka yang ada di sana. Bentuk yang anek. Ketika dia mencoba mengepalkaan tangan seakan bekas luka itu berbentuk batu yang tergenggam. Mungkin hanya kebetulan kalau dia juga memiliki bekas luka. Dia yakin jika dunia sihir itu tidak ada.

Xander menuruni tangga, dia memang menempati kamar di lantai dua rumah ini. Dia berjalan menuju dapur, di sana dia melihat seorang wanita setengah baya berambut keemasan terlihat sedang sibuk di dapur rumahnya. Membuat pancake dan menjerang air untuk menyeduh teh. Kucing kesayangan ibu angkatnya terlihat menggelung malas di dekat wastafel daput. Musik golden memories yang berputar dari sebuah piringan hitam mengalun indah dari ruang tamu. Walaupun saat ini serba digital, ibu Anne, begitu dia memanggil wanita itu, lebih menyukai musik yang diputar di sebuah gramophone. Suaranya lebih merdu katanya. Gramophone milik bu Anne terlihat masih sangat baru, padahal menurut wanita yang membesarkannya itu, gramophone itu sudah lama ada sebelum dia lahir.

Melihat kedatangan Xander, wanita yang masih terlihat cantik di usia lima puluhan itu meletakkan dua piring besar di meja makan, menuyusun pancake diatasnya kemudian menyiramnya dengan madu, terakhir dia menaburkan gula halus di atasnya.
"Makanlah, Nak," sahut wanita itu mengusap puncak kepala Xander. Kemudian mencuci tangannya di wastafel dapur lalu bergabung dengan Xander di meja makan.

"Kau mengecat rambutmu lagi?" Anne memperhatikan rambut basah Xander yang berwarna hitam gelap.

"Huum," ujar Xander yang melanjutkan meyuap sepotong pancake madu yang sempat terjeda karena pertanyaan Anne.

Heart of Reinheart (The Galatyn Sword)~(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang