Yang Menggerakkan Hatinya

1 1 0
                                    

Perempuan berambut sebahu itu—di ambang pintu—mengulurkan tangan, yang menenteng sesuatu di dalam plastik oranye. "Ini nasi bungkus buatmu, Dul."

Abdullah melongo.

"Sudahlah. Terima saja. Kebanyakan mikir banget."

"Tapi—"

"Isinya nasi goreng. Sudah ada sendoknya juga. Dan sendok tak perlu dikembalikan. Warung makanan tadi kebetulan masak nasi goreng. Kata anakku, masih kenyang karena tadi habis makan jajanan. Jadi ini buatmu saja."

Segera Abdullah menggapai plastik oranye itu. "Terima kasih, ya."

"Kelihatan banget kamu ingin makan sesuatu tapi ditahan. Rejekimu, tuh."

"Iya. Sekali lagi, Terima—"

"Makasih juga sama Allah. Besok belum tentu, kan, bisa dapet beginian?"

Abdullah mengangguk.

[]

Engkau baik sekali kepadaku. Dan menyendok nasi goreng itu, lalu melahapnya. Enak banget. Dasar aku lagi laper. Allah, jika ini bukan campur tangan-Mu, dia pasti tak akan datang membawa sebungkus nasi. Matanya mengembun. Tatkala mengerjap, setetes air mata mengalir ke pipi, segera ia usap. Aku bingung harus berterima kasih dengan cara yang bagaimana, Allah.

Sontak ingatan Abdullah melayang pada momen tanya jawab dengan Ustaz Maliq.

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." Ini kutipan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 155. Ini termasuk ujian manusia yang diberikan oleh Allah, termasuk ujian untuk umat yang ingin lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Kutipan dari Ustaz Maliq begitu mengena hatinya. Aku hanya masih berusaha untuk memperbaiki diri. Aku memang lapar dan kekurangan uang untuk hari-hari berikutnya. Akan tetapi, cara-Mu ini, meski aku belum tentu mencoba untuk bersabar dan berusaha, Engkau telah menunjukkan keeksistensian diri-Mu. Masya Allah.

[]

Aroma sisa makanan tertempel pada dinding mulut, dan yang keluar dari lubang kerongkongan, menguar tatkala Abdullah sendawa. "Alhamdulillah." Dan buru-buru menggapai botol mineral, menenggak air hingga habis. Tak berselang lama, ia tiduran dan tiba-tiba ada kenangan bermain-main di dalam pikiran.

Sejujurnya, kenangan itu berupa memori bertahun-tahun lalu. Akan tetapi, entah bagaimana caranya, ingatan yang telah lama berlalu itu muncul begitu jelas.

Kenangan itu berupa malam dengan langit tidak berawan, dihias kelap-kelip bintang cemerlang. Udara musim kemarau kala itu makin terasa kering setelah api unggun menyala sekian menit, yang kemudian menyisakan arang panas.

"Bapak capek kipas-kipas terus, nih." Biarpun begitu, Ahmad tetap mengibas-ngibaskan kipas anyaman bambu tepat ke arang, yang acap kali semerbak anginnya membuat nyala merah arang.

"Terus, Pak. Ayo kipas-kipas terus!" kata Abdullah penuh semangat.

"Nih, gantian." Ahmad mengulurkan tangan yang memegang kipas ke arah Abdullah. "Mau coba?"

"Ini gampaaang." Pita suara Abdullah kala itu baru berumur tujuh tahun, terdengar seperti bunyi marmut. "Sini biar kukipasin arangnya." Lekas meraih kipas itu.

Ahmad menyambut respons Abdullah penuh semangat itu dengan senyuman. Tidak sampai sepuluh detik kemudian, perempuan berambut lurus sebahu, membuka pintu rumah, Marta.

Marta melangkah santai sambil menggendong Ali. "Sudah jadi belum? Sudah siap, kan, arangnya buat bakar-bakar?"

Abdullah menoleh. "Menurut ibu?"

ABDULLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang