Bab 09

2.3K 114 20
                                    

"Aku selalu merasa di atas segalanya! Jangan membuatku marah! Atau kau akan tahu akibatnya." Alex Martazone.

****

Alex berjalan mengelilingi patung Dewa Perang. Dia terus menunduk seolah tak ada hal lagi yang dapat ditatap. Perkataan Eline barusan membuat hatinya tak tenang, rasanya begitu menyakitkan. Mengapa Selena memberikan anugrah sekaligus kutukan? Alex tak pernah berpikir gadis yang dicintai akan sebegitu membencinya. Gadis itu cantik, sangat cantik. Tetapi, mengapa sangat sulit digapai?

"Apa kau berpikir untuk menyerah?"

Alex menghentikan langkah. Dia mendengar gumaman sinis itu tak jauh, begitu menusuk tepat ke-ulu hati. Rasanya Alex bisa melihat pria itu yang sedang berdiri di belakang, bersedekap dada, menatap miris dengan senyum menjijikan. Pasti bayi serigala itu sudah mendengar percakapannya dengan Eline, semua, ya. Dan dia tak menyukai itu! "Apa kau menguping?" Alex bertanya ketus.

"Menguping?  ... " Brian menggantungkan perkataannya. "Aku tidak tertarik."

Alex membalikan tubuh, tersenyum untuk tebakan yang hampir benar. Dia menatap Brian yang berdiri dengan sikap sempurna, cukup untuk membuat Alex jengkel setengah mati. Tatapan tajamnya, menghujani Brian seolah dengan itu dia dapat membunuhnya.

Jarak di antara ke-duanya yang cukup jauh tak menyulitkan mereka untuk berkomunikasi dan saling mengintimidasi. Salah satu ke-istimewaan yang diberikan Dewi Bulan.

"Brian?" Alex bergumam, mengepalkan tangan marah.

Brian membalas tatapan Alex. Dia mengulas senyum ramah, meskipun pria di hadapannya mengeluarkan aura permusuhan.

"Kau menguping?" Alex bertanya kembali, lebih tegas, lebih tajam, dan wajah keturunan Marta berubah, terlihat lebih menakutkan.

Brian masih tersenyum. Tetapi bukan senyuman ramah seperti sebelumnya, dia tersenyum mengejek. Terlihat sangat menyebalkan di mata Alex. "Aku memiliki telinga yang dapat mendengar suara semut. Jadi untuk apa aku menguping?"

Alex menekan kemarahannya kuat-kuat, memunculkan urat-urat di sekitar pelipis. Andai sekarang bukan di kampus, dia akan dengan senang hati membungkam mulut besar pria itu.

Brian menatap Alex dari atas ke-bawah, tampak sedang menilai. Alex yang ditatap begitu tak terima. "Serigala memang menjijikan!"

Brian berdecih. Dia tak membalas perkataan pria di hadapannya yang tampak sangat murka.

Alex menggulung lengan kemejanya sampai sesikut, menampilkan otot-otot yang tercetak jelas.

Tukang kebun yang sedang memotong rumput tak jauh dari tempat ke-dua pria itu hanya menggeleng heran dengan alis menukik dalam. Ke-dua pria yang saling berhadap-hadapan terlihat seperti sedang berbincang. Tetapi siapapun yang berada tak jauh tak dapat mendengar suara dari keduanya. Ditambah gemericik air pancur membuat mereka tampak seperti sedang berkumat-kamit. Orang-orang yang melihat itu akan berpikir mereka adalah mahasiswa berkebutuhan khusus. Baru saja tukang kebun akan pergi, Alex menggulung lengan kemeja memberi sinyal  tak baik.

"Tidak usah banyak bicara!" Alex terlihat geram. Manik coklatnya mengilat terang tetapi hanya sedetik.

Brian menyelipkan ke-dua tangannya di saku celana. Dia menatap datar lawannya, bersikap santay. Ah! Sejak kapan Brian menganggap pria di hadapannya adalah lawan? Kapan pengkatagorian itu terjadi? Mungkin, saat Alex menantangnya! Entahlah. Brian tak sama sekali tertarik dengan ajakan vampir arogan itu.

'Biarkan aku yang menghabisinya!'

Brian terkejut. Mindlink dari serigalanya terdengar meskipun situasinya sedang tak baik. Setidaknya serigala pemarah itu mau berbicara kembali.

'Rolf apa kau sudah tidak marah lagi?'

'Aku masih marah denganmu sampai kau menemukan mate kita!'

Brian mendengus. Memangnya hanya serigala itu yang ingin bertemu mate? Dia juga ingin. Tetapi hampir tiga tahun Brian berada di kampus yang sama, gadis dewasa yang dulu sering membuntuti mereka belum juga berhasil ditemukan. Rasanya Brian seperti sedang mencari jarum di tumpukan jerami.

'Kau saja yang tidak sungguh-sungguh mencarinya.'

'Ya, mungkin seperti itu.'

Alex melepaskan rompi di tubuhnya. Dia membuang asal benda itu! Kini hanya kemeja putih polos yang tersisa, membalut sempurna tubuh berototnya.

Mahasiswi yang melihat pemandangan langka di depan mata hanya mampu menelan salifa. Tubuh seksi itu terlalu sayang diabaikan.

Tukang kebun semakin panik. Memisahkan ke-dua pria berbadan besar bukanlah hal yang mudah, apa lagi jika yang memisahkan kakek tua renta sepertinya. Yang ada malah menjadi bulan-bulanan. "Tuan!" Tukang kebun berseru, memanggil mahasiswa yang berjalan tak jauh.

Cowok dengan ponsel di tangan, menoleh, menatap kakek tua berseragam hijau bingung. "Ya, saya. Ada apa Pak?"

Tukang kebun melepaskan sapu yang di pegangnya. "Bisa bantu saya memisahkan ke-dua pria itu?"

Cowok dengan Nemtek Jonathan Samuel di dada kiri, menoleh menatap ke-dua pria yang dimaksud tukang kebun. Ringisan dan tatapan ngeri tercetak jelas di wajah Jonathan, pria penerima beasiswa jurusan sastra Jerman.

"Apa kau takut denganku?" Alex bertanya dengan suara datar, berbanding terbalik dengan matanya yang menyorot meremehkan.

'Jangan tahan aku bodoh!"

Brian berdecak. Geraman dari Rolf dia abaikan.

Alex merasa sangat geram, panas sampai ke-ubun-ubun. Sendari tadi Brian hanya membisu tak menjawab satu pun pertanyaannya. Dia tak suka diabaikan. Alex berlari menyerang dengan tinju yang siap menghantam.

Brian hanya bergeming di tempat. Matanya yang dapat melihat benda sekecil apapun membuat perhitungan akurat. Brian bergeser dua langkah menghindari pukulan Alex tetapi dugaannya salah! Vampir arogan itu tak bisa diremehkan, insting Alex yang tajam membuat Brian harus meningkatkan kewaspadaan.

Semua yang melihat itu kompak menahan nafas. Pukulan yang begitu keras sampai mampu membuat lawan jatuh terduduk.

Tukang kebun dan Jonathan saling melempar pandang, berbicara dalam hening. Mereka ingin melerai, ingin sekali menghentikan perkelahian itu, tetapi melihat orang-orang yang seperti menutup mata membuat mereka ragu untuk mendekat.

Jonathan menyapu sekeliling, mencari petugas keamanan. Mahasiswa lain yang melihat juga tak berbuat apa-apa, malah ada yang mengabadikannya lewat kamera ponsel.

Brian bangkit berdiri dengan senyum yang belum luntur. Tangannya menyeka darah yang keluar dari ujung bibir. "Untuk pukulan pertama kau cukup hebat." Brian melepaskan jaket kulit yang melekat di tubuhnya, membiarkan jaket itu jatuh ke-tanah.

****

Sudah direfisi! Koment jika ada typo atau kesalahan yang menyempil.

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang