54. Hari Kelulusan dan Teka-teki

217 21 0
                                    

•°•°•°•

Semua siswa-siswi kelas XII berkumpul di lapangan SMA merah putih. Hati berdebar menunggu keputusan lulus tidaknya mereka. Sementara ada yang bersedih karena tak akan lagi bersama. Kertas kelulusan sudah dibagikan, namun belum diperkenankan untuk dibuka. "Gua lulus nggak ya?" Rendy was-was. Karena selama ini dirinya sering sekali bolos pelajaran hanya untuk jajan dikantin.

"Oke, buka sama-sama, ya? Hitungan 1 2 3, buka!"

Semua menjerit bahagia, ada yang menangis, bahkan berkeliling lapangan hanya untuk menunjukkan kertas yang bertuliskan 'LULUS' seperti yang dilakukan Rendy dan Zaiko saat ini. Bahkan keduanya sudah berpelukan dengan erat di depan kepala sekolah yang tak lain adalah Pak Zafran. "BAPAKK!! KITA LULUS!" Girang Zaiko, tak melerai pelukannya dengan Rendy.

Sementara pak Zafran bergidik aneh melihat tingkah kedua muridnya ini.

"Lo gimana, Van? Kok diem aja?" Alzam menoleh ke arah Revan yang dari tadi menunduk. Sedetik kemudian, Revan mengangkat kepalanya menghadap Alzam. Senyuman yang sangat lebar terbit diwajahnya. "GUE LULUS, ZAM!" Laki-laki itu langsung meloncat ke badan Alzam dan memeluknya.

"Bangsat, gua belum siap dipeluk!"

Disisi lain, Azyla termenung. Bukan karena tak lulus, tapi karena disaat semuanya bisa merasakan kebahagiaan, dirinya justru merasa kosong dan hampa. Azyla tersenyum getir, harusnya Ara juga disini merayakan kelulusan bersama-sama. Tidak ada yang menyenangkan bagi Azyla, semuanya nampak sama dan membosankan. Ia menoleh kesana-kemari mencari Ara, namun tak juga menemukannya.

"Gue mau pulang dulu, ya? Bilangin sama Pak Zafran, gua nggak ikut acara nanti."

"Kenapa?" Tanya Alzam pada Revan.

"Ada sesuatu yang lebih penting," Revan berjalan mundur sambil melambaikan tangannya keatas. Lalu berbalik dan langsung berlari keluar sekolahan.

•°•°•°•

Setelah sampai dirumahnya, Revan langsung masuk tanpa mengucapkan salam, melihat mamanya sedang di dapur, Revan berniat memberi kejutan, tapi malah mamanya bersuara. "Salam dulu." Revan cengar-cengir, mengucapkan salam dengan semangat, ia berlari lalu memeluk tubuh wanita itu dengan berkali-kali mengecup pipi sang mama.

"Kenapa kamu? Nggak biasanya kaya gini." Karin mengelus pipi Revan sembari meletakkan gula pada cangkir yang tersedia.

"Aku lulus, ma!" Pekik Revan girang. Ia segera mempererat pelukannya pada sang mama. "Boleh nikah dong?"

Karin geleng-geleng kepala, ia melepas pelukan itu dan berjalan ke meja makan. "Iya boleh, nanti kamu di Bali, kan? Disana kamu sekalian ngurus perusahaan kakek dan perkebunan."

Sekali lagi Revan mengulum senyum. "Kapan berangkat kesana?"

"Mungkin dua satu Minggu lagi, nggak papa kan?"

Revan mengangguk cepat. "Ara dimana, ma?"

"Di kamar, tadi habis bantuin mama nyapu sama siramin tamanan, mama udah larang tapi dia kekeh mau bantuin. Mungkin kecapean, jangan diganggu dulu biar istirahat."

Revan mengangguk saja, ia menaiki tangga menuju kamarnya. Sesampainya disana, Revan merenung sebentar, ia juga perlu membicarakan mengenai pernikahannya dengan Ara pada om Mahesa dan bang Dito. Akhirnya, Revan segera mandi.

Tentang AraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang