09.

29 2 0
                                    

"Raja!"

"Raja!"

Gintara tak menyerah, dan tak akan pernah sedikit pun menyerah untuk mencari Raja. Ginan pun ikut mencari, berkeliling dari satu blok ke blok lain untuk menemukan Raja si domba kecil.

Gintara khawatir Ginan akan terlalu capek dan membiarkannya duduk beristirahat pada kereta dorongnya, namun Ginan menolak. Ia berkata bahwa ia memiliki andil atas hilangnya Raja. Bocah usia enam tahun itu, yg bahkan belum bisa membaca dan menulis, mengatakan bahwa hilangnya Raja adalah kesalahannya karena Gintara yg pergi untuk menjemputnya. Bahkan Ginan sempat menyuarakan bahwa ia siap dihukum untuk itu.

Gintara merasa terenyuh. Ia menjelaskan dengan pelan dan lembut, bahwa, tak sedikit pun hilangnya Raja adalah kesalahan Ginan. Gintara tidak menyalahkan Ginan karena nyatanya Ginan memang bukanlah penyebab dari hilangnya Raja. Ia mengatakan bahwa tak semudah itu Gintara memberikan hukuman kepada Ginan, apalagi pada suatu hal yg bukanlah tanggung jawab Ginan. Gintara merasa sedih.

Karena faktanya, sudah terpatri pada pola pikir Ginan bahwa jika ia melakukan kesalahan sekecil apa pun, ia akan dihukum. Kemungkinan itu adalah apa yg telah ia lalui ketika ia menjadi kelinci percobaan dalam penelitian ilegal. Ia adalah seorang perisai dan ia selalu menjadi samsak tinju karena ia tidak bisa sedikit pun di sentuh. Maka dengan mudahnya orang-orang tersebut menjadikannya sasaran yg sangat empuk. Ia adalah anak yg menjadi kambing hitam dan menerima hukuman walaupun ia tidak sedikit pun memiliki andil di dalamnya.

Gintara menjelaskan bahwa, Ginan tidak perlu menjadi orang yg maju untuk bertanggung jawab setiap kali terjadi suatu kesalahan atau pun masalah. Ginan bukanlah seorang pahlawan. Ginan hanyalah seorang anak dan yg perlu Ginan lakukan hanyalah bermain dan berbahagia.

Untuk perihal hilangnya Raja, Gintara mengatakan bahwa itu sepenuhnya adalah tanggung jawab Gintara. Ia telah lalai karena terlalu panik, dan selalu bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu. Sehingga semua ini terjadi. Dan Gintara mengatakan,

"Semesta selalu membenciku. Karena itulah semua ini terjadi."

Ia tersenyum sedih dan mengacak rambut Ginan, kemudian meluruskan posisi bandana yg menutupi tato di dahinya. Ginan memiringkan kepalanya.

"Semesta tidak membencimu," anak itu berkata serius dan menggeleng. "Semesta justru sangat menyayangimu. Karena itulah kau selalu menerima hal yg disebut dengan cobaan setiap waktu. Agar kau bisa melatih dirimu menjadi lebih kuat dan bisa melindungi orang-orang disekitarmu."

Gintara terkekeh. "Darimana kau mendengar semua hal bijak ini?" Ia mengetuk hidung bangir Ginan, yg kemudian hidungnya mengerut.

"Dari serial animasi pahlawan super yg aku tonton di tablet. Pahlawan itu awalnya selalu gagal dalam menolong orang-orang. Namun, ia adalah orang yg sabar dan tidak menyerah sehingga akhirnya ia berhasil menolong orang. Aku yakin Tara seperti pahlawan itu juga, berhasil menemukan Raja," ucap Ginan polos. Gintara kembali terkekeh pelan lalu merengkuh anak itu dalam pelukannya.

Sejujurnya, Gintara merasa tersentuh. Meskipun Ginan tampak tidak terlalu mengerti makna dari kalimat yg ia ucapkan, namun ia mengutarakannya dengan penuh kepolosan yg berarti ia benar-benar percaya hal itu dari hatinya. Ia percaya bahwa semesta tidak membenci Gintara, melainkan semesta hanya mengujinya.

Yah, andai saja itu benar adanya.

Bagaimana pun, Gintara mengapresiasi kalimat yg dilontarkan oleh Ginan tersebut, ia merasa hangat di hatinya. Mungkin semesta sengaja mengujinya, atau bisa juga semesta memang membencinya, yg mana pun Gintara tak tahu. Yg pasti, rasa percaya Ginan pada dirinya cukup membuat kekuatannya serasa bertambah berkali-kali lipat.

METAHUMAN [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang