• Rumah yang patah

177 37 2
                                    

◇◇◇

Farhan menghela nafasnya sembari menatap layar ponselnya. Ia sedari tadi hanya membaca pesan dari orang tuanya namun enggan untuk membalas beberapa kalimat. Kenapa? Karena ia lelah dengan omelan dari orang tuanya bahkan panggilan telepon saja ia malas menjawabnya.

Untuk informasi saja, Papa dan Mamanya sudah berpisah dan Farhan memutuskan untuk tinggal di asrama agar kedua orang tuanya tidak menyuruhnya untuk bolak balik tinggal di rumah berbeda. Farhan tahu kedua orang tuanya hanya menyuruhnya pulang untuk formalitas keluarga saja setelahnya ia kembali diabaikan dan mereka lebih memilih untuk bekerja di perusahaan masing-masing.

"Han, lagi mikirin apa?" tanya Shandy yang dari tadi memperhatikannya dari luar kamar. Heran melihat wajah murung orang kaya tersebut.

"Eh Sendi, sebenarnya gue gak lagi mikirin apa-apa sih. Memangnya kenapa?" tanya Farhan balik, ia menghampiri teman sekelasnya itu.

"Gue perhatiin lu kaya mikirin sesuatu gitu. Kalau ada apa-apa jangan lupa bagi ceritanya," saran Shandy membuat Farhan menatapnya tak percaya.

"Dih, sejak kapan lu peduli gini sih? Kesambet lu Sen?" heran Farhan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Oh, ya sudah awas lu curhat ke gue," cuek Shandy meninggalkan Farhan yang terbahak melihat temannya itu ngambek.

"Gitu saja ngambek ckck."

Sementara itu, Zweitson memegang keningnya. Ia terlihat pusing menatap layar laptopnya. Apa ia telah mencapai batasnya? Atau hanya malas untuk menyelesaikan tugas kelompok yang dilimpahkan padanya semua?

"Makanya jangan sok baik Son, padahal banyak lho yang-"

"Ah lu kalau gak mau bantuin jangan banyak omong doang dong. Nambahin pikirin aja lu Ji," kesal Zweitson memotong ucapan Fajri yang asik bermain ponsel.

"Ya makanya lu sekelompok sama gue dong, malah milih sama yang lain. Kalau kaya gini tanggung sendiri, kalau sama gue ya kita bakalan kerjain bareng-bareng," jawab Fajri yang mendelik ditatap sinis oleh Zweitson.

"Halah buktinya lu sama Fiki yang kerjain tugas tuh, omong kosong."

"Wow siapa bilang? Justru kita sudah selesai dari kemarin. Kaget kan, lu pikir kita pemalas yah hahaha," ledek Fajri membuat Zweitson mengusap dadanya sabar.

"Sudah sana keluar, jangan ganggu gue!" usir Zweitson pada akhirnya membuat Fajri rebahan di ranjangnya.

"Malas gerak, gak bakal gue ganggu kok tenang saja," malas Fajri sembari menutup matanya.

"Tabahkan hamba ya tuhan."

***

Ricky mendongkak memandang langit di lapangan basket. Silau, Iya dia sekarang berada di lapangan basket asrama. Hanya sendiri, melelahkan dirinya agar ia tidak merasa bosan. Keringat membasahinya karena ia terduduk di tengah lapangan merasakan terik matahari di atas sana.

Saat ia mengalihkan pandangannya. Ada satu mobil yang berhenti tepat di depan gerbang asrama. Melihat itu, ia segera menghampiri mobil tersebut.

"Halo, selamat siang ada yang bisa saya bantu?" sapa dan tanyanya ramah, namun dua orang dewasa yang di dalam sana menatapnya dengan angkuh. Dan hal itu membuat Ricky menyesali perbuatannya.

"Kenal Farhan tidak?" tanya salah satu pria dewasa itu tanpa keluar dari mobil mewahnya itu.

"Oh, banghan. Dia ada di dalam asrama ma-" belum selesai Ricky menjawab, pria paruhbaya itu langsung keluar dari mobilnya bersama seorang wanita yang tadi.

Adolescence [Un1ty]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz