Delapan Belas

2.1K 335 76
                                    

Sasori mencubit pipi Sakura, merasa kesal karena kekhawatirannya hanya dianggap sebuah candaan.

"Jangan tertawa. Aku serius." Kesalnya. "Dia bukan orang baik."

"Iya, iya. Tapi aku tidak mungkin menghindari, Tobi-san. Dia dan aku sama-sama bekerja di sini, nii-san." Sakura meraih tangan Sasori dan mengusapnya. "Sebagai gantinya, aku berjanji akan lebih menjaga diri. Sungguh."

Sasori mengeluh frustasi.

Sejak Nara Shikamaru memintanya untuk menyamar menjadi kakak Sakura, serta memerintahkannya untuk menjaga wanita merah muda tersebut, Sasori tak pernah tenang sedikitpun.

Shikamaru hanya memberikan sedikit informasi mengenai Sakura. Dia hanya mengatakan jika Sakura adalah saudara jauhnya dan sedang mendapatkan masalah, sehingga untuk sementara di sembunyikan di sana.

Mengapa harus disembunyikan? Bahkan sampai mengganti nama keluarganya? Apa dia kriminal? Tapi tidak mungkin seorang Mayor yang taat peraturan melakukan hal seperti itu. Lalu apakah Sakura merupakan simpanannya? Lebih tidak mungkin, sebab Sakura nyatanya kenal dengan istri Shikamaru, Temari. Bahkan selain Shikamaru, seluruh keluarga Sabaku tau mengenai persembunyian Sakura ini.

Lalu sebanyak apapun informasi yang ingin diketahuinya, baik Shikamaru maupun Sakura tak mau membuka mulut lebih jauh.

Dan jadilah, Akasuna Sakura dikenal oleh hampir seluruh penghuni barak sebagai adik perempuannya.

Mungkin karena itulah, ia jadi merasa lebih protektif pada Sakura. Karena sepertinya ia juga menganggap wanita manis ini adalah adik kecilnya yang sesungguhnya.

"Nii-san diam saja. Marah? Aku kan sudah janji. Jangan marah ya?" Sakura membuat ekspresi wajah yang imut. Dia menggeleng kepalanya ke kanan dan ke kiri berkali-kali. "Ya, nii-san? Jangan marah."

Mau tak mau Sasori tertawa kecil melihat tingkah Sakura. Dia mencubit pipi kemerahan wanita itu. "Kalau begitu dengarkan apa yang aku katakan."

Sakura ikut tertawa. "Aku selalu mendengarkan ucapan, nii-san."

"Hanya didengarkan, tapi tak pernah kau turuti. Dasar." Keluhnya.

"Setelah pulang bertugas, nii-san mau mampir? Aku membuat kue strawberry yang enak tadi pagi."

Sasori menggeleng. "Aku berjaga sampai malam." Dia mengusap hati-hati surai merah muda Sakura yang kali ini diikat tinggi. "Pulang bekerja langsung istirahat saja. Jangan berkeliaran seperti waktu itu."

Sakura menjulurkan lidahnya. "Nii-san tidak asik. Lagi pula aku tidak berkeliaran. Gaara-san mengajakku melihat pohon kaktus yang besar di selatan gurun."

"Tetap saja. Jangan pergi-pergi tanpa ijin dariku. Mengerti?"

"Iya, iya. Dasar jahat."

Sasori menyunggingkan senyum tipis. Dia meraih scraf di leher Sakura dan memakaikannya di kepala wanita itu. "Kenapa tidak memakai topi? Kau bisa terkena serangan panas. Walau sudah terbiasa, kau tetap harus menjaga diri. Kalau kau sampai pingsan bagaimana?"

"Iya, aku mengerti." Sakura mendorong Sasori agar lelaki itu segera pergi. "Cepat sana. Waktu istirahat nii-san sudah habis. Cepat pergi sebelum seseorang mengomel."

"Tidak ada yang berani mengomel padaku di sini." Ucapnya sombong. "Dah. Kau juga jangan lupa makan siang, Saku." Dia tak lupa kembali mencubit pipi Sakura sebelum berlari menjauh.

Sakura mengomel sambil mengusap pipinya. Namun dia kemudian tersenyum kecil.

***

Sasuke merasa dadanya kembali berdetak keras, cepat dan menyakitkan. Rasanya seperti jantungnya akan meledak. Dia membuka laci mejanya dengan tergesa dan mengambil obat lalu segera meminumnya. Juugo yang berada di sampingnya menatap khawatir.

"Apa perlu saya panggilkan dokter, Sasuke-sama?"

Sasuke menggeleng kecil. Dia merebahkan kepalanya ke atas meja menahan sakit sampai obatnya bereaksi. Butuh beberapa menit sampai obatnya bekerja. Rasa sakit itu berangsur hilang dan jantungnya kembali berdetak dengan normal lagi.

Sudah setahun belakang ini ia mengkonsumsi obat-obatan karena penyakitnya. Dan itu sepertinya hanya meringankan, tidak benar-benar menyembuhkan. Sebenarnya dokter justru menyarankan melakukan prosedur medis ataupun operasi, tetapi Sasuke menolak. Dia tak akan mempertaruhkan hidupnya diruang operasi seberapapun besar peluang keberhasilan operasi tersebut. Setidaknya belum. Sampai ia menemukan hal yang dicarinya selama ini.

"Juugo." Panggilnya.

"Iya, Sasuke-sama."

"Bagaimana dengan Sakura?"

Juugo menggeleng, menyesal. "Masih belum ada info apapun mengenai nona Sakura."

Sasuke menghela nafas. Terlihat sekali jika ia lelah luar biasa. "Lalu Sabaku?"

"Tetap tidak ada yang mencurigakan mengenai mereka. Tapi kami masih terus memantau sesuai perintah anda."

Pasti ada sesuatu. Keluarga itu pasti melakukannya. Sasuke mijat pelipisnya. Kesal, bingung, marah, lelah. Semua mengumpul selama tiga tahun ini. Ia benar-benar tidak tau harus mencari Sakura kemana lagi. Tapi semua kecurigaannya selalu bermuara pada Sabaku Gaara. Si setan merah itu.

Tiba-tiba Sasuke teringat sesuatu. "Bukankah kau pernah bilang kalau kakak perempuan Sabaku mengikuti suaminya dan tinggal di Suna?"

Juugo mengangguk. "Benar, Sasuke-sama. Tapi kami tidak bisa mengintai keluarga itu lebih lanjut karena keadaan lingkungan disana tidak memungkinkan. Setiap bagian barak dijaga tentara dengan ketat. Sulit untuk menyusup ke sana."

"Aku tidak peduli." Sahut Sasuke keras.

"Tapi Nara Shikamaru berkaitan dengan Badan Keamanan Negara, sulit untuk --,"

"Aku tidak peduli, sialan!" Sentaknya. "Entah itu Tentara, Menteri atau bahkan Presiden sekalipun. Aku mau mereka diselidiki." Lanjutnya penuh penekanan.

Juugo mengangguk kaku.

Tak lama berselang ponselnya berdering. Juugo mengangkatnya dan berbicara sejenak. Begitu panggilan itu selesai, dia menatap Sasuke sedikit was-was. "Maaf, Sasuke-sama. Itachi-sama meninggalkan pesan agar anda pulang ke rumah utama hari ini untuk memperingati kematian tuan besar."

Irisnya kembali memejam. Banyak hal terjadi setidaknya tiga tahun ini. Ada yang pergi, ada yang meninggal, dan ada yg hampir meninggal. Tapi mengapa itu semua bukan Sabaku keparat itu?

***

Another WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang