Ada Rindu Tergantung

24 3 1
                                    

Ada rindu tergantung di langit-langit kepalanya. Potret masa lalu antara ia dengan sang mantan istri memenuhi pikiran. Ia sadar bahwa perasaan yang begitu kuat itu akan selalu membuatnya terjebak kenangan. Namun, tidak mudah untuk menepis jauh-jauh. Sehingga perasaan kangen yang sering kali singgah kala sedang menyendiri di ruang makan, dinikmati begitu saja, biarpun luka hati di masa lalu kembali menganga hingga bikin ngilu batin.

Siang itu matahari bersinar tak terhalangi awan. Suhu udara naik sekian derajat. Cahaya matahari yang terhalangi atap rumah, membuatnya tak terlalu resah dengan cuaca panas. Terdengar bunyi gemeletuk dari tekanan gigi memecah es batu di dalam mulutnya, sesekali ia berdesah usai menenggak es teh. Betapa sensasi segar menenggak minuman dingin di tengah cuaca panas sangat menyegarkan. Barangkali nanti malam akan turun hujan.

Kulacino terbentuk di atas meja kayu, tumpang-tindih, lebih dari sebelas, menandakan ia telah berkali-kali meletakkan gelas kaca berbentuk serupa tabung mini berisi air es itu. Tak cuma berkali-kali menggapai badan gelas, yang mengembun akibat uap air berwujud gas melekat di dinding gelas. Matanya juga mengamati cahaya dari atap tak tertutupi kalsibot, yang terperangkap di permukaan air es-tak terlalu jelas sebab adanya bongkahan kecil es batu mengapung. Atap rumahnya sungguh perlu perbaikan.

Decit motor direm dan bunyi knalpot terdengar sepersekian detik dari luar rumah. Tak berselang lama kemudian, terdengar derap langkah mendekati pintu. Ia mengalihkan pandang ke arah suara itu yang terhalangi dinding ruangan tamu. Detik-detik berlalu, pintu berderit, pijakan kaki pada lantai rumah yang terbuat dari adukan semen, perlahan menggetarkan jiwanya. Tanpa melihat siapa yang masuk-hanya mendengar bunyi langkah itu-ia langsung paham itu langkah anaknya, Abdullah.

"Assalamualaikum, Pak," sapa Abdullah.

Ahmad terkekeh dengan tatapan sinis. "Habis ke mana saja? Jadi anak kalau tak betah di rumah mending cari kerja, jangan malah nongkrong terus."

Abdullah mematung dan memejamkan mata.

"Ngapain pulang kalau bisanya bikin susah orangtua, hah?" Lekas menggapai gelas dan menenggak sisa air es. Kembali meletakkan gelas dengan gerakan cepat. Hantaman pantat gelas dengan papan meja rapuh itu, menciptakan bunyi bekertak seperti pelupuh terinjak.

"Tanya dulu, Pak. Jangan asal ngomong! Aku Tadi silaturahmi ke rumah Fajar, terus cari kerjaan bareng Taq-"

"Baguslah kalau kamu mulai tahu diri untuk tidak terus-menerus menyusahkan orangtua."

Dada Abdullah kembang kempis mendengar ucapan bernada ejekan itu.

[]

Brak!

Suara daun pintu kamar ditutup penuh dengan letupan emosi menggetarkan hati Ahmad. Ia tahu ucapannya pasti menyakiti hati Abdullah. Namun, sungguh di balik ungkapan bernada menyindir atau perilakunya yang terkesan apatis, ada harapan supaya perubahan itu terjadi sekalipun tak banyak. Betapa keras dan menyebalkan sikapnya, bukan berarti benci. Ada sesuatu yang sulit diutarakan kepada sesama lelaki satu atap. Sudah lama mereka tidak berbincang hangat.

Ahmad menggapai gagang pintu, lalu menekan agar pintu kamar Abdullah terbuka, tetapi tertahan oleh lapisan logam. Sesaat Ahmad mendecap-decap, kemudian mengetuk pintu. "Dikunci segala, Dul? Maafkan bapak ...."

Hening.

"Dul, kamu, tuh, kudu ngerti. Masa mau main terus? Makanya jangan gegabah soal kerjaan. Sudah tahu Luri Resto, tempat kerjamu dulu itu bagus, malah mengundurkan diri. Tak paham, apa pura-pura melupakan kondisi rumah, sih? Kalau nganggur terus gimana bisa beli beras? Kerjaan bapak di sawah juga lagi sepi."

Tidak ada balasan dari Abdullah.

[]

Lagi-lagi ekonomi menjadi perkara. Muak sekali Abdullah saat mendengar ucapan Ahmad. Seolah-olah keputusan yang ia buat untuk pindah kerja adalah sebuah kesalahan besar.

ABDULLAHWhere stories live. Discover now