16

770 221 57
                                    

Menekan puntung rokoknya yang masih setengah ke atas asbak, lalu menekan bara apinya hingga asapnya lenyap. Memastikan sekali lagi sisa puntung rokok yang ia buang tak menyisakan api, Dygta mulai beranjak dari duduknya. Waktu menunjukkan pukul satu, Pujasera tempat Dygta menghabiskan makan siangnya itu mulai berangsur sepi. Menyisakan ia dan Hendri yang juga kini sudah bergegas menuju kantor mereka untuk kembali bekerja.

"Nyari siapa lo?"

Dygta berjengkit kaget saat suara Hendri terdengar begitu keras di telinganya. Mereka kini sedang melewati pintu ruang HRD berada.

"Cewek?" tanya Hendri lagi.

"Apaan---Nggak!" Dygta menjawab sebiasa mungkin dan membiarkan Hendri berjalan lebih dulu agar tak ketahuan kalau ia berbohong.

"Di sini nggak bisa pacaran sama orang sekantor," ujar Hendri kemudian.

"Hah? Serius lo?" Tanya Dygta kini berjalan menyamai langkah Hendri.

"Panik kan lo!" Kini Hendri tertawa keras, ternyata Dygta sangat mudah terpancing.

"Sialan lo Hen!"

Hendri menyeringai puas.

"Eh, yang bener lo di sini nggak bisa pacaran sama cewek se-kantor?" tanya Dygta lagi, penasaran.

"Ya, lo pikir aja lo mau macarin cewek sekantor ini? Gila banyak banget Dyg! Emang lo bisa?"

Mendapat jawaban seperti itu Dygta hanya menganga dengan tampang bodoh. Karena ia begitu mudahnya dibodohi Hendri yang kini tertawa bahagia karena lelucon jadulnya. Dygta mengumpat pelan pada Hendri yang masih saja tertawa sendiri sambil berjalan lebih dulu menuju ruang kerja mereka.

Dygt sendiri memilih berbelok untuk ke toilet dulu, dan di lorong menuju toilet dan mushola itu Dygta bertemu orang yang ia cari keberadaannya di ruang HRD tadi.

"Hai Nye!" Sapa Dygta antusias. Pasalnya sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu ia jarang sekali bertemu gadis ini.

"Hh--hhai Dygta," jawab Anye.

"Kok jarang kelihatan Nye?" tanya Dygta. "Atau kamu memang nggak masuk kantor ya? Kamu baik-baik aja kan?"

Anye terlihat meringis kecil. "Ma--masuk kok aku masuk kantor hehe. Emmm---duluan Dyg!" Balas Anye kemudian berjalan cepat meninggalkan Dygta.

Dygta jelas menyadari Anye salah tingkah hingga membuatnya tersenyum geli. Beberapa hari tidak melihat wajah Anye setidaknya cukup terbayar dengan pertemuan mereka barusan. Dipandanginya Anye hingga berjalan menjauh dan tak terlihat lagi saat sudah berbelok dari lorong.

"Katanya calon tunangan, tapi di cuekin. Huh." Dygta mencibir.

***

"Kenapa lo Nye? Abis lihat setan?"

Anye tak berniat menjawab, ia sibuk menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya. Sudah beberapa hari ini ia berhasil menghindari Dygta setiap kali mereka hampir tidak sengaja berpapasan, namun tadi ia kecolongan. Setelah malam itu di mana ia mengaku-ngaku sebagai calon tunangan Dygta, ia merasa tidak sanggup lagi untuk bertemu pria itu. Walaupun di malam yang sama ia sudah menjelaskan pada Dygta, alasannya melakukan itu. Ia hanya tidak ingin Dygta terlibat urusan lagi dengan Seno dan merugikan dirinya sendiri.

"Kalau kamu marah dan nggak terima, kamu bisa marahin aku. Aku minta maaf karena nggak meminta persetujuan kamu dulu. Tapi aku nggak menyesal melakukan itu, aku hanya nggak mau kenapa-kenapa."

Anye merasa geli sendiri mengingat ucapannya pada Dygta malam itu, apalagi Dygta malah tidak marah. Pria itu hanya tersenyum geli sambil mengusap lembut puncak kepalanya seraya mengucapkan terima kasih. Anye juga bingung sejak kapan ia jadi mahir mencampuri urusan orang lain, bahkan hingga sebegini jauhnya.

Carnation & Cactus | TAMAT (Tersedia Cetak & Ebook)Where stories live. Discover now