CHAPTER 44: REGRET

402 50 0
                                    

12:30 AM 

“Pierre!"

Pierre, Joshua, dan Judith, yang tengah duduk bersama menunggu Sienna, menoleh ke sumber suara. Nyonya Debora datang menghampiri mereka.

"Mah--" Pierre lekas berdiri, dengan disusul Joshua dan Judith. Pria itu  lekas menghampiri sang Ibu dan memeluknya erat. 

It’s okay…semua akan baik baik saja,” Ujar Nyonya Debora mengusap usap punggung sang anak. 

“Ini semua salah Pierre, mah..hiks..” 

“Hei…jangan Ngomong begitu!” Ujar Nyonya Debora melepaskan pelukannya dan menyentuh wajah sang anak, membuatnya menatapnya, “Nggak semua hal bisa kita kendalikan. Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan, Okay?”

Pria itu mengangguk pelan.

Nyonya Debora menoleh menatap Joshua dan Judith, yang lekas membungkuk padanya. Beliau berterima kasih pada keduanya karena mau mendampingi putranya di saat sulit seperti ini.

CLIK!

“Oh??” Joshua melihat lampu ruangan ICU berubah hijau, menandakan kegiatan di dalam sana sudah selesai, “Kayaknya udah selesai.” Ujarnya.

Benar saja, tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan. Mereka segera menghampiri sang Dokter. “Anda kerabat dari pasien Sienna?"

“Benar sekali!”

“Nona Sienna sempat kritis di awal karena hampir kehilangan banyak darah. Tapi beruntung Ia segera dibawa kemari sehingga masih bisa diselamatkan,” Ujar Sang Dokter. 

Raut wajah lega tergambar di wajah mereka semua.

“Kami sudah menutup beberapa bagian yang terluka dan membersihkan pecahan kaca yang ada di kepalanya. Ia belum sadar sepenuhnya karena memang kondisinya belum bisa dikatakan baik. Tapi masa kritisnya sudah lewat. Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan, tapi mohon untuk jangan dulu diganggu hingga kondisinya membaik,” Ujar sang Dokter. 

“Tapi, aku boleh menunggunya kan dok?” Tanya Pierre.

“Satu atau dua orang wali saja."

“Terima kasih Dokter!" Ujar Nyonya Debora. 

“Syukurlah…” gumam Joshua lega.

Thanks…kalian bisa pulang. Makasih karena udah mau nemenin gue," ucap Pierre.

“Kami akan balik kalau Sienna udah mendingan," Ujar Joshua memeluk Pierre dan Nyonya Debora bergantian, “Kabarin gue perkembangannya.”

Pierre mengangguk pelan. Joshua dan Judith pun berpamitan. Ia merangkul gadis itu keluar dari rumah sakit.

“Hei…udahlah, Sienna is fine now,” Gumam Joshua pada Judith, yang masih terlihat muram. 

“Aku tahu..hh…aku cuma masih merasa shock aja,” Gumam gadis itu mengusap kedua matanya selepas menangis, “Maaf rencana kita jadi gagal semua.”

“Eyy~ kenapa kamu harus minta maaf?? Ini semua terjadi di luar kuasa kita," Ujar Joshua. “Let’s just rest tonight. You’ve worked hard today. I’ll stay in your place, okay?"

Judith  tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

“Okay," Balas Joshua mengecup kening gadis itu, “Let’s go,” Ujarnya mengajak Judith  pulang. 

Two Hours Later 

Pierre kembali ke ruang perawatan setelah mengantar sang Ibu pulang. Ia berjalan mendekati bangsal rawat gadis itu. Sienna masih terbaring di sana dengan perban menutupi area kepalanya.

Ia terduduk lesu di kursi di samping bangsal rawat gadis itu. Tangannya bergerak menggenggam tangan gadis itu.

“Maaf…” gumamnya mengecup tangan gadis itu. Ia benar benar merasa begitu bersalah pada Sienna.

Jika saja Ia tak terlalu terobsesi untuk membalas Naomi, mungkin semua tak akan jadi begini. 

Tapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Apa yang terjadi sudah tak lagi bisa diputar balikkan. 

Pierre membenamkan wajahnya di kasur gadis itu. Rasa lelah secara fisik dan mental begitu menderanya saat ini hingga perlahan Ia pun terpejam dan larut ke alam mimpi. 

ㅡㅡㅡ***ㅡㅡㅡ 

The next morning
9 AM

Pierre masih tertidur lelap tak bergerak dari posisinya sejak semalam hingga kemudian Ia merasakan sesuatu yang lembut terasa menggelitiki sisi wajahnya.

“Hngh?" Ia perlahan membuka matanya dan mendapati jika posisi kasur Sienna sudah berubah. Gadis itu kini duduk bersandar pada ujung bangsalnya yang sudah dinaikkan. 

“Morning,” Gumam gadis itu masih terlihat lemah. Ia tersenyum tipis sembari mengusap lembut sisi wajah Pierre.

Pria itu lekas terbangun dan terkejut ketika mendapati gadis itu sudah sadar, “A-Aku akan panggil dok—” Namun Sienna  menahannya. 

“Mereka sudah meriksa aku tadi pas kamu masih tidur,” ujar  Sienna.

“Kenapa kamu nggak bangunin aku??"

“Sengaja, You look so tired. Jadi aku minta dokter dan suster untuk nggak bangunin kamu. I’m fine. Don’t worry,” Ujar gadis itu tersenyum tipis meskipun wajahnya masih terlihat pucat.

Sesak memenuhi seisi batin Pierre. Bahkan di saat seperti ini pun, gadis itu masih saja memikirkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri, “I want to hug you.”

Sienna melebarkan kedua tangannya, “Kemarilah.”

Tanpa berpikir dua kali, Ia lekas memeluk gadis itu. “Maaf…hh..hiks," Pierre membenamkan wajahnya di leher Sienna. “Karena aku yang terlalu terobsesi pada Naomi, kamu jadi korbannya, Maafin aku..hh…"

“Jangan bilang gitu, Aku refleks melakukannya. Nggak ada yang menyangka kalau semua akan jadi begini. Let’s not blame anyone and yourself,” Gumam Sienna mengusap  rambut Pierre.

Pria itu melepaskan pelukannya lebih dulu.

Sienna menyentuh wajah pria itu dan mengusap mata Pierre, yang berair, karena sempat menangis sebelum mengecup bibir pria itu. 

Pierre memejamkan matanya, larut dalam moment itu. Her kiss is always able to calm him down. Seperti hari ini pun, seolah apa yang terjadi semalam terhapuskan begitu saja dari ingatannya ketika bibir gadis itu menyentuh bibirnya.

Sienna mengakhirinya lebih dulu, “Aku nggak sempat ngucapin ini sama kamu semalam.”

“Hm? Apa?”

“Congratulations, CEO P," Ucap Sienna tersenyum.

Pierre tertawa pelan. Ia menggenggam tangan Sienna, yang menyentuh wajahnya dan mengecupnya singkat,  “I love you, Sienna, I really do. Trust me this time.”

Sienna tersenyum lebar mendengar ucapan Pierre, “Setelah semua hal yang kita lakukan dan terjadi belakangan ini, how come I do not trust you?” Balas gadis itu kembali mengecup bibir Pierre, “I love you too.” Balasnya, in between the kisses.

Villain [COMPLETE]Where stories live. Discover now