Ibnu Zubair #2

5 1 0
                                    

Setelah peristiwa Karbala, penduduk Madinah, yang sebagian besar adalah sahabat Anshar dan keturunannya, mulai menyatakan penolakannya dengan tegas atas kekhalifahan Yazid. Karena itu Yazid mengirim pasukanbesar untuk menyerang Madinah, dan setelah itu diperintahkan menyerang Abdullah bin Zubair di Makkah. Pada saat terjadi penyerangan Makkah dengan manjaniq, dimana penutup dan sebagian besar bagian Ka'bah terbakar, datanglah kabar dari Syam, bahwa Yazid mati. Pasukan itupun kembali ke Syam sebelum sempat menangkap atau membunuh Abdullah bin Zubair.

Masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah setelah kematian Yazid. Sementara itu, Bani Umayyah mengangkat putra Yazid, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah. Muawiyah ini sangat berbeda dengan ayahnya, ia seorang pemuda yang saleh, yang menghabiskan waktunya dengan ibadah. Seolah Allah ingin menjaga kebaikannya ini, ia dalam keadaan sakit ketika ayahnya meninggal, dan tetap dalam keadaan sakitselama empat puluh hari (atau dua bulan dalam riwayat lainnya), dan tetap tinggal di tempat tidurnyasampai ajal menjemputnya.

Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sebagai khalifah penerus Bani Umayyah, dan menjelang kematiannya, ia menunjuk putranya Abdul Malik bin Marwan sebagai penggantinya. Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berjumlah 40.000 orang di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi untuk menyerang Ibnu Zubair di Makkah. Pasukan ini melakukan pengepungan Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq. Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair menyerah atau membelot ke pasukan Hajjaj karena kekurangan makanan dan kelaparan. Tetapi ada juga yang berkhianat karena tergiur dengan berbagai tawaran kenikmatan duniawiahyang ditawarkan oleh Hajjaj.

Pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit saja, tetapi yang justru dikhawatirkan Ibnu Zubair adalah keselamatan para pengikutnya tersebut. Ia meminta mereka untuk menyingkir saja, tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka siap mempertaruhkan nyawanya asalkan tetap diijinkan untuk mendampinginya.

Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya, dan berbagai kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Ibunya ini memang wanita hebat, putri dari seorang sahabat yang hebat, istri dari sahabat yang hebat, dan dipuji dan dididik oleh seorang yang mulia dan hebat, Nabi SAW.Karena perannya ketika membantu Rasulullah dan ayahnya ketika bersembunyi di gua Tsur, sebelum kemudian hijrah ke Madinah, beliau memberikan gelar kepadanya Dzatun Nithaqain.

Atas permasalahan putranya ini, Asma menyatakan, bahwa tidak sepatutnya ia memilih dan melakukan sesuatu, kecuali di atas jalan kebenaran. Tidak ada kamus menyerah dan mundur dari perjuangan hanya karena terlalu kuatnya musuh, terlebih lagi karena terpikat oleh tawaran kenikmatan duniawiah, sungguh suatu kecelakaan besar dan menyimpang dari jalan yang dirintis oleh ayahnya, kakeknya, dan para sahabat yang telah gugur mendahuluinya. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, saya juga meyakini seperti itu, hanya saja saya khawatir, orang-orang Syam itu akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhku setelah mereka membunuhku!!”

Memang, sebenarnya yang dikhawatirkan adalah perasaan ibunya kalau jasadnya akan diperlakukan dengan sangat biadab seperti yang telah "biasa" mereka lakukan sebelumnya, misalnya yang terjadi pada peristiwa Karbaladan Harrah. Apalagi pemimpin pasukan Syam itu, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi terkenal sebagai orang yang sangat kejam dan biadab, sangat jauh dari akhlak Islami walau dia pemeluk Islam. Namun, Ibnu Zubair memperoleh jawaban yang tidak tersangka-sangka dan sangat luar biasa dari ibunya, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu tidak merasakan sakit walau dikuliti setelah disembelih, Teruskan langkahmu dan mintalah pertolongan kepada Allah…!!"

Asma hendak memeluk putranya tersebut untuk terakhir kali, tetapi tangannya menyentuh baju besi yang dipakai Ibnu Zubair, segera saja ia berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang memakai ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan… (yakni, kesyahidan)..!!"

Abdullah bin Zubair segera melepas baju besi tersebut kemudian berpelukan dengan ibunya. Asma mengucapkan beberapa patah doa sebagai pengiring dan penyemangat anaknya untuk terakhir kalinya. Ibnu Zubair beranjak menuju sisa pasukan yang setia mendampinginya, kemudian mereka menyerang pasukan Hajjaj dan terjadi pertempuran tidak seimbang yang akhirnya mengantar Ibnu Zubair dan pasukannya menuju gerbang kesyahidan.

Dan seperti telah diperkirakan oleh Ibnu Zubair, Hajjaj menyalib dan menyayat tubuhnya yang telah kaku. Namun semua itu tidaklah menjadikannya tercela, justru menambah kemuliaan dirinya di sisi Allah.

The Real Heroes in My LifeWhere stories live. Discover now