Yang Merindu

1 1 0
                                    

Genggaman mengendur, pisau pun terjatuh. Abdullah mundur. Si perlente tersenyum licik, ketiga anak buahnya lekas mendekati mangsa yang siap menerima tikaman. Namun, Taqwa lekas berseru dan memohon pengampunan.

"Oke, kali ini aku ampuni," kata si perlente. Memasukkan kembali pisau lipat ke saku celana dan kembali berkata, "Mana uang?"

"Maksudnya?" Taqwa mengerutkan kening.

"Eh, penghasilan kedai ini punya Bos Tama. Jadi, kasih semua uang hasil dari jualan kemarin-kemarin. Yang megang uangnya siapa?"

Taqwa mengangguk tanpa balas jawab pertanyaan itu. Lekas berlalu ke dapur, tak lama kemudian kembali muncul.

"Uangnya, nih. Hasil beberapa hari—"

"Sekalian uang modal!"

"Tapi ...." ucapan Taqwa dan Abdullah, yang refleks berbarengan.

"Jangan banyak tapi!" teriak si perlente dengan nada tinggi.

Taqwa terpaksa mengambil uang modal, yang juga disimpan di sekitar dapur, lalu menyerahkan kepada si perlente. Rupanya, si perlente menginginkan lebih. Tidak ada perlawanan dari Abdullah dan Taqwa, biarpun melihat barang-barang di kedai diambil paksa oleh anak buah si perlente. Radio yang tiap pagi dinyalakan sebagai teman menyiapkan keperluan jualan, diambil. Beberapa bangku dan meja, kotak pendingin, gerobak pun diambil.

[]

"Nggak kusangka ini akhir dari pekerjaanku," komentar Taqwa di ruang utama yang kini menyisakan enam meja tanpa kursi lagi.

"Maafkan aku, Bro." Abdullah tertunduk."

"Tanpa kamu emosi, sebenarnya mereka juga akan mengambil barang-barang di sini."

"Aku sumpah kebawa emosi."

"Kupaham. Sekarang kamu mau ke mana?"

Abdullah membisu.

"Mau numpang hidup?" Taqwa terkekeh. "Kamu, sih, segala pergi dari rumah Mbak Wati."

"Mana aku tahu bakalan kayak gini."

"Mending kamu ngontrak, deh."

"Uang dari mana?"

"Aku yang cari kontrakan. Kubayarin buat dana awal ngontrak. Ganti pas kamu punya uang aja."

"Cari kontrakan sekarang?"

"Iya. Eh, tapi kamu di sini saja. Kali-kali mereka datang lagi. Kupergi buat nyari kontrakan."

"Makasih, Bro."

"Ya. Untuk kali ini saja direpotkan. Uangmu masih ada sisa, kan? Buat bikin surat lamaran kerja aja. Tak usah khawatir. Palsukan saja surat lamaran kerja itu nanti. Tenang aja, aku bisa edit ijazah. Kamu tinggal terima beres."

Abdullah kali ini sangat terharu.

"Nanti kukabarin tempat yang lagi buka loker. Kuada info, kok."

Abdullah mengangguk.

"Oke. Aku pergi dulu. Jangan ke mana-mana!"

[]

Hingga mentari terbenam, Taqwa tak kunjung kembali. Gelap ruangan setelah pintu kedai benar-benar ditutup, terasa pekat selama beberapa detik. Matanya sesaat beradaptasi. Cahaya dari celah kecil di antara langit-langit tak terhalangi plafon, membuat keadaan sekeliling menjadi remang-remang, sehingga mata mudah melihat meski didominasi kegelapan. Abdullah menekan ponsel, layar menyala, kemudian jempol menekan opsi senter ponsel. Semburat dari ujung ponsel kini menjadi penerang. Dipikir-pikir, daya ponsel akan cepat habis jika terus mengaktifkan mode penerang, maka lekaslah menuju dapur. Bunyi langkahnya memecah keheningan malam.

Abdullah mendongak ke arah lemari mini yang melekat di dinding dapur, perlahan membuka pintu lemari, lalu berjinjit supaya tangannya mencapai sisi ruang paling atas dalam lemari. Mulai meraba-raba, mencari sesuatu di antara tumpukan barang pecah belah. Benda yang dicari belum tergapai. Kembali meraba-raba. Benda berbentuk lingkar dan dingin tersentuh, itu tumpukan piring. Kali ini jemari mulai memasuki sela-sela lain di antara deretan botol saus, dan tersentuhlah apa yang dicari, lilin.

Setelah itu beralih ke kompor dan memutar tombol putar, api menyala kebiruan. Lekas mematikan ponsel dan mulai mendekatkan sumbu lilin pada api hingga terbakar. Sumbu lilin telah terbalut api, kembali mematikan kompor dan lekas ke ruang utama dengan menggenggam sebuah piring. Ia meletakkan piring ke atas meja yang berada di tengah-tengah ruangan, kemudian memiringkan lilin di dekat piring, api pun melahap sebagian kecil badan lilin pada ujungnya. Panas api perlahan melelehkan parafin hingga menetes ke piring. Dirasa lelehan itu sudah cukup, segera menancapkan batang lilin pada lelehan parafin sebelum mengeras. Lilin pun berdiri tegak.

Decit dari kaki meja saling bersahutan tatkala Abdullah menarik satu-persatu meja, disatukan membentuk persegi panjang sepanjang sekian meter, lantas berbaring di atasnya untuk tidur. Menit-menit berlalu, badan lilin tersisa separuh, ia tak kunjung terlelap. Ada banyak momen-momen masa lalu menggantung di langit-langit kepala. Biarpun ingin sekali mengenyahkan, terasa sulit sekali. Ia akhirnya memilih terjerembap pada suatu peristiwa lampau.

[]

Perempuan berambut lurus sebahu itu mengecup kening Abdullah di atas tempat tidur, yang sama-sama lagi berbaring untuk terlelap. Kala itu, Abdullah tak tahu, pertengkaran yang ia intip bersama Ali, telah meninggalkan jejak luka di dalam hati Marta muda.

"Bu, aku, kan, belum tidur. Kenapa dikecup?"

"Ndak apa-apa. Pingin aja. Kau tak mau disayang, ya?"

"Mau, dong." Kala itu Abdullah langsung berbaring menyamping, lekas memeluk tubuh Marta. "Dul, sayang banget sama ibu."

Marta mengecup kening Abdullah lagi dan berkata, "Jadi anak penurut dan jangan nakal, ya."

"Makanya, Bu. Kalau aku minta jajan, jangan pelit."

"Hanya mengatur jajananmu," koreksinya. Sesaat terpejam kala sinar lampu bohlam nyala-mati-nyala-mati. "Daya listrik kayaknya kurang, ya, Dul?"

"Daya listrik?"

"Ah, kau belum paham."

"Eh, Bu. Aku tadi lihat bapak marah-marah sama ibu."

"Huuust!" Mengeratkan pelukan. "Percayalah, Nak. Kami sayang kau dan Ali. Apa pun yang terjadi. Tetap yakin, biarpun kelak keyakinan itu hampir hilang. Ibu harap kau paham. Ya, kau mungkin masih belum bisa memahami maksudnya. Intinya, Ibu sayang kalian." Kembali mengecup kening Abdullah.

Esoknya. Pagi itu di depan rumah, Abdullah tertunduk dengan kedua pundak ditepuk-tepuk oleh sang ibu. Marta kemudian menyentuh dagu Abdullah, menekan perlahan, lalu menariknya agar terangkat dan supaya saling pandang.

"Mungkin kau belum paham ini, Nak. Paling tidak ini perlu disampaikan. Ibu sayang Abdullah selamanya. Demi Allah cinta ini juga untuk Ali. Ibu harus pergi."

Air mata bak hujan deras mengguyur wajah Abdullah, saat menyaksikan langkah demi langkah Marta menjauh.

"Ibuuu!"

Marta tak berbalik, langkahnya dipercepat.

"Ibu tega! Ibu jahat!" Seketika itu pula berlutut.

Telapak tangan kasar menyusup ke sela ketiak Abdullah. Dengan segenap tenaga Ahmad mengangkat tubuh Abdullah, yang meronta-ronta dan ingin menyusul sang ibu. Jerit tangis Ali di ruang tamu menambah kepiluan pagi. Ahmad segera mendekap Abdullah, mencoba tegar juga ikhlas atas kepergian sang istri.

"Kenapa ibu pergi, Pak?"

Ahmad diam.

[]

Tragedi keluarga, menurutnya begitu. Kenangan ini pernah muncul kala pengusiran, tetapi kali ini Abdullah berani mengingat momen kepergian sang ibu lebih detail.

Allah. Jika aku pantas bahagia di kemudian hari, dekatkanlah diriku dengan bapak. Entah dengan cara apa pun, biarkan aku bersujud memohon maaf. Jika ibu masih sayang kepadaku, paling tidak, beri kesempatan kami untuk saling bercengkrama lagi. Dan jika aku sungguh tak seharusnya sendirian menanggung beban hidup, dekatkanlah jodohku. Aamiin. Abdullah terpejam, dibarengi rintik kesedihan yang mengalir dari sudut mata. []

ABDULLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang