Suara Hati yang Senasib

2 2 0
                                    


"Kamu tak kerja, Dul?" tanya Mbak Wati di ruang tamu, sedang duduk santai sambil makan camilan berupa keripik singkong asin.

Abdullah menoleh dari ambang pintu. Sebuah koran lokal tergeletak di atas meja, di samping stoples transparan berpenutup bundar warna merah muda. Mbak Wati memungut sekeping keripik itu, yang tinggal separuh stoples, lalu melahap. Kriuk, terdengar agak kurang jelas di telinga Abdullah.

"Mau, Dul?"

Abdullah memaksakan diri tersenyum.

"Makan aja. Enak, nih."

Makanan seenak apa pun, kali ini Abdullah tak berselera. Lebih-lebih makan dari pengeluaran Mbak Wati. Entah respons apa yang bakal Mbak Wati perlihatkan, saat ia menceritakan perihal gaji. Untuk duduk bersebelahan saja Abdullah merasa kikuk.

"Sini," kata Mbak Wati, menepuk-nepuk badan sofa persis di sebelahnya. "Hari ini, kan, kamu ...."

Abdullah berlalu sehingga kata-kata Mbak Wati terhenti.

"Eh, Dul." Mbak Wati berdiri, melangkah mengikuti Abdullah.

Langkahnya terhenti kala Abdullah masuk kamar dan langsung menutup pintu.

Untuk beberapa saat Abdullah bersandar pada badan pintu kayu, memejamkan mata, mengepalkan tangan, lalu merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Ada panggilan tak terjawab saat ia menatap layar ponsel. Seketika ia lempar ponsel itu ke arah nakas, yang berdiri sejajar dengan tempat tidur dan memunggungi tembok. Ponsel menghantam bagian atas nakas, sehingga tercipta bunyi hantaman dua benda keras memekak telinga, sontak ponsel terpantul kasar ke lantai. Abdullah kembali memungut ponsel dan meletakkan di atas nakas.

Bagaikan ada batu besar bergelayut di antara tengkuk dan punggung, ia mendesah dengan agak membungkuk, lalu mendaratkan pantat ke tepian tempat tidur.

Ponsel kembali berdering. Sudut matanya melirik layar ponsel, Taqwa menelepon. Ia tak tergerak untuk menerima panggilan itu hingga terputus. Suasana hati yang begitu kacau setelah penolakan kepulangannya, membuatnya tidak ingin diganggu. Ditambah masalah gaji yang sangat jomplang, membuatnya makin geregetan. Lagi pula siapa dapat mengerti perasaannya selain diri sendiri? Ponsel kembali berdering, kembali diabaikan.

Pintu kamar diketuk-ketuk.

"Dul ...."

Abdullah tidak menanggapi.

"Dul, Mbak masuk, ya?"

Kembali tak digubris.

"Dul, kamu kenapa? Bicaralah biar pikiran bisa tenang."

Tetap tidak mendapat balasan. Hanya keheningan yang membuat Mbak Wati bertanya-tanya. Saking penasaran, ia sengaja membuka pintu.

"Eh, ada apa?" Mbak Wati berkacak pinggang. "Kamu kalau kayak gini terus, kapan mau maju?"

Abdullah tertunduk.

Mbak Wati melangkah selangkah. "Ayo kita bicara! Jangan dipendam. Luapkan saja semua isi hatimu."

Perlahan Abdullah mengangkat wajah dan memandangnya.

Mbak Wati tersenyum, kembali melangkah sembari menyiah rambut panjang yang terurai ke belakang telinga. Pupil mata Abdullah tergerak mengikuti arah langkah Mbak Wati, yang berhenti dan duduk di sebelahnya. Sesaat aroma mawar dari parfum yang melekat di kaus lengan panjang warna merah bermotif bordiran bunga warna-warni, terhidu hidung Abdullah, padahal tadi di ruang tamu aroma itu tak terlalu tercium, kemungkinan karena sirkulasi udara. Semerbaknya sungguh menggairahkan, akan tetapi tidak membuat raut wajah Abdullah yang tergambar kesulitan dan kepedaran hati, ujug-ujug berganti menjadi ceria. Sungguh, luka pada saat pengusiran kembali menganga, kali ini lebih lebar dan dalam.

"Kamu beneran tadi pulang ke rumah dan ketemu bapakmu?" Mbak Wati sengaja langsung ke titik permasalahan.

Abdullah menelan ludah.

Mbak Wati mendesah. "Sebelum kamu sampai ke sini, bapakmu telepon. Dia bertanya, sejak kapan kamu tinggal di sini. Saya, sih, jawab sekadarnya. Dia telepon Mbak setelah diberitahu sama si Ali. Makanya tadi Mbak mau ngobrol soal ini, juga masalah gaj—"

"Ngapain, sih, bapak nanyain hal itu?" Nada bicara Abdullah terkesan apatis.

"Sebenarnya semenjak kedatanganmu di sini, udah pingin banget ngomong ke bapakmu, tapi hal itu langsung diurungkan. Apa lagi pas momen sakit, saat itu udah mau telepon beliau tapi saya batalin, sebab biar bagaimanapun kamu berhak untuk tidak ingin diketahuinya."

"Apakah aku nggak pantas dicintai? Apakah ini sebuah kutukan dari orangtua? Mengapa hidupku begitu kacau? Setidaknya, ketika aku perlu sampai mengemis kasih sayang orangtua, seharusnya ada kekasih hati yang dapat meringankan beban hati dan pikiranku, kan?"

Mbak Wati terpejam. Hatinya serasa tersundut kala mendengar ungkapan tidak pantas dicintai dan seharusnya ada kekasih hati. Nasibnya dengan nasib Abdullah mirip, hanya saja di umur kepala empat, sebagai perempuan yang masih perawan, itu sungguh menyakitkan.

"Dul," kata Mbak Wati sambil menunduk, "Tidak bisakah menjaga perasaan? Tidak sadarkah ucapanmu, meski itu sebuah ungkapan untuk dirimu, tapi saya pun jadi merasakan ikut sakit." Kali ini sesenggukan. "Saya jadi merasa tersindir. Kapan, sih, Mbak punya kekasih hati seperti dambaanmu selama ini?"

Bibir Abdullah bergetar. Ingin berucap, tetapi lidah serasa kelu. Bergegas ia genggam pergelangan tangan Mbak Wati.

"Gak perlu minta maaf, Dul. Paham, kok, rasanya belum punya kekasih. Paham banget. Sangat tersiksa." Suara Mbak Wati terdengar agak berat dan makin sesenggukan. "Saya merawat diri biar tampil cantik pun, sekarang hanya jadi bahan ledekan. Kamu pernah pas kondangan tak ada pendamping, kan? Hitung saja umurmu, bandingkan dengan umur saya. Saya bertahun-tahun lebih lama merasa malu, setiap kali kondangan selalu ditanyain; mana pasangannya dan kapan menikah. Sakit banget, Dul." Air matanya pun tumpah.

"Cup," kata Abdullah. Dengan lembut menyentuh wajah Mbak Wati, mengusap air matanya, kemudian dengan agak ragu-ragu mencoba mendekap. Kini wajah Mbak Wati terbenam, suara isak teredam dadanya.

"Maafkan, Dul, ya, Mbak. Udah bikin nangis."

Kurang dari sepuluh detik kemudian, Mbak Wati menarik diri dari dada Abdullah, kembali duduk, sejenak merapikan rambut, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Perlu Mbak tahu," ucap Abdullah.

Mbak Wati menatapnya.

"Aku pulang diajak Ali, itu pun karena khawatir. Kata Ali, bapak sakit. Spontan aku jadi ingin menjenguk. Entah sakit apa. Tapi apa yang bapak perbuat tadi telah membuatku sadar bahwa aku ini benar-benar tidak diharapkan. Dia memang membuka pintu, tapi bukan untukku. Ya, aku paham saat tangannya diacungkan ke arahku. Tanpa berkata-kata, isyarat itu bentuk penolakan supaya diriku berhenti mendekatinya. Tak berselang lama bapak mundur, berbalik, masuk rumah dan menutup pintu. Sumpah, aku sakit hati banget."

Mbak Wati menepuk-nepuk sebelah kiri pundaknya sendiri. "Nih, kalau mau bersandar, Dul. Kuat, kok. Jangan takut dikatain cengeng. Beban hidup orang berbeda-beda. Bisa jadi, beban hidupmu memang sudah di puncak kekuatanmu." Menepuk pundak lagi sambil kerjap-kerjap, upaya agar matanya tak lagi mengembun. "Mau nangis, ya, silakan. Gini-gini saya tidak tegaan sama sodara sendiri. Biarpun kamu tak punya otak."

Abdullah menyipitkan mata.

"Ini, kan, sudah tanggal gajian. Gara-gara perkara pulang sebentar, malah mewek. Kayak gini, kan, jadi lupa jatah bulanan. Itu, sih, kalau kamu tahu diri."

"Astaga, Mbak." Abdullah tepuk jidat.

Mbak Wati menarik dua sudut bibir hingga bibirnya membentuk garis lurus. "Jangan pura-pura lupa. Dikasih berapa aja, deh. Penting ikhlas. Sudah cukup, kok. Yang kemarin tak perlu dipikirkan."

Lidah Abdullah kelu. []

ABDULLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang