Yang Terbaik

2 2 0
                                    

Langkah Mbak Wati terhenti di dekat jendela kaca, yang terbingkai logam, bercat warna merah. Embusan angin sore agak kencang, rintik-rintik gerimis ada yang terbawa masuk, sehingga jendela harus ditutup. Telempap sebelah kanan, yang memegang selembar uang seratus ribu, lihai sekali menutup jendela. Uang itu seolah-olah melekat di telapak tangan.

"Sebenarnya jika memang sudah tak ada uang lebih, saya juga tak masalah jika tak dikasih duit." Mbak Wati berbicara sendiri, memunggungi jendela.

Kali ini terdiam. Dalam diam ia memikirkan banyak hal, juga mempertimbangkan untuk ikhlas. Sembari melangkah menuju ruang tamu untuk mengambil ponsel yang tergeletak di bawah lembaran koran, ingatannya melayang pada momen beberapa menit lalu.

[]

Abdullah menjelaskan. "Aku gajian cuma tiga ratus ribu. Seratus ribu sudah buat Ali. Sisanya buat bensin, beli minyak wangi biar pada kesengsem, dan beli kaus murahan di pasar. Sisa seratus ribu, Mbak."

Mbak Wati mengulurkan tangannya, lalu menggerakkan jemari naik-turun dengan tatapan sinis. Abdullah paham maksud isyarat itu.

"Serius? Nggak kasihan sama anak yang diusir ini? Bulan depan aja, deh. Aku nanti mau jajan apa? Pas jalan sama cewek, nanti mau jajanin apa? Kan, malu."

Mbak Wati menghela napas. "Bukannya tidak punya pengertian atau rasa belas kasih sama sekali, tapi kamu sadar tidak, sih? Saya ini lagi ingin tahu seberapa peka dan perkembangan otakmu itu." Terkesan sangat menyindir pada kata-kata terakhir.

Rela tidak rela, Abdullah merogoh saku celana, mengambil sisa uang, lalu menyerahkan kepadanya.

Mbak Wati menaikkan sebelah alis dan menarik sebelah sudut bibir. "Gitu, dong. Laki-laki itu dilihat dari perbuatannya. Seberapa teguh memegang prinsip dan bagaimana menjaga dirinya untuk bertanggung jawab adalah dengan tidak banyak alasan untuk menutup-nutupi kelemahan dirinya."

"Ini fakta, Mbak."

"Iya, saya percaya. Tapi, ini juga tanggung jawabmu. Saya bisa saja mengusirmu. Saya bisa langsung menghinamu. Namun ... tidak perlulah dijelaskan berkali-kali."

[]

Kenangan tadi melebur saat Mbak Wati menatap layar ponsel, senyum-senyum sendiri menatap foto. Detik-detik berlalu, setelah mempertimbangkan dengan pikiran yang sesekali terganggu wajah lelaki pada foto di ponsel, ia pun meletakkan ponsel ke atas koran dan berlalu ke kamar Abdullah.

Langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar tergerak terbuka dari dalam, kemudian tampak Abdullah melangkah keluar, lalu menutup pintu. Melihatnya mengenakan kaus polos hitam yang dibeli tadi, dipadukan dengan jaket jin biru muda, membuat Mbak Wati bertanya-tanya dalam hati. Rapi banget. Mau ke mana ya si Dudul? Katanya duit sisa segitu doang? Lah, ini mau main. Jangan-jangan masih punya banyak duit. Eh, tapi wajahnya kenapa kek lesu banget gitu.

Abdullah menelan ludah kala menatap Mbak Wati yang mengernyit.

"Dul, lesu banget, sih?" Mbak Wati mengawali.

Abdullah melangkah mendekat, berhenti di hadapannya, lalu menunduk. Sesaat bingung harus berkata apa.

"Woi." Mbak Wati meremas pundak Abdullah. "Kamu kenapa lagi?"

Abdullah geleng-geleng.

Tangan kiri Mbak Wati menggenggam pergelangan tangan kanan Abdullah, lalu menarik dan membalik, hingga ia melihat garis telempap Abdullah. Lantas tangan yang menggenggam uang, hinggap ke telempap Abdullah. "Ini Mbak kembalikan. Uang ini jauh lebih kamu butuhkan. Saya masih dapat jatah kiriman uang dari saudara yang merantau, kok."

ABDULLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang