Change

230 49 13
                                    

Selama hampir dua bulan, Raiya menjalani hubungan pertemanan yang baik dengan Saka. Lelaki itu adalah pendengar yang sabar dan tidak pernah memaksa Raiya jika ia tidak ingin mengatakan apapun.

Hampir setiap minggu Saka mengajak Raiya pergi ke tempat-tempat yang belum pernah wanita itu kunjungin. Kadang mereka hanya pergi ke club dan berakhir pulang dengan keadaan mabuk.

Raiya tidak tahu apa yang membuatnya dengan sangat mudah membiarkan Saka masuk ke dalam kehidupannya sebagai teman. Entah karena sikapnya yang menyenangkan atau Raiya hanya kesepian.

Saka membuat Raiya bisa sejenak melupakan Arsya, hal yang tidak mungkin terjadi jika Raiya sendirian. Namun, semua itu hanya sementara karena sudah dua minggu lamanya Raiya mengabaikan lelaki itu. Raiya mengabaikan semua pesan dan panggilan dari Saka karena ia akan pulang ke Indonesia.

Raiya akan selalu pulang untuk bertemu Bapak, mengunjungi makam Ibu dan mengucapkan selamat ulangtahun secara tidak langsung kepada Arsya.

Lamunan Raiya terhenti karena suara bel dari pintu yang ditekan berkali-kali.  Raiya tidak terkejut ketika melihat sosok Saka yang berdiri dengan wajah kesalnya. Mata birunya menatapnya dengan tajam. Bahkan sebelum Raiya belum bersuara, lelaki itu sudah lebih dulu mengomel.

"Why you didn't pick up when i call?" Omel Saka. Raiya mengernyitnya alisnya, "because i'm busy?"

"Emang gak bisa angkat telepon gue? Atau bales chat?" Tanya Saka bertubi-tubi.

"Ya apa masalahnya buat kamu?"

Saka mengusap wajahnya kasar. "Because the last time we meet you are fine. I'm worried about you."

Suara Saka mulai melunak, lelaki itu terlihat lebih tenang setelah mengomeli Raiya seperti anak kecil. Tanpa rasa bersalah, Saka memasuki rumah Raiya dengan santai. Tapi ketika melihat koper besar berwarna hitam, Saka langsung menatap Raiya meminta penjelasan.

"Aku mau pulang ..." kata Raiya pelan. Ia menatap mata biru itu sejenak sebelum kembali menunduk.

"Untuk?"

"Ketemu Bapak, jengukin makam Ibu. Beli mie instan."

Saka terkekeh. "Beli mie instan yang banyak, gue bakal sering-sering kesini soalnya. Berapa lama disana?"

"Seminggu." Jawab Raiya singkat. Ia kembali menyibukan diri dengan memeriksa perlengkapan yang akan di bawanya untuk pulang nanti.

"Seminggu dengan koper sebesar ini?" Tanya Saka tidak percaya.

"Isi koper ini khusus untuk makanan yang mau aku beli nanti." Jawab Raiya.

"Kapan berangkat?"

"Besok malam."

Ya ampun, kenapa Raiya tidak memberitahu Saka tentang hal ini, sih? Seandainya Saka tidak nekat mendatangi rumah Raiya, pasti ia akan kebingungan mencari keberadaan wanita itu.

Namun tujuan Saka bukan hanya ingin memeriksa keadaan Raiya, ia punya agenda lain yang melibatkan wanita itu.

"Ray, temen gue baru buka tempat makan." Ucapan Saka menggantung karena tatapan yang Raiya berikan untuknya.

Saka berdeham lalu kembali melanjutkan. "You wanna go there with me?"

Apakah Raiya tidak salah dengar? Saka mengajaknya pergi padahal lelaki itu tahu bahwa kurang dari dua puluh empat jam ia akan berada dalam perjalanan panjang.

"I can't. I need to--"

"Please ..." kata Saka memohon. Raiya menyadari bahwa kelemahannya adalah tidak bisa menolak permohonan orang lain. Itu tidak baik, ia tahu. Tapi Raiya juga tidak tahu cara mengendalikan kelemahannya ini.

Crescent MoonWhere stories live. Discover now