Keputusan Tepat

1 1 0
                                    

Sebuah penawaran kerja ke luar negeri. Rupanya itu inti dari percakapan telepon antara dirinya dengan Ustaz Maliq.

"Jadi seseorang menawarimu ke luar negeri?" Ahmad penasaran. Dia duduk di sofa ruang tamu.

Percakapan telepon tadi memang berlangsung singkat, tetapi menimbulkan rasa penasaran berlebih di benak Ahmad dan Ali. Ahmad juga baru duduk setelah perdamaian lima belas menit lalu. Ali meskipun penasaran, kali ini memilih menyingkir ke dalam kamarnya. Kemungkinan ingin meregangkan otot-otot dengan tiduran karena merasa lelah dari perjalanan pulang tadi.

"Aku nggak langsung meng-iya-kan, Pak. Karena biar bagaimanapun, aku masih punya orangtua. Nggak mungkin langsung menyetujui tanpa restu orangtua juga. Jadi aku ingn mendengar pendapat bapak."

Ahmad merebahkan punggungnya pada badan sofa yang sudah tidak terlalu empuk karena termakan usia. Ia seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Raut wajahnya terkesan serius dan agak tertunduk. Abdullah mesem, tampaknya memahami gejolak batin sang bapak. Tanpa bisa menerka-nerka perasaan Ahmad, Abdullah curiga, bahwa kemungkinan Ahmad sedang merasa tidak mau ditinggal pergi olehnya karena baru saja akan tinggal serumah lagi.

"Jadi ...." Suara Abdullah memecah keheningan.

Ahmad memejamkan mata dengan dada kembang-kempis. Setelah itu berkata, "Apakah ketika aku mencoba mempertahankamu di sini, meski hanya satu minggu lagi pun, akan dapat mengubah segalanya? Jika menahanmu justru akan membuat kesempatan baik itu pergi, lebih baik melepaskan dirimu, kan?"

Abdullah memandangi Ahmad dengan penuh pengharapan.

"Sejujurnya," kata Ahmad lagi. Diam beberapa saat dan berbicara kembali, "Pada dasarnya aku masih belum rela kamu pergi jauh. Ini tiba-tiba sekali. Padahal baru saja membayangkan akan tinggal serumah untuk beberapa saat, rupanya kamu langsung ditakdirkan pergi lagi."

Abdullah berdeham. "Dan kali ini seharusnya pergi dalam keadaan penuh harapan dan doa serta restu dari bapak," ujar Abdullah dengan nada rendah.

"Jika ini adalah keputusan terbaik, maka jangan tolak penawaran kerja itu. Bisa jadi ini akan menjadi jalan rezekimu, yang sudah dinantikan sekian lama dalam hidup untuk memperbaiki situasi dan kondisi perekonomian."

Perihal maksud dari kondisi perekonomian, Abdullah paham sekali menjurus ke mana.

"Jadi restuilah aku merantau."

"Bapak merestuimu, Nak."

[]

Pada malam hari Abdulah menemui Ustaz Maliq di kediamannya. Pertemuan mereka membahas beberapa hal, satu di antaranya mengenai waktu. Terkait berapa bulan Abdullah akan di tempat rantau, akan tinggal di mana, juga pembahasan beberapa jabatan menggiurkan ditawarkan kepada dirinya. Mengetahui ada beberapa jabatan yang ditawarkan, Abdullah tidak langsung menjawab hingga waktu bergulir makin malam, membuatnya harus pulang

Perjalanan pulang menaiki motor matik terasa lebih cepat, ketimbang kala berangkat menuju rumah ustaz Maliq.

Kali ini aku dihadapkan beberapa jabatan pekerjaan di luar kemampuan diriku, yang anehnya dipercayakan begitu mudahnya. Aku sempat berkata sesuatu saat sedang berdiskusi, bahwa apa yang ditawaran itu justru berbahaya jika jatuh di tangan orang yang tidak tepat. Sebenarnya aku merasa bahwa diriku termasuk orang yang agaknya keliru mendapatkan penawaran kerja keren itu. Namun, sepertinya Ustaz Maliq berusaha untuk menjadi keras kepala dengan tetap mempercayakan tanggung jawab pekerjaan itu. Baiklah, aku sudah memilih untuk menerima. Hanya saja aku belum menerima tawaran jabatan itu, hanya menerima merantau ke luar negeri. Bodoh memang. Setidaknya aku masih ada kesempatan untuk memilih pekerjaan lebih pas nanti. Aku yakin. Dan setelah panjang lebar bermonolog dalam hati, ia menambah kecepatan motor.

ABDULLAHNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ