C H A P T E R 5 [Kisah Ali dan Fatimah]

24 14 3
                                    


Di salah satu aplikasi chatting itu menampilkan sebuah nomor tidak dikenal telah mengiriminya sebuah voice note beberapa menit yang lalu.

Sandra mengernyitkan dahinya bingung. Nomor siapa lagi ini?

Tepat sebelum Sandra mengklik bagian play, nomor tidak dikenal itu membuat pertanyaan Sandra terjawab dengan adanya pesan baru.

+62-85xxx
▶️•---------------

(2 pesan baru)

'Ini saya, Akbar.
'Jangan lupa di dengar, itu kisah Ali sebelum menikahi Fatimah. Lain kali saya cerita langsung.

Sandra hanya membaca pesan dari Akbar tanpa berniat membalasnya sama sekali. Dia mengabaikan ponselnya dan pergi menonton tv, kebetulan sekali acara kartun dua bocah botak sudah tayang.

Sandra menghembuskan nafasnya lelah saat acara menontonnya terasa tidak fokus. Sejujurnya Sandra juga penasaran dengan Voice Note yang dikirimkan dosen menyebalkannya itu.

Dengan menghentakkan kakinya keras-keras, Sandra berjalan ke kamar dan membuka aplikasi chatting tadi.

Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Sandra mengulangi kegiatan itu hampir satu menit, menyiapkan diri sebelum mendengar kisah yang memang tidak Sandra ketahui sama sekali.

Sandra memejamkan matanya saat ucapan salam adalah suara pertama yang ia dengar. Setiap kali Akbar mengucapkan salam, Sandra baru sadar dirinya tak pernah sekalipun membalasnya. Lidahnya terasa kelu untuk berucap.

Assalamu'alaikum, Sandra. Dengan ini kamu sedang mendengarkan saya 'kan. Seperti tawaran saya sebelumnya, saya berniat menceritakan 2 kisah cinta yang mengesankan. Tapi saya ingat, kamu belum memilih. Maka dari itu, saya ceritakan kisah Ali terlebih dahulu, ya. Cari posisi ternyaman dulu, Sandra, agar lebih leluasa mendengarnya.

Sandra mendengar Akbar terkekeh pelan di seberang sana. Sandra mencari posisi nyaman dalam rebahannya, kemudian lanjut fokus mendengarkan. Suara Akbar itu sangat indah, membuat dirinya seakan terhipnotis.

Pada suatu ketika Fatimah dilamar oleh seorang laki-laki yang sangat dekat dengan Nabi Saw, ia telah mempertaruhkan harta, jiwa, dan kehidupannya untuk Islam, selalu menemani perjuangan Rasulullah Saw. Dialah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Mendengar kabar itu entah mengapa Ali terkejut, muncul rasa-rasa yang dia pun tak mengerti. Namun dibandingkan Abu Bakar, Ali merasa apalah dirinya, ia merasa dia hanya pemuda yang miskin, sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq orang yang kedudukannya dekat di sisi Nabi, segi finansial pun Abu Bakar ialah seorang saudagar, tentu akan lebih bisa membahagiakan Fatimah. Hal itu Ali merasa diuji karena apalah dirinya, hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Melihat dan memperhitungkan itu Ali ikhlas dan bahagia jika Fatimah menikah dengan Abu Bakar, meskipun hatinya tak bisa membohongi rasa-rasa itu. Rasa-rasa cinta yang ia berusaha mengikhlaskannya.

Beberapa waktu berlalu, Ali mendapat kabar bahwa lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq di tolak Fatimah. Kabar itu tentu menumbuhkan kembali harapannya. Ali kembali mempersiapkan diri, berharap ia masih mempunyai kesempatan.

Ternyata ujian Ali belum berakhir, ia mesti diuji lagi dengan munculnya lelaki yang gagah nan perkasa dan pemberani. Seorang laki-laki yang setan aja lari karena takut kepadanya, musuh-mush Allah bertekuk lutut. Dialah yang diberi gelar Al-faruq, ya , dialah Umar ibn Al Khaththab. Ia datang setelah Abu Bakar mundur. Ia yang terkenal dengan pemisah antara kebenaran dan kebatilan datang melamar Fatimah.

Lagi, lagi, Ali harus berusaha ikhlas, Ali ridha jika Fatimah menikah dengan Umar, sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu Bakar. Namun beberapa saat kemudian Ali menerima kabar yang membuat Ali semakin bingung, karena lamaran Umar ditolak.

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” Seru sahabat Ansharnya.

“Mengapa tidak engkau yang mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditungu-tunggu Baginda nabi.”

“Aku?” tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai Saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa aku andalkan ?”

Sahabatnyapun menguatkan, “ Kami di belakangmu, kawan!”

Akhirnya Ali bin Abi Athalib pun memberanikan dirinya untuk menemui Rasulullah untuk menyampai maksud hatinya meminang putri nabi Fatimah untuk jadi istrinya.

Memang secara ekonomi saat itu bukanlah siapa-siapa, tak ada yang berharga dari dirinya kecuali satu set baju perang ditambah persedian tepung kasar untuk makanannya, sederhana sekali.

Tapi Ali tidak meminta Fatimah untuk menunggu 1 atu 2 tahun dengan alasan mau mengumpulkan uang terlebih dulu. Ali yakin pilihan menikahi Fatimah tidaklah ringan. Namun segala resikonya ia sudah siap. Ia sadar Allah mahakaya dan tidak akan menelantarkan hambanya yang menikah untuk menjaga diri dan menyempurnakan Agama.

“Ahlan wa Sahlan” itulah sebuah jawaban, sebuah jawaban sederhana yang muncul dari mulut Nabi atas lamarannya. Tidak ada kata-kata yang lain, Cuma "Ahlan wa sahlan”.

Jawaban yang mebingungkan, yang membuat Ali bertanya-tanya apakah lamarannya diterima atau tidak.

Ali pun bertemu dengan sahabatnya, dan menyakan “menurut kalian apakah “Ahlan wa Sahalan sebuah jawaban ?” ia bertanya penuh dengan kebingungan kepada sahabatnya.

“Satu saja sudah cukup dan kau mendapat dua! Ahlan saja sudah berarti ya, sahlan juga. Dan kau mendapatkan dua-duanya, berarti ya,” jelas sahabtnya.

Dan Ali pun menikahi Fatimah dengan menggadaikan baju besinya. Dan rumah yang disumbangkan sahabat-sahabatnya, tapi Nabi Saw, meminta bayar cicilannya. Itu utang.

Mencintai dalam diam, kuat dalam mengikhlaskan, dan yakin bahwa Allah memberi yang indah. Walaupun ia tidak mempunyai ekonomi yang sempurna, tapi komitmenya sempurna, sehingga Allah memudahkan jalannya.

“Ahlan wa sahlan” itulah jawaban yang indah, yang Allah hadiahkan atas ikhlas, sabar dan komitmenya. Jawaban yang menyatukan cintanya dengan Fatimah.

Itulah cinta dalam diam, cinta yang selalu didasari oleh ketaaatan, yang diutamakan ialah cinta kepada Allah dan RasulNya. Itulah cinta tentang keberanian, tanggung jawab, komitmen, dan keikhlasan sebuah cinta.


Ini baru kisah awal, namun tanpa sadar Sandra sudah berlinang air mata saat voice note itu berakhir. Ada buncah haru dalam hatinya. Perasaan asing yang menyelusup di dadanya. Jujur, Sandra ingin mendengar lanjutannya.

Sandra menghapus jejak air mata yang masih tersisa sebelum mengetikan sebuah pesan untuk Akbar. Dirinya juga sudah menyimpan nomor Akbar di ponselnya.

Pak Dosen

Sibuk?

Katakanlah Sandra itu wanita dengan ego yang tinggi. Dia hanya mengirimi pesan singkat, padahal dalam hatinya sangat ingin mendengar kisah dari Akbar lagi.

Sandra menggigiti kukunya. Berharap-harap cemas menunggu Akbar membaca pesannya.

¤¤¤

To be Continued...

Wa'alaikumsalam, Imam!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora