Dua Tahun Kemudian

1 1 0
                                    

Rasanya baru kemarin aku merantau. Eh, ternyata sudah dua tahun. Banyak cerita yang ingin kubagikan kepada orang-orang yang sangat berarti di dalam hidupku, terutama kepada bapak. Aku yakin Ali menungguku pulang, bukan karena kangen, tapi ingin oleh-oleh. Sebenarnya jahat, sih, kalau benar begitu. Akan tetapi, Ali sungguh menyayangi diriku dengan caranya yang menyebalkan. Ya, bagiku momen mengupil itu sangat menyebalkan. Abdullah yang lagi duduk santai bersandar pada kursi penumpang di dalam pesawat, membatin begitu.

Punggungnya merasa nyaman bersandar lama-lama. Rupanya bahan pelapis kursi terasa lembut dan empuk. Sesekali ia menghirup napas dalam-dalam, dan udara sejuk di dalam kabin yang terhirup, mengisi kekosongan ruang dada. Omong-omong, penerbangan kali ini tak disesaki oleh penumpang, tidak ada orang di sampingnya. Leluasa sekali.

Pramugara berseragam dominan warna hitam itu sedang menjelaskan hal teknis terkait keselamatan penumpang kepada si penumpang tua. Kakek itu terkesan apatis dengan tidak terlalu banyak tanya kepada pramugara itu. Mereka ada di deretan lima dari posisi Abdullah duduk.

Merasa itu bukan hal yang perlu diperhatikan, Abdullah memalingkan wajah, mengamati gumpalan awan putih di langit cerah dari balik jendela pesawat. Dua menit kemudian, beralih posisi menjadi duduk tegak seraya mengangkat dan menekuk lengan, yang terselubungi serat jaket jin. Sejenak ia berusaha memilin sekitar sepuluh sentimeter, hingga arloji yang melingkar di pergelangan tangannya terlihat. Jam sebelas siang lebih tujuh menit, terbaca dari matanya yang barusan mengamati arlojinya sejenak.

Ia kembali menutupi arloji dengan serat jaketnya, kemudian tersenyum. Ini barang pemberian seseorang yang hingga sekian lamanya masih kupakai. Entahlah, mengapa jaket ini masih suka kukenakan. Padahal warna seratnya sudah memudar. Pada dasarnya jaket jin yang semakin lama masa pakainya, akan makin nyaman dan makin autentik. Mungkin ini yang bikin aku suka memakainya. Ah, aku jadi nggak sabar ingin segera menemuinya, sebab aku jarang menghubunginya pas kerja di Batam."

Penumpang perempuan berambut lurus panjang mengenakan blus biru tua berjalan cepat-cepat ke arah toilet pesawat. Tanpa sengaja telapak tangannya menyentuh bagian kursi yang diduduki Abdullah, saking kebeletnya ke toilet.

"Eh," komentar Abdullah.

Perempuan itu lekas berlalu.

[]

Sosok perempuan itu tiba-tiba mengingatkan dirinya kepada kekasih Taqwa karena ada kemiripan. Dari teringat itu, ingatannya justru terbang jauh ke belakang. Hingga jatuh pada momen pernikahan Taqwa dan sang kekasih. Kebetulan saat pernikahan sang kawan, Abdullah mendapat giliran cuti dan diperbolehkan pulang untuk mengurus segala hal teknis terkait kewarganegaraan, juga untuk mengistirahatkan tubuh.

Tanggal 14 Februari, pernikahan sakral terselengara. Abdullah sangat senang, sebentar lagi bisa menyaksikan akan nikah. Sesaat ia berdiri di hadapan panggung bundar dikelilingi tangga tempel berupa undakan-undakan, dan dilengapi kanopi berhias bunga-bunga. Warna bunga indah itu senada dengan warna panggung akad nikah.

"Mewah juga, ya? Jadi ngiri." Suara Mbak Wati membuat Abdullah menoleh ke belakang.

"Masih ada yang lebih mewah lagi, kok."

"Ya iyalah. Hanya saja dari apa yang saya lihat, ini pernikahan mewah."

"Yang sederhana juga bisa jadi mewah. Mewah itu, kan, relatif. Kayaknya, sih."

"Misal saya menikah nanti, pokoknya kudu kayak bidadari."

"Bidadari keseleo?"

Sontak Mbak Wati mencubit lengan kanan Abdullah.

"Aw ...." Refleks Abdullah bersuara begitu. Suaranya tidak terlalu keras, juga tidak mememancing kekepoan para tamu ndangan, yang sudah lebih dahulu ada di tempat.

"Makanya jangan kelewatan kalau bercanda."

"Ya, maaf."

"Tak perlu meminta maaf. Tak akan diterima maafmu."

"Serius? Tega banget kalau benar kayak gitu."

"Makanya buruan cariin saya cowok."

"Masih belum laku?" Abdullah melongo.

Mbak Wati sontak menoyor kening Abdullah. "Keterlaluan baget, sih? Awas, ya! Gini-gini masih jomblo karena pilih-pilih pasangan hidup."

"Jadi Taqwa termasuk pilihan tepat? Namun, sekarang menjadi tidak tepat di kehidupan Mbak Wati."

Mbak Wati Mendesah.

"Melupakan kisah manis di masa lalu memang sulit. Eh, tapi Taqwa pada saat itu belum ada hubungan apa-apa sama Mbak Wati. Jadi, aneh banget kalau masih mengharapkan cintanya."

"Move on itu memang sulit, ya ...." Berhenti berkata-kata ketika melihat Taqwa dan sang calon istri keluar dari kamar rias, dan kini tengah berjalan menuju. proses akad nikah yang diadakan di tengah-.tengah aula.

"Tolong dikondisikan saja matamu, Mbak."

"Tenang saja. Saya masih bisa mengatasinya."

Kurang dari lima detik kemudian, ada suara pria bertanya. "Kenapa tak bareng saja berangkat ke sininya, sih?

Abdullah dan Mbak Wati terpancing suara itu. Mereka menoleh dan melihat kemunculan Galih.

"Perasaan, kamu nggak akrab-akrab banget sama dia, deh," tebak Abdullha seraya mendekati Galih. Saat sudah berhadapan, ia memeluknya. "Sebenarnya sengaja nggak ngajak kamu kemari. Eh, tapi malah kamu ke sini."

"Makanya tanya dulu begitu. Akuh diundang atau tidak. Ya, aku dan Taqwa memang tak terlalu akrab. Ketemu juga bisa dihitung jari. Tapi, kita pernah saling berbagi nomor kontak, lho. Sesekali dalam hitungan bulan, terkadang saling berbalas pesan. Dibilang akrab pun tidak. Dan menurut akuh, tak masalah datang buat kondangan. Lagian akuh mau makan banyak."

Abdullah dan Mbak Wati agaknya terhibur dengan lelucon di akhir ucapan Galih.

Suasana menjadi khidmat saat penghulu menjabat tangan Taqwa. Para tamu menyaksikan itu. Abdullah, Mbak Wati dan Galih, duduk di bangku bagian selatan aula, sehingga mereka leluasa menyaksikan penghulu yang saat ini mengucap kalimat akad. Setelah itu, giliran Taqwa menjawab kalimat akad.

"Sah?" Begitu pertanyaan penghulu kepada saksi-saksi di atas altar.

Kebahagiaan terpancar di wajah Taqwa dan sang istri, ketika mendapati pernikahan mereka dinyatakan sah.

[]

Setelah barusan terjerembap dalam kenangan atas pernikahan Taqwa dan sang kekasih, kini Abdullah tengah bersiap diri untuk merasakan sensasi pendaratan pesawat.

Untung saja waktu itu aku dapat cuti beberapa hari. Jadi bisa menghadiri pernikahan Taqwa sekaligus bayar utang. Terkait bayar utang, nggak banyak yang tahu. Percintaan Mbak Wati kala itu masih sama, jodohnya belum tahu alamat rumahnya. He ... he ... he .... []

ABDULLAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang