Unstabble feelings

222 48 14
                                    

Kepala Saka sakit bukan main ketika ia terbangun dari tidurnya. Ia tertidur di sofa rumah Raiya dan ketika melirik jam, Saka terkejut karena ia baru tertidur selama dua jam. Biasanya, Saka akan bangun saat matahari sedang terik atau bahkan ketika langit kembali menggelap. Namun kali ini, Saka terbangun pukul tujuh pagi.

Ia bangkit dari sofa, melangkahkan kaki untuk ke kamar Raiya dan melihat wanita itu. Raiya masih tertidur dengan pulas setelah semalaman penuh ia menari, bernyanyi seperti orang gila.

Saka masih ingat sepasang mata legam yang memandangnya sambil mengucapkan kata terima kasih berkali-kali. Sungguh ia tidak paham kenapa Raiya harus bersikap seperti itu saat Saka merasa tidak melakukan apapun selain menemaninya makan malam dan mabuk.

Setelah memastikan Raiya masih tertidur lelap, Saka melangkahkan kakinya menjauh. Saka cukup penasaran dengan rumah Raiya. Ia tidak melihat perabotan yang menggemaskan seperti rumah perempuan lainnya. Semua terlihat sederhana.

Bahkan di balkon pun, Saka tidak melihat tumbuhan yang menghiasi tempat tersebut. Saka bisa menyimpulkan bahwa tidak ada makhluk hidup lain selain Raiya di tempat ini.

Rasa penasaran Saka memuncak ketika melihat satu ruangan yang ada di dekat dapur. Ruangan itu gelap hingga Saka harus menyalakan lampu terlebih dahulu untuk melihat apa yang ada di dalamnya.

Saka terkejut ketika melihat puluhan kanvas yang sudah disulap menjadi lukisan-lukisan menakjubkan memenuhi ruangan itu. Berbagai macam lukisan dengan ukuran berbeda tergeletak begitu saja disini.

Sebuah lukisan dengan ukuran paling besar berada di tengah ruangan. Saka terpaku menatap lukisan tersebut. Lautan yang megah dengan warna biru yang indah membuat Saka seakan menatap lautan sungguhan, bukan hanya sebuah lukisan belaka.

Saka tidak tahu berapa lama ia menghabiskan waktu di ruangan itu hingga perutnya tiba-tiba mengeluarkan suara mengerikan. Ia kelaparan.

Semoga Raiya tidak akan marah karena ia lancang mencari makanan di dapurnya. Senyum Saka mengembang ketika melihat bungkus mie instan yang begitu ia rindukan. Tanpa pikir panjang, Saka langsung memasak mie instan tersebut saat ini juga.

Saka benar-benar merindukan harum surga yang berasal dari makanan ini. Ia mengambil minuman kaleng yang ada di kulkas Raiya dan bergegas duduk di sofa untuk menyantap sarapannya.

"Kamu masak indomie?" Hampir saja Saka menjatuhkan piringnya karena terkejut mendengar suara Raiya. Wanita itu berdiri di ambang pintu sambil menatapnya lurus.

"I-iya." Jawab Saka gugup. Mata Raiya masih sayu, rambutnya pun persis seperti singa tapi hal itu justru terlihat menggemaskan bagi Saka.

"Minta!"

Raiya tiba-tiba berlari menghampiri Saka, berusaha merebut piring dari laki-laki itu. Saka dengan cepat menghindar, menjauhkan makanannya dari jangkauan Raiya.

"Ya lo tinggal masak!" Protes Saka. Raiya merengut, menyandarkan kepalanya di sofa sambil menatap Saka. "Masakin, please? Kepala aku kayak habis dipukulin orang sakitnya."

Saka tertawa, menyadari bahwa ini pertama kalinya Raiya mengalami hangover benar-benar menggelitik perutnya.

"Please dong ... aku gak bohong, sumpah demi Tuhan." Ucap Raiya lagi memohon.

Akan sangat kejam jika Saka mengabaikan permintaan Raiya ketika wanita itu memasang wajah paling melas yang pernah Saka lihat. Akhirnya dengan hembusan napas keras, Saka bangkit dari sofa.

"Lo makan punya gue dulu, deh, biar gue buat yang baru." Kata Saka. Raiya langsung berseru heboh, "Oke! Tapi aku ganti baju dulu, ya!"

Raiya langsung melesat ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Saka terkekeh, mendapati bahwa Raiya begitu menggemaskan ketika berlarian kecil seperti tadi.

Lima menit kemudian, Raiya sudah terlihat lebih segar. Rambutnya dikuncir satu dengan pakaian rumahan yang lebih santai.

"Aku kira tadi pas bangun aku bugil. Tau-taunya masih pakai celana jeans, pantes perut aku gak enak." Celoteh Raiya.

Saka tersenyum tipis, ia mendudukkan diri di samping Raiya sambil membawa makanannya. "Ngarep, ya?"

Raiya menggeleng. "Enggak. Tapi biasanya kan gitu kalau pulang pas mabok sama lawan jenis."

"Sok tahu."

"Tck. By the way, makas--"

Saka memotong ucapan Raiya buru-buru. "Kalau gue gak salah ingat, lo udah bilang makasih sebanyak tiga ratus delapan puluh tujuh kali dalam satu malam. I don't wanna hear it anymore."

Raiya tertawa. "But i mean it."

"Terserah. Sekarang makan tuh sarapan lo, biar gak senyam-senyum terus." Kata Saka ketus.

Tapi Raiya tidak bisa menghentikan senyumnya. Pagi ini ia merasa bahagia meski Raiya tidak tahu alasannya apa.

"Its been a long time." Ucap Raiya. Ia menyuap mie instannya lalu kembali menatap Saka. Lelaki itu ternyata juga sedang menatapnya, menunggu Raiya melanjutkan kata-katanya.

"What?"

"I'm trying so hard to," Raiya berhenti bersuara mengurungkan niatnya bercerita, lalu kembali tersenyum. "Ngomong-ngomong, kamu kok tahu aku punya stok mie instan?"

Saka tidak menjawab pertanyaan Raiya. Lelaki itu berusaha mencari tahu apa yang disembunyikan wanita di sampingnya ini tapi gagal.

"Karena gue house tour. Gue juga lihat lo punya banyak banget lukisan tapi nasibnya lebih kayak barang bekas."

Raiya melotot, merasa malu karena ada yang melihat lukisannya. "Kamu lihat semuanya?"

Saka mengangguk, menyuap makanannya dengan santai. "But i like the big one the most. The colour look so real."

Wajah Raiya tiba-tiba murung. Arsya. Lukisan itu memang ia buat untuk menghapus rasa rindunya terhadap Arsya.  "I like that one too. It the most special."

"Really? Somebody related to that painting?"

Raiya tersenyum masam dan Saka menyadari perubahan suasana hati wanita itu. Sebelum Raiya menjawab, Saka sudah terlebih dahulu bersuara. Berusaha mencairkan suasana canggung yang terjadi akibat pertanyaannya.

"Kalau lo mau jual, kita bisa jadi kaya raya. Dan gue bisa pinjam uang lo nantinya." Kata Saka iseng.

"It cost everything for me." Jawab Raiya pelan.

"Parents? Ex boyfriend? Bestfriend?"

Raiya menatap Saka sekilas sebelum tersenyum tipis. "Have i known you for twenty seconds or twenty years?"

Ya ampun, Saka tidak pernah berhadapan dengan wanita seperti Raiya sebelumnya. Wanita itu sulit sekali di tebak dan dalam semalam, Raiya bersikap seperti orang lain.

Saka menarik napas, menaruh piringnya di meja lalu menghadap Raiya dan menatap wanita itu serius. "Listen young lady, gue tau patah hati di umur awal dua puluhan emang sangat membekas. Tapi bukan berarti lo akan terus seperti itu. Saat lo dewasa, lo akan sadar kalau--"

"I'm in my latest twenty. Dua puluh delapan tahun." Kata Raiya. Sepasang mata biru Saka menatap Raiya dengan sorot yang persis seperti habis melihat hantu. "No fucking way! Lo gak kelihatan setua itu ..."

Raiya mengedikkan bahu. "Nyatanya aku hampir tiga puluh tahun dan masih belum tahu mau apa di hidup ini."

"I really thought you are younger. By the way, I'm thirty one and also have no purpose in life." Ucap Saka. Ia mengucapkan kalimat itu tanpa beban, seakan tidak memiliki tujuan bukanlah aib atau sebuah hal buruk.

"Jadi ada dua orang tanpa tujuan disini."

"Yep. Hopefully they can be friend."

Raiya tersenyum setuju. "They will."

Crescent MoonWhere stories live. Discover now