bab 10

2.1K 146 3
                                    

Arga melempar asal tas nya, tanpa mengganti seragam, ia langsung merebahkan kembali tubuhnya ke kasur, Arga juga menarik selimut guna menutupi seluruh tubuhnya, rasa dingin menyergap, bulir keringat meluncur begitu banyak, padahal di kamarnya ada penyejuk udara.

Suara ketukan terdengar dari pintu kamarnya, itu Layla, dia mengatakan bahwa ia telah selesai memasak.
"Ga, Ayo makan!" Ajaknya.

Tak ada jawaban, Layla membatin, sampai kapan nak kamu kek gini? dan berakhir dengan makan sendiri.

Layla tiba-tiba saja teringat pria di hotel itu, pria yang mengatakan bahwa dirinya adalah calon istrinya, bagaimana bisa seorang calon istri tak tau nama calon suaminya, bahkan tak punya nomor teleponnya sama sekali.

Ia memijat pelan dahinya, lupakan sajalah, toh, mungkin dia hanya kepepet belum tentu serius.
Layla meyakinkan dirinya, untuk tak berharap apapun, apalagi pada pria yang lebih muda darinya.

****
Seminggu Arga tak masuk ke sekolah, ini bisa jadi alasan kuat agar Arga tak lulus, pak Rafli juga belum menemukan titik terang akan kehidupan Arga, dimana rumahnya, siapa orang tuanya, yang hanya pak Rafli tau, simpang tiga menuju rumah Arga, dan sekarang disinilah posisi guru itu, untuk menjemput muridnya.

Dan benar saja, Arga berjalan lunglai dengan menundukkan kepalanya, jika kalian tau, dia seperti anak tak terurus, kurus, pucat, dan masih menenteng sebatang rokok di tangannya.

Pak Rafli mendekati Arga, ia menghentikan motornya tepat di hadapan muridnya itu, merasa ada yang menghadang, Arga langsung mendongakkan kepalanya.

Netranya membulat sempurna, ia hendak lari tapi sadar tubuhnya tak cukup kuat.

Pak Rafli langsung merangkulnya, "ikut saya, saya ga akan bawa kamu kesekolah, saya ikut kamu bolos"
Arga tetap menolak tapi tenaga pak Rafli cukup kuat menariknya, dan membawanya ke suatu tempat.

Danau.

Mereka duduk menatap air tawar itu, pak Rafli menoleh ke wajah pucat Arga, sedangkan Arga masih tetap lekat menatap danau berukuran kecil itu.

"Kamu kenapa seminggu ga datang sekolah?" Pak Rafli mulai bertanya.

"Sakit"

"Kenapa ga ada surat izin?" Tanya pak Rafli lagi.

"Lupa"
Enteng sekali Arga menjawabnya.

"Kamu tau kan kalau itu bisa benar-benar bikin kamu ga lulus!"

Arga mengangguk.

"Terus kenapa ga mau sedikit aja berjuang untuk lulus?"

"Ga lulus pun, gapapa!"

Pak Rafli mengerenyitkan dahinya, ia tak paham sama jalan pikiran muridnya satu ini.

"Takdir!" Sambung Arga lagi.

"Saya ga tau apa alasan kamu jadi selemah ini, tapi, saya mohon kamu harus punya semangat!"

"Pak, saya lagi ga mau denger ceramah siapapun!"

"saya hanya mau kamu itu punya semangat, saya yakin kamu itu pintar, kamu itu cerdas, kamu anak baik"

Arga tak bergeming, sampai akhirnya ia membangkitkan tubuhnya.

"Mau kemana?" Tanya pak Rafli.

"Beli rokok!" Jawab Arga seadanya, pak Rafli langsung menyodorkan sebungkus rokok pada Arga.

" Lucky strike kan?"

Arga mengangguk, itu merek rokok favoritnya, "Makasih pak!"

Merasa keadaan sudah lebih tenang, pak Rafli kembali bertanya, ia akan tetap mengulik masalah yang membuat Arga tak semangat.

"Saya boleh tau, apa yang bikin kamu kek gini?"

"Kek gini gimana?"

"Ga ada semangat hidup!"

"Pak, saya kek gini bukan berarti ga ada semangat hidup ya! Saya cuman capek sama keadaan, lingkungan rumah, sekolah, semuanya! Saya mau bernafas lega aja susah!" Arga menangis dihadapan sang guru, ia tak tahan menampung masalah itu lagi, begitu berat, dipikul pun semakin sakit.

Tangisnya terisak, menandakan bahwa Arga benar-benar frustasi,
"Saya tau saya anak dari seorang pelacur! terus kenapa? Saya tau saya juga bodoh, tolol, semua yang buruk itu di saya! Terus kenapa?" Arga setengah berteriak, ia juga tak segan memukul kepalanya sendiri.

Pak Rafli segera melerainya, menghentikan aksi bodoh dengan menyiksa diri sendiri lalu kemudian memeluk tubuh Arga, mencoba menenangkannya, semua mata mulai menatap mereka heran, karna bukan hanya mereka di danau ini.

Ia mengelus kepala Arga, perlahan deru nafas remaja itu stabil, ia juga tak menangis lagi, pak Rafli melepas pelukannya,
"Arga lihat saya!" Pinta pak Rafli, Arga langsung menatap manik coklat milik sang guru.

Pak Rafli menyentuh kedua bahu Arga, "saya tau kamu itu lebih kuat dari yang orang lain pikirkan, saya akan tetap ada disamping kamu, saya janji bakal jaga kamu Arga!"

Kedua manik Arga tak berkedip, mendengar kalimat yang baru dituturkan itu membuatnya tenang, pandangan mereka begitu lekat, penuh arti, entah dasar apa, Arga langsung memeluk tubuh pak rafli erat, pak Rafli pun membalasnya dengan mengelus-elus punggung Arga.

STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang