53. Terimakasih, Revan

255 25 2
                                    

Dendam akan selalu tersulut jika kamu masih memiliki ambisi untuk membalasnya.

•°•°•°•

"Mama tenang aja, kerjaan kita bersih kok," Laki-laki itu tersenyum miring, wajah kental khas orang puas ia tunjukkan semata-mata untuk melihat kepuasan mamanya juga.

"Setelah anak ini lahir mama mau rawat?" Tanya gadis yang duduk di depan laki-laki.

"Mama mau membesarkan dia, untuk balas dendam, rasanya mama belum puas, dan balasan ini belum setimpal untuk si tua bangka seperti Mahesa!" Matanya menyorotkan kebencian yang amat mendalam, senyum licik kembali terukir, kini ambisi untuk membalas dendamnya semakin menggebu.

Ketiganya terdiam, setelah beberapa menit, wanita yang sedang hamil tua itu kembali berkata, "Apa Ara udah tau siapa yang menghamili dia sebenarnya?" Laki-laki itu menggeleng antusias.

"Belum, ma. Kerjaan ku bersih."

"Bagus, jaga-jaga kalau rahasia kita terbongkar nanti."

•°•°•°•

Laki-laki berparas tampan kini tengah berjalan mendekati seorang wanita dengan langkah kaki yang hati-hati, takut membangunkan dikala wanita itu sedang tidur siang menikmati istirahatnya, ia membawa segelas susu hangat untuk diberikan.

Perlahan, laki-laki itu mendekati sofa dimana wanita itu tidur, ia duduk dilantai, biarkan saja dinginnya hawa yang mendekati malam ini menusuk tulangnya. Posisi wanita itu yang menghadap ke arahnya, memudahkan laki-laki itu untuk menyentuh perut wanita itu yang semakin hari semakin membuncit.

"Assalamualaikum, nak." Bisiknya lembut.

Iya, laki-laki itu Revan. Ia mengusap perut Ara dengan sayang. "Baik-baik ya disana, bantuin bundamu berjuang suatu hari nanti, ya?"

"Ayah nunggu kamu disini, ayah harap kamu sehat ya didalam, jagain bundamu selama kamu didalam sana, agar suatu hari nanti kamu bisa melihat dunia, ayah, dan bunda. Kita sama-sama nanti, nak."

"Nggak papa ya, sebut aku ayah, walaupun aku belum jadi suami bundamu, kamu mau kan, nak?"

Mata Ara terbuka perlahan, namun Revan tak menyadarinya. Ara tersenyum tipis, matanya sudah berkaca-kaca mendengar apa yang Revan ucapkan. Hatinya terenyuh.

Kebanyakan laki-laki mungkin akan merasa jijik pada wanita yang tak bisa menjaga tubuhnya dari laki-laki. Tapi Revan? Laki-laki itu terlihat tulus menyayangi Ara. Revan pernah berkata seperti ini pada Ara. "Karena derajat wanita itu di muliakan, bukan dilecehkan. Kamu tau apa yang membuat aku menghargai seorang wanita? Karena, tanpa wanita mana mungkin aku lahir di dunia ini? Mana ada kasih sayang setulus yang dikasih mama?" Kata Revan kala itu. Laki-laki yang menghargai wanita memang masih banyak, tapi sepertinya laki-laki yang masih bisa menghargai wanita yang sudah rusak itu langka.

Bodoh sekali Ara dulu pernah berpikir untuk menghadap sang kuasa beberapa kali. Ia tak tau masih ada sayang dan cinta setulus yang diberi Revan. Dari dulu memang kasih sayang laki-laki tak pernah berubah, selalu indah dan manis. Ara sering dihina, dimaki, dicaci, di-bully, bahkan oleh laki-laki. Tapi tidak dengan Revan. Laki-laki itu memang tau mana yang benar dan mana yang salah. Revan juga mempunyai sikap yang bodoamat dengan masalah orang lain. Tapi jika sudah menyangkut orang yang ia sayangi, maka laki-laki itu akan maju garda terdepan untuk ikut campur.

Ara mengangkat tangannya, mengusap tangan Revan, "Jangan berubah, ya. Aku suka kamu yang kaya gini," ujarnya dengan senyuman yang tak luntur sejak tadi.

Revan terkejut, ia segera mengusap pelupuk matanya yang sudah basah, dan sedikit tertawa. "Kamu kebangun, ya? Maaf," ujarnya sembari mengusap rambut Ara.

Tentang AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang