C H A P T E R 11

20 3 0
                                    

Tandai typo!

Secercah fajar di langit pertanda hari benar-benar sudah berganti. Selepas solat tahajud dan istikharah, Akbar tidak bisa tidur sama sekali hingga menjelang subuh. Akbar meneguhkan hatinya sendiri, inilah akhirnya.

Untuk perasaannya sendiri, Akbar yakin cinta akan tumbuh seiring kebersamaan yang terjalin setelah menikah. Yang Akbar khawatirkan adalah tanggungjawab. Ia lahir tanpa kedua orang tua di sisinya, guru pertamanya.

Akbar kembali mematut dirinya di depan cermin. Tubuh tegap yang berbalut kemeja yang dipadukan jas yang senada dengan gaun yang dipilih Sandra 2 hari lalu.

Insya Allah ini yang terbaik. Akbar kembali menggumamkan kalimat itu agar hatinya tenang. Rencana Allah tidak akan ada yang tahu.

"Assalamu'alaikum, Kiyai,"

Akbar putuskan untuk berangkat bersama Kiyai Imran. Maka seperti hari-hari biasanya, sang Kiyai selalu berada di rumah sakit.

Kiyai Imran mengusap pelan pintu kaca itu, seolah memberitahu bahwa ia akan pergi sebentar. "Mari, nak Imam."

Acara yang Tama adakan bertempat di rumahnya sendiri. Pekarangan rumah dihias sedemikian indah hingga membuat Akbar takjub. Tidak berlebihan, namun sangat berkesan.

"Masya Allah," sepertinya Kiyai pun sama takjubnya dengan Akbar.

Keluarga dari Sandra nampak hanya Tama dan Linda. Sisanya beberapa kenalan dekat Tama saat di pondok pesantren. Sedangkan Akbar hanya membawa Kiyai Imran.

"Masya Allah, Kiyai Imran!" sapa Tama lebih dahulu.

"Ah, Tama. Tak usah panggil Kiyai segala. Dulu juga manggil nama saja," Kiyai Imran terkekeh melihat keantusiasan Tama. Dirinya dan hanya berselisih 4 tahun di atas Tama.

"Ya sudah, mari masuk Imran, nak Akbar," Tama menuntun keduanya hingga meja yang terletak di tengah.

"Akbar?" beo Kiyai Imran.

"Nak Imam ini ingin dipanggil Akbar saja. Katanya, karena Sandra lebih terbiasa dengan Akbar," jelas Tama. Senyum di bibirnya sama sekali tidak luntur.

"Wah-wah, nak Imam ini memang selalu mengedepankan kenyamanan orang lain ya," canda Kiyai Imran.

Akbar hanya tersenyum kecil saat mendapat lirikan dari keduanya. Memberikan ruang untuk Tama dan Kiyai Imran melempar candaan setelah lama tak bertemu.

"Puterimu mana, Tama?" Kiyai Imran celingukan. Sejauh ini tak terlihat seorang gadis yang tampak menjadi pusat perhatian. Hanya ada beberapa gadis yang Kiyai Imran tebak teman-teman dari sang calon tunangan.

"Pak Akbar!"

Akbar menoleh kemudian tersenyum kecil saat berhasil mengingat yang memanggilnya ini adalah salah satu mahasiswi di kampusnya.

"Saya gak nyangka loh bapak tunangan sama Sandra," ucapnya. Akbar yakin dia salah satu teman kuliah Sandra.

"Jodoh 'kan tidak ada yang tahu," Akbar tersenyum melihat lawan bicaranya yang justru berteriak tertahan mendengar jawabannya.

"Bisa-bisanya kalimat yang sering orang lain ucapkan biasa aja malah jadi beda kalo bapak yang bilang. Saya jadi ikutan baper loh,"

Akbar tergelak. Sejenak dia lupa tentang kegugupannya.

"Woy, Manda! Gue kira lo balik, ternyata malah godain calon tunangan temen sendiri," Alea datang menepuk bahu Manda dari belakang.

"Lagian lo sendiri sibuk sama makanan," ketus Manda.

Akbar tersenyum melihat perdebatan kecil keduanya. Lumayan, hiburan.

"Itu Sandra? Gila cakep banget," pekikan Alea yang memang bersuara cempreng membuat Akbar bahkan semua orang yang hadir ikut memandang ke arah yang ditunjuk Alea.

"Si Sandra bener-bener cakep sih pake jilbab gitu. Gue sampe pangling," Manda bergumam.

"Gak cuma lo, semua tamu undangan juga terpesona sama Sandra," Alea menimpali.

Akbar masih terdiam. Matanya terpaku pada Sandra yang bergerak keluar rumah dibantu Linda dan seoraang wanita paruh baya yang Akbar tebak sang perias.

Riasan di wajah Sandra tampak sederhana, namun sangat memukau semua orang karena kecantikan alaminya. Jilbab yang Sandra kenakan menarik perhatian Akbar. Sungguh cantik.

"Masya Allah," Akbar bergumam tanpa sadar. Matanya masih tak lepas mengikuti langkah Sandra.

"Eh, astaghfirullah aladzim," ucap Akbar sedikit keras sembari menundukan wajahnya yang memerah. Para tamu ikut memalingkan wajahnya. Mereka berpikir Akbar tak suka jika Sandra ditatap sedemikian.

Belum muhrim, Akbar. Ingatnya dalam hati.

¤¤¤

Acara pertunangan itu berjalan lancar tanpa hambatan. Seluruh rangkaian acara itu telah selesai dilaksanakan. Semua tamu pun sudah bubar, menyisakan keluarga kecil Sandra, Akbar, dan Kiyai Imran.

Drtt ... Drrtt ...

Getaran yang berasal dari ponsel Akbar menghentikan obrolan ringan mereka.

"Saya permisi sebentar," pamitnya.

Semua mengangguk kecuali Sandra yang hanya menatap tanpa minat ke arah Akbar. Tak berselang lama, Akbar kembali bergabung dengan raut panik.

"Kiyai, sepertinya kita harus pulang," sebisanya, Akbar menahan agar nada bicaranya tidak terdengar panik. Namun percuma saja, panik yang kentara itu tertular pada Kiyai.

"I-iya, kalo begitu kami pamit dulu," Kiyai bangkit, diikuti oleh Tama dan Linda. Mereka mengantarkan keduanya hingga ke depan.

"Sepertinya mereka sedang mengalami masalah. Akbar tampak cemas sekali," Linda hanya mengangguk mengiyakan.

Akbar dan Kiyai Imran memasuki kawasan rumah sakit dengan tergesa-gesa. Keduanya berpapasan dengan Dokter Yada yang baru saja menutup pintu ICU.

"Ada apa dengan puteri saya, Dok?" Kiyai bergegas bertanya.

"Syukurlah pak Kiyai segera datang, puteri pak Kiyai baik-baik saja walau sempat mengalami penurunan selama beberapa menit. Namun untuk saat ini justru keadaannya berkembang dengan pesat. Puteri pak Kiyai menunjukkan tanda-tanda kehidupan, beberapa kali tim kami mendengar bibirnya bergumam pelan menyebut sebuah nama, tapi kami tidak terlalu mendengar dengan jelas,"

"Alhamdulillah," Akbar dan Kiyai Imran mengucap syukur secara bersamaan mendengar penjelasan panjang dari Dokter Yada.

"Boleh saya masuk?" tanya Kiyai Imran dengan mata berkaca-kaca penuh haru.

"Boleh, tapi di wajibkan memakai pakaian steril yang akan disiapkan suster. Dan maaf, hanya satu orang yang diperbolehkan masuk,"

"Biar saya yang berjaga di luar," ucap Akbar membalas tatapan Kiyai Imran.

"Kalo begitu, saya permisi," pamit Dokter Yada.

Akbar menatap ke dalam ruangan dengan tatapan yang sulit diartikan. Hatinya berkecamuk tak karuan. Ia sendiri bingung dengan perasaannya, senang, sedih, haru, dan entahlah, semua bercampur menjadi satu.

¤¤¤

To be Continued...

Wa'alaikumsalam, Imam!Where stories live. Discover now