Dua Puluh Satu

2.5K 356 61
                                    

Sasori menatap kertas-kertas yang ada di atas mejanya takjub. Karena walaupun ia sudah bekerja sejak siang bahkan hampir melewatkan jam makan, tumpukan kertas itu sepertinya tak berkurang sedikitpun. Sasori baru sadar jika kenaikan jabatan tidak hanya dibarengi dengan naiknya gaji, tapi tanggung jawab juga pekerjaan yang menumpuk. Seharusnya dulu ia tak menolak pengangkatan ini.

Dia jadi kagum dengan Nara Shikamaru yang mampu bertahan selama ini tanpa efek samping. Sasori baru beberapa minggu saja hampir mati kelelahan. Sekarang saja dia belum makan malam. Jika Sakura tau, dia akan diceramahi panjang lebar.

Sasori jadi merindukan adiknya itu.

Karena sama-sama bekerja, mereka tak bisa bertemu saat siang. Dan saat malam Sakura sudah pulang ke rumahnya sedangkan ia baru akan selesai bekerja saat larut malam dan sudah terlalu lelah untuk mengunjungi Sakura. Untuk pulang saja ia malas. Jadi sudah beberapa hari ini ia menginap di ruangannya.

Hujan diluar membuatnya mengantuk. Istirahat sebentar sambil makan sepertinya enak.

"Sasori-taicho!" Teriak seseorang sambil berlari masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Sasori segera bangun dari duduknya dan menghampiri orang tersebut, "Ada apa, Matsume?"

Orang itu, Matsume, menarik nafas pendek-pendek, sesak. Tak bisa langsung menjawab. Dia tadi berlari sekuat tenaga di bawah hujan.

"Hei, pelan-pelan saja. Bernafas yang benar. Baru setelah itu ceritakan padaku."

Matsume menggeleng. Ini penting. Dengan suara putus-putus dia mencoba menjelaskan. "Sakura-san, hah, berteriak. Ada, hah, banyak orang, hah, di depan rumahnya, hah."

Sasori berbalik secepat kilat ke mejanya dan mengambil pistol kecil di dalam laci, kemudian dia berlari menuju rumah adiknya meninggalkan Matsume. Meski masih kelelahan Matsume pun ikut berlari mengejar kapten timnya tersebut.

***

"Sakura." Bisik Sasuke. Merintih layaknya orang terluka. "Sakuraku." Mendekap erat-erat Sakura, takut jika wanitanya ini akan pergi lagi.

Sedangkan Sakura tubuhnya menegang, kaku. Dia hapal suara ini. Uchiha Sasuke. Berdiri di depan rumahnya dan sedang memeluknya. Lelaki ini ada di Suna, dan menemukan dirinya.

"Sa-Sasuke?" Dan dengan sebuah anggukan kecil, hati Sakura mencelus.

"Aku mencarimu. Ke seluruh tempat. Tapi kau tidak ada di mana pun." Sasuke terus bergumam. "Tiga tahun, Saku. Dan sekarang aku menemukanmu. Aku merasa seperti mimpi. Katakan aku sedang tidak bermimpi, sayang."

Tubuh Sasuke yang basah membuat Sakura semakin menggigil. Dia harus bagaimana sekarang?

"Sakura!"

Itu suara Sasori.

"Nii-san!" Balas Sakura, sambil berusaha agar Sasuke sedikit memberikannya ruang. Pelukan lelaki itu terlalu erat, tubuhnya sakit.

Sasuke menyipit marah. Dia tak suka ada interupsi apapun dalam acara lepas rindunya dengan Sakura.

Tetapi Sasori tak bisa mendekati Sakura sebab ada sepuluh orang berjaga di depan rumah. Mereka langsung menghadang Sasori dan tak membiarkan lelaki itu lewat tanpa ijin dari Sasuke.

"Jangan menghalangiku! Sakura! Minggir kalian!" Biarpun berusaha melawan balik, ia dan Matsumen kalah jumlah. "Jangan berani-berani menyentuh adikku!" Seru Sasori marah. Dia melihat Sakura meronta dalam pelukkan lelaki tinggi itu.

Suara Sasori yang keras membuat beberapa pintu terbuka, orang-orang keluar dari rumah mereka, sehingga semakin banyak orang berkumpul di dekat rumah Sakura. Beberapa membawa senjata tajam. Melihat hal tak menguntungkan tersebut, Sasuke mengumpat.

Dia lalu menatap Sakura yang masih berusaha melepaskan diri. Dikecupnya seluruh wajah wanita merah muda tersebut. "Keadaannya cukup ricuh sekarang. Dan aku tak bisa membawamu saat ini. Tapi jangan khawatir, aku akan menjemputmu segera." Dia kembali mengecup bibir Sakura singkat. "Turuti perkataanku. Tunggu di sini, dan jangan berpikir untuk pergi kemana-mana. Kau tidak ingin ada yang terluka bukan? Jadi bersikap baiklah sampai aku menjemputmu. Mengerti, sayang?"

Sakura tak merespon. Dia kembali diam. Takut lebih tepatnya.

Sasuke melepaskan pelukannya. Dia mengusap lembut pipi Sakura yang pucat. "Kita akan bersama lagi, Saku." Ucapnya. Kemudian dia memberi kode pada pengawalnya dan mereka semua pergi.

Sasori langsung berlari mendekati Sakura. "Kau tak apa-apa, Sakura?" Matanya memeriksa seluruh tubuh adiknya itu. "Siapa mereka?"

Sakura menarik Sasori dan memeluknya. Tubuhnya gemetar.

***

"Sial!"

Sasori tak bisa mengatakan kata lain setelah mendengar keseluruhan cerita dari Sakura. Dia terlalu geram dengan apa yang telah dilakukan lelaki itu pada adiknya itu. Dan sekarang orang gila itu berniat membuat hidup Sakura seperti dulu lagi? Langkahi saja mayatnya.

Jika dulu Sakura tak memiliki orang lain untuk melindunginya, sekarang dia sudah punya seorang kakak yang akan selalu berdiri di depannya.

"Kau tenang saja. Dia tak akan berani melakukan apapun di sini." Katanya menenangkan.

Sakura mengigit bibirnya cemas. Ini bukan hal yang bisa ditangani oleh Sasori. Dan Sasuke bukanlah orang yang akan menyerah begitu saja.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan, nii-san. Aku sudah tidak bisa kabur kemanapun lagi." Ucap Sakura pasrah. Inikah akhirnya? Hanya tiga tahun waktunya bebas? Sakura rasanya ingin menangis sekarang.

"Kau memang tidak akan pergi kemanapun. Kau tetap di sini, bersamaku." Titah Sasori tegas.

Sakura menggeleng lemah. "Dia Uchiha, nii-san. Seluruh Jepang tau betapa berkuasanya keluarga itu. Dan aku tak berharap nii-san terkena masalah karenaku."

Sasori mendekat, berlutut di depan Sakura dan menggenggam tangan wanita itu. "Jangan khawatir. Dia tidak akan bisa bertindak semaunya di sini. Kami memiliki aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja, termasuk oleh Uchiha. Jadi jangan khawatir, Sakura." Ucapnya lembut, tak tega melihat kedua emerald itu memerah menahan tangis. "Aku juga akan menghubungi Nara-san. Mereka pasti akan ikut membantu." Tambahnya.

***

Another WorldWhere stories live. Discover now