"Aku akan berusaha menjadi yang terkuat, di antara yang kuat! Hanya untuk menjagamu. Meski itu membuatku terseok-seok." Alex martazone.
****
"Amour mengapa kau terdiam?"
Eline mengangkat wajah dengan mata yang memicing, memperhatikan sudut bibir Alex yang lebam dan robek. Kemeja yang dipakai pria itu juga tampak kusut dengan beberapa noda. "Kau berkelahi?"
Alex mengangkat pundak. "Memangnya kau perduli dengan apa yang kulakukan?" Alex berkata sinis.
Eline bungkam. Ada rasa aneh yang bersarang di dalam hati, begitu mengganggu , tetapi dia tak tahu apa itu? Apakah dia marah dengan perkataan Alex? Kalau iya, apa yang membuatnya marah?
"Tuan!" seseorang berseru, menyadarkan Eline dan Alex yang sibuk dengan pikiran masing-masing.
Eline mengalihkan pandangan, menatap pria tua yang tergesa-gesa menuju ke-arah mereka.
Alex juga ikut menoleh dengan alis yang terangkat satu.
"Saya ingin mengantarkan ini."
Alex menerima rompi yang disodorkan pria paruhbaya di hadapannya. Tak ada perkataan terima kasih atau sekedar busa-basi. Dia hanya membisu dengan tatapan dingin.
"Kalau begitu saya pamit permisi."
Eline mengalihkan pandangan menatap benda di tangan Alex. Sekarang, dia tambah yakin jika Alex baru saja berkelahi. Eline teringat percakapan kakaknya dengan beberapa mahasiswi. Tetapi apa yang membuat pria gila di hadapannya berkelahi?
Alex masih menatap ke-pergian pria paruhbaya yang memakai seragam pekerja kampus. Dia mengetahui pria itu, pria yang sedang menyapu di dekat tempat perkelahiannya. Ah! Bagaimana kabar bayi serigala Carl? Alex melirik gadis yang sedang menatap ke-arah tangannya. "Kau ingin memakaikan benda itu?"
Eline langsung mengangkat wajah. Dia merebut benda di tangan Alex sedikit kasar. "Apa kau ingin aku yang memakaikannya?"
Alex tak menoleh ataupun menatap wajah gadisnya. Dia kembali memperhatikan mading yang penuh dengan poster dan pengumuman.
Eline mencebikan bibir merasa diabaikan Alex dan dia tak menyukai itu. Eline menarik tubuh besar Alex agar menghadapnya. "Tidakkah kau ingin melihatku?" Eline bertanya ketus.
Alex menahan senyum yang ingin melebar. Apakah perasaan ini, perasaan bahagia?
"Aku tanya kembali! Apa kau ingin aku yang membantumu memakaikan benda ini?"
Akhirnya Alex menoleh. Dia tersenyum sangat lebar, membiarkan perasaan haru mengisi penuh rongga dada. Rasa sakit di sekujur tubuh tak terasa ketika menatap wajah indah itu! Ya, wajah indah gadisnya, miliknya.
Eline mendengus menatap pria di hadapannya. Tangannya bergerak merapihkan kemeja yang acak-acakan lalu memakaikan rompi jurusan. "Tubuhmu itu besar. Jangan terlalu memberatkan! Memangnya tanganmu tak bisa digerakan?" Eline memperotes. Dia mengulas senyum ketika melihat pakaian pria gila itu sudah sedikit rapih.
Alex merasakan ada rasa yang tak dapat di jelaskan. Melihat Eline yang jarang tersenyum apa lagi tersenyum untuknya, membuat Alex merasakan kebahagiaan yang teramat. Sudah lama senyum itu hilang dari wajah Eline, membentuk jiwa tanpa perasaan. Alex tak menyalahkan siapapun. Jika ada yang harus disalahkan, biarlah dia yang pantas disalahkan!
"Dasimu kemana?"
Alex mengerenyit bingung. "Aku kan tidak pernah memakai benda itu."
Eline berdecak. "Lihat aku!" Dia memerintah sambil memutar tubuh bak putri. "Aku terlihat lebih baik darimu."
Alex terkekeh. Tingkah lucu gadis nakal itu sangat menghiburnya. Dia rela jika harus merasakan luka fisik untuk mendapatkan perhatian Eline.
"Besok kau harus menggunakan dasi! Benda itu akan membuatmu lebih tampan."
Apa eline baru memujinya? Alex merasakan wajahnya memanas.
Eline melirik sekilas tangan kanan Alex. "Bisakah kau merapihkan lengan kemejamu?"Alex mengangkat pundak. "Biarkan saja, aku ... "
Sebelum perkataan itu selesai Eline lebih dulu merapihkannya. "Kau lebih keren kalau begini!" Eline berseru antusias.
Alex mengacak-ngacak rambut gadis di hadapannya gemas. Eline tampak seperti anak kecil yang dengan mudah mengekspresikan perasaan, mengingatkannya pada beberapa ratus tahun lalu.
Eline teringat sesuatu. Ya! Kakak sialannya itu belum mengabarinya sampai sekarang. Apa yang dilakukan Reytasya? "Apa kau melihat kakaku?"
Alex bungkam. Belum lama Reytasya membuatnya kesal! Untuk apa gadis itu menolong werewolf? Memangnya Reytasya ingin apa yang terjadi pada leluhurnya, terjadi juga pada gadis itu?
Eline menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah Alex. "Apa kau sedang memikirkan sesuatu?"
Alex mengerejap. "Ah! Reytasya. Tadi dia menolong Brian yang berkelahi denganku. Sepertinya kakakmu membawa pria itu ke-klinik."
Eline mengangguk sekali. Jadi benar tebakannya? Brian? Mengapa ke-dua orang itu berkelahi? Tetapi Eline tak ambil pusing. Alasan mereka pasti sangat tidak masuk akal, tidak bisa dicerna otaknya. Eline menekan tombol di samping tubuh Alex.
"Kau ingin ke-mana?"
"Menemui kakakku." Eline menjawab ketus dan melangkah masuk ke-dalam lift yang membuka.
Alex mengerucutkan bibir kesal. Baru saja gadis itu baik padanya, sikap seperti singa betina sudah kembali lagi. Alex ikut melangkah masuk. Dia masih ingin berada di sisi gadis itu. "Amour!"
Eline bungkam. Manik hitamnya menatap angka yang tertera di atas pintu lift. Dia sedang menebak-nebak klinik lantay berapa Reytasya berada.
Pintu lift terbuka! Lorong tak berujung menyambut ke-duanya. Mereka keluar beriring-iringan dengan Alex yang memepet Eline.
"Bisa tidak kau bergeser sedikit?"
Alex mengangkat pundak. "Tidak bisa."
Eline melotot, merasa sangat geram dengan putra Emmy. "Kau ...."
"Kenapa Amour?"
Eline menghentikan langkah tepat di persimpangan dengan Alex di sisinya.
Keturunan Martazone menaikan alis bertanya ketika Eline menoleh dan menatapnya tajam.
****
Sudah direfisi! Koment jika masih ada typo atau kesalahan yang menyempil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...