Bab 20

1.4K 89 22
                                    

"Meskipun kau banytak ditakuti orang karena parasmu, aku akan tetap menyayangimu. Menjagamu, melindungimu meskipun orang-orang itu berusaha memusnahkanmu." Reytasya Herzone.

****

Taring dan kuku panjang itu sudah tak terlihat menyisakan kuku cantik hasil perawatan salon. Dia menatap Eline tepat di mata gadis nakal itu.  Rasanya sudah lama sekali Reytasya tak melihat violet itu berpendar. Apakah adiknya sedang bahagia? Apa jangan-jangan ...?

"Elie."

Eline mengerejap. Sepertinya dia terlalu jauh mengingat-ingat masa lalu. Ah, masa sialan itu! Untuk apa kejadian-kejadian itu diingat? Tak akan ada gunanya.

"Elie! Apa kau baik-baik saja?" Reytasya terlihat khawatir. Gadis itu melangkah mendekati adiknya. Dia menyentuh pundak Eline, menatap gadis itu hangat, mengatakan betapa dia merindukan kenangan semasa kecil mereka.

"Kau sudah sadar?" Eline berkata ketus. Maniknya menyorot datar.

Reytasya terkekeh. Manik magenta itu memindai tiap jengkal wajah Eline. "Kau tahu?"

"Tidak. Jadi hentikan omong kosongmu!" Eline menyergah. Dia mendengak menatap bintang-bintang yang malu-malu menampakan wujudnya.

"Ingin berbincang sebentar bersamaku?"

Eline menatap kembali wajah gadis di hadapannya. Alisnya terangkat satu.

"Sudah lama kita tidak berbincang saat suasana seperti ini." Reytasya membujuk. Wajahnya mengulas senyum hangat.

Eline tak menjawab. Berbincang? Sepertinya itu bukan hal yang membosankan.

"Kau juga ingin tahu bukan bagaimana aku ada di hutan ini?" Reytasya masih mencoba membujuk. Sekarang adalah saat yang tepat untuk menyentuh hati adiknya.

Eline mendengus. Tanpa kata dia menghilang.

Reytasya memicing menatap kabut tipis di hadapannya.

"Sepertinya puncak gunung pilihan yang tepat." Reytasya bergumam membaca arah Eline dan menghilang.

Kini mereka berdua saling duduk berdampingan. Tak ada alas apapun yang menghalangi pakaian mereka menyentuh permukaan gunung. Semilir angin hilir mudik membelai pori-pori yang terpampang.

Rambut dan pakaian Eline sudah kembali mengering, dibantu kekuatan murni alam. Mereka berdua tampak acak-acakan dengan rambut yang bergerak liar mencari kebebasan.

"Apakah tubuhmu ada yang sakit, Elie?"

Eline menoleh. Manik violet miliknya langsung menangkap wajah khawatir Reytasya. Dia memalingkan wajah kembali menatap bulan. "Tubuhku baik." Eline menjawab acuh. Bulan di hadapannya sangat indah dan menghangatkan. Setiap kali dia melihat bulan, dia selalu merasa dicintai. Cahaya kuning itu selalu berhasil membuatnya tenang dan ditemani.

"Tadi aku melihat dengan mata kepalaku kau tidak sama sekali bergerak." Reytasya bergumam. Gadis itu mendesah pelan merasa tertekan memikirkan kemugkinan yang bisa saja terjadi. Kejadian tadi selalu saja membuatnya ketakutan. Bagaimana jika adik nakalnya tak akan bangun kembali?

Eline menggigit bibir bawahnya dalam-dalam berharap senyum sialan itu tak akan menampakan wujudnya. Dia benci rasa panas yang menjalar di wajahnya, dia benci rasa hangat yang menyelimutinya sekarang! Eline hanya butuh cahaya kuning itu yang menghangatkannya! Eline tak butuh siapapun untuk menghangatkannya! Ya, dia tak butuh siapapun!

"Aku tak akan memaafkan diriku jika kau tak bergerak kembali."

Ya, Eline tak butuh siapapun. Manik violet itu mengilat-ngilat.

Reytasya tak dapat melihat fakta itu karena wajah Eline yang tak menghadapnya.

"Haruskah aku memakai sihir hitam untuk menarik jiwamu jika kejadian buruk itu terjadi?" Reytasya menghela nafas lalu membuangnya perlahan. Hal itu akan dilakukannya jika Eline benar-benar tak akan bergerak kembali. Masa bodo dengan hukum itu! Dia masih bisa hidup meskipun hanya bersama Eline.

Taring Eline mulai mencuat dari sisi bibirnya. Perkataan Reytasya mengingatkan pada lukanya di masa lalu. Tak ada yang meninginkan kehadirannya, tak ada yang menyukainya, tak ada yang tulus padanya.

"Tetapi ketika aku sendiri tidak mampu mengendalikan tubuhku, aku menangkap cahaya violet yang berpendar terang. Cahaya itu sangat indah dan mempesona."

Tangan Eline yang berada di sisi tubuh bergetar tak terkendali. Fampir-fampir sialan itu membuatnya terluka! Kehadirannya di tengah-tengah keluarga sudah tak terlihat karena gadis licik itu!

Reytasya memalingkan wajahnya mengikuti arah pandang Eline. Pantas saja adiknya sangat menyukai bulan! Cahaya kuning itu selalu menghantarkan rasa yang berbeda.

"Cahaya violet itu sudah lama menghilang dari hidupku. Aku merindukannya, sangat merindukannya."

Kuku-kuku Eline tumbuh semakin panjang. Dia menggeram menahan kemarahan di dalam dirinya yang membeludak.

Reytasya buru-buru menoleh menatap wajah samping adiknya. Dia tahu masa lalu itu sangat menyakitkan untuk Eline,selalu berhasil memunculkan jiwa AMetis. "Aku menyayangimu Elie."

Eline menoleh dengan manik violetnya yang mengilat-ngilat. Dia menyeringai menatap Reytasya. "Aku ingin membunuh!"

Reytasya tersenyum hangat. Dia mengelus puncuk kepala adiknya sayang. "Dendam tidak akan baik jika dipelihara terus menerus."

Eline menyeringai semakin lebar. Gigi-gigi runcing gadis itu terlihat sangat menyeramkan.

Tetapi tak untuk Reytasya. Beratus-ratus tahun lalu, dia pernah di hadapkan dengan monster Ametis yang sedang murka. Tetapi cintanya kepada sang adik melindungi Reytasya dari bahaya sang Ametis. Beratus-ratus tahun juga dia hanya hidup dengan Eline. Situasi seperti ini tak akan menakutinya, apa lagi membunuhnya.

****

Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang