Dua Puluh

2.4K 381 132
                                    

"Kali ini kau keterlaluan." Tobi menatap tamu tak diundang itu sebal. "Ini sudah benar-benar melanggar privasiku."

"Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali menemui anda langsung, karena anda pandai sekali menghindar, Obito-sama." Sindirnya.

Tobi mendengus sinis. Dia tak suka dipanggil dengan nama aslinya. "Jangan panggil aku dengan nama itu di sini." Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan melipat kedua tangannya arogan. "Dan apa-apaan itu. Anda? Kau serius akan seperti ini, Kakashi?"

Hatake Kakashi tak merespon ucapan salah satu keturunan Uchiha itu. Dia memperhatikan area makan di kamp militer tersebut. Lenggang dan sepi. Pantas saja Obito membawanya ke sana. Dia tak ingin ada yang melihat dirinya berususan dengan seseorang seperti Kakashi.

Kakashi lalu kembali menatap lawab bicaranya. Untuk ukuran keturunan Uchiha, Obito cukup berbeda dengan anggota keluarga yang lain. Sikap dan tingkah lakunya tidak mencerminkan seorang Uchiha. Bahkan jalan hidupnya yang lebih memilih dunia kemiliteran dibandingkan duduk nyaman di balik jajaran direksi, membuat Kakashi kesal. Arogan dan sombong.

"Jika anda menyetujui penawaran yang diajukan, saya tidak akan mengganggu anda lagi."

"Memang apa yang bisa bocah itu bisa lakukan? Aku tak mau mendukung orang yang tak berguna."

Kakashi melirik jam tangannya. Dia masih memiliki waktu satu jam untuk membujuk Uchiha Obito. Dan dia berharap tak menggunakan waktunya selama itu untuk lelaki ini. "Anda tau jika saya tidak pernah mendukung orang yang kalah."

Obito berdecak, semakin kesal dengan penggunaan kata 'anda' dan 'saya'. Mereka itu kawan lama, meski Kakashi seolah tak mau mengakuinya. "Berhenti mengatakan kata-kata menyebalkan itu, Kakashi. Apa kita tidak bisa berbicara seperti dulu? Ini sudah lima belas tahun lebih."

Kakashi membalas datar. "Tidak ada yang salah dengan kata-kata anda, saya hanya, --" kalimatnya terhenti. Kakashi tak percaya yang dilihatnya. Dia mengabaikan Obito dan memperhatikannya lebih serius.

Obito yang bingung ikut menatap ke arah yang dipandang Kakashi. Matanya bergerak liar mencari sesuatu, atau seseorang, mungkin. Tak ada siapapun di sana kecuali Akasuna Sakura. Wanita merah muda itu dan beberapa pekerja dapur sedang menata makanan di counter untuk makan siang nanti. Tidak mungkin Sakura kan?

Setelah memastikan jika dia tak salah lihat, Kakashi langsung memperbaiki sikapnya dan kembali bersikap tenang seperti sebelumnya, seolah tak ada apapun. "Karena anda masih ingin mempertimbangkan penawaran yang kami berikan," Ucapannya menarik kembali perhatian Obito. "saya akan mengunjungi anda lagi nanti untuk membahasnya lebih jauh setelah anda mengambil keputusan. Saya minta maaf karena ada hal yang harus saya kerjakan. Terima kasih untuk waktunya." Lelaki itu langsung berdiri, membungkuk sopan dan bergegas pergi dari sana tanpa memberi kesempatan pada Obito untuk menyela.

Obito menatap curiga. Dia menatap berkali-kali ke arah Sakura dan tempat dimana Kakashi pergi.

***

Musim hujan adalah musim yang paling disukainya selama tinggal di Suna. Pasir tidak berterbangan sebanyak musim lainnya. Dan udaranya, Sakura cinta sekali. Segar dengan aroma tanah basah yang khas.

Terlebih jika hujannya terjadi pada malam hari seperti ini. Sakura betah berjam-jam berdiam dekat jendela hanya diam dan membiarkan seluruh panca indranya merasakannya. Keadaan ini sungguh menghibur hatinya.

Biasanya pada jam ini Sakura masih berada di kediaman Nara. Entah itu mengobrol dengan Temari atau bermain dengan Shikadai. Tapi sudah beberapa minggu ini keluarga kecil itu pindah ke Konoha, jadi tak banyak hal bisa dilakukan Sakura untuk membunuh waktu luangnya. Jujur saja, dia cukup kesepain.

Sasori sekarang semakin sibuk. Sakura sudah hampir seminggu ia tidak bertemu dengan 'kakaknya' itu, karena sekarang Sasori mengambil alih posisi yang ditinggalkan Nara Shikamaru. Jadi dia jarang terlihat saat jam makan siang dan terlalu sering pulang telat.

Sakura sempat menghawatirkan lelaki itu, namun Sasori selalu menenangkannya dengan berkata bahwa dia baik-baik saja dan makan dengan cukup walaupun memang pekerjaannya bertambah banyak.

Tok. Tok.

Sakura menatap ke arah pintu rumahnya. Ketukannya cukup keras. Siapa yang bertamu malam-malam?

Teringat dengan nasihat Sasori yang memintanya untuk selalu berhati-hati, Sakura tidak langsung membuka pintu. Dia mencoba mengintip melalui celah kecil di jendela. Tapi tak terlihat dengan jelas. Hanya bayangan hitam gelap.

Tok. Tok.

Suara ketukannya kembali terdengar. Setelah berdiam cukup lama akhirnya Sakura berpikir itu mungkin tetangganya yang lain atau mungkin salah satu bawahan Sasori yang datang untuk menyampaikan pesan, terkadang Sasori suka melakukannya karena dia jarang sekali memakai ponsel. Karena tidak mungkin itu orang jahat, kamp militer ini punya penjagaan yang ketat sehingga tak sembarangan orang bisa masuk. Hanya orang tak waras yang berniat melakukan kejahatan di sana.

Tok. Tok.

Ketukannya mulai tak sabar.

"Tunggu sebentar." Sahut Sakura.

Sakura membuka pintunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah direngkuh ke dalam pelukan yang sangat erat. Membuat ia hampir saja menjerit.

"Tolong lepaskan sekarang juga. Atau saya akan teriak dengan keras." Ancamnya.

Bukannya melepas pelukkan, orang itu justru semakin berani dengan membenamkan wajahnya yang basah pada ceruk leher Sakura serta memberikan kecupan-kecupan di sana.

Sakura terkejut, sekuat tenaga ia coba mendorong orang itu menjauh darinya. "Menjauh dariku!" Terikanya keras. Tapi tubuh orang itu sekokoh batu. Tak bergerak sedikitpun.

"Sakura." Bisik orang itu. Merintih layaknya orang terluka. "Sakuraku."

***







Another WorldWhere stories live. Discover now