9 #비가 오는 날엔

71 8 13
                                    

Backsound #9

Heize ㅡ On Rainy Days

P.S: Cerita ini dibagi menjadi 3 Chapter

Title: My Precious Stepbrother (Pt. 1)

***

Pagi itu, rintik gerimis turun membahasi bumi. Aroma petikor yang memabukkan pun menyeruak memenuhi indera penciuman orang-orang yang tengah berlalu lalang. Sama halnya dengan dirimu yang pagi itu tengah menikmati aroma menenangkan petikor sembari berlari menembus rintik hujan demi mengejar bus agar tidak terlambat ke sekolah.

Kamu terus berlari sembari memanggil bus yang beberapa detik lalu baru saja meninggalkan halte, namun mau sekeras apapun kamu berteriak, bus tersebut tetap tidak berhenti, seakan memang sang supir tidak dapat mendengar suaramu. Kamu pun berhenti berlari sembari mengatur napasmu, lalu menyeka peluhmu yang sudah bercampur dengan rintik hujan yang semakin lama semakin deras.

Daripada kamu semakin basah kuyup, akhirnya kamu memutuskan untuk meneduh kembali di halte bus tadi, sembari memasang wajah kesal karena sepertinya kamu harus membolos sekolah pada hari ini. Namun kamu masih memiliki harapan terakhir. Dan segera kamu buka resleting tasmu, lalu kamu ambil ponselmu dan memilih untuk menelepon seseorang yang dekat denganmu, berharap orang tersebut dapat menjemputmu dan setidaknya mau membantu mengantarkanmu ke sekolah.

Miris, panggilan darimu bahkan sama sekali tidak diangkat oleh seseorang yang terbilang sangat dekat denganmu. Hingga pada akhirnya kamu menyerah dan berhenti meneleponnya di panggilan ke sepuluh.

"Menyebalkan sekali! Hah! Benar-benar hari yang buruk! Kenapa aku sudah merasa sial sepagi ini?!? Kenapa harus aku!!!"

Kamu menggerutu dan berteriak di tengah hujan yang semakin deras. Tidak ada siapapun di sekitarmu, sehingga kamu bebas untuk menyuarakan emosi yang terpendam dalam dadamu. Baru beberapa menit meredam amarah dan emosimu, ponselmu tiba-tiba bergetar, menandakan ada pesan masuk.

Untuk apa meneleponku? Kamu terlambat ke sekolah? Aku bahkan tidak peduli.

"Shit!"

Kata umpatan itu langsung lolos dari bibirmu. Sebenarnya, kamu itu bukan tipe orang yang mudah mengumpat, namun berbeda jika ada orang yang membuatmu kesal. Seperti orang yang kamu telepon tadi. Kakak tirimu. Jeffrey.

Untung saja hanya kakak tiri, bukan kakak kandung. Begitu pikirmu. Bukan tanpa alasan kamu berkata seperti itu. Masalahnya, Jeffrey itu bahkan tidak bisa kamu sebut sebagai seorang kakak. Hanya sebagai status pada Kartu Keluarga saja yang menyatakan seperti itu. Tetapi aslinya, kamu sebenarnya membenci dia dan bahkan kamu sama sekali tidak menganggapnya sebagai kakakmu.

Kamu pun teringat kembali pada kejadian di mana pertama kalinya kamu bertemu degan kakak tirimu itu. Ketika itu umurmu belum genap enam tahun, dan tiba-tiba saja pada suatu hari, ayahmu membawa pulang seorang anak yang berusia lima tahun lebih tua darimu.

Dan ayahmu dengan entengnya menyebutkan bahwa beliau telah setuju untuk mengadopsi Jeffrey karena sudah berjanji dengan mendiang sahabat karibnya, yang tak lain tak bukan adalah ayah kandung Jeffrey. Ayah Jeffrey telah tiada karena sakit, sedangkan ibunya juga telah tiada ketika melahirkan Jeffrey, sama seperti apa yang dialami olehmu.

ET CETERAWhere stories live. Discover now