Bab 1

15.7K 1.6K 29
                                    


Setelah memastikan penampilannya sudah sempurna, Yaya segera mengenakan sepatunya. Ia tak lupa mengunci pintu dan pagar rumah sebelum keluar. Barulah setelah itu ia melangkahkan kaki dengan ringan menuju rumah yang berada tepat di depannya, rumah Guntur.

Seperti biasa, Yaya langsung masuk begitu tiba di rumah Guntur. Karena terlalu sering datang ke rumah Guntur, bahkan Ibu memberikan satu kunci rumah untuk Yaya, agar memudahkan dirinya keluar masuk rumah dengan leluasa. Hal itu juga berlaku untuk keluarga Guntur yang memiliki kunci cadangan rumahnya.

Hal ini berawal saat Yaya yang pernah terkapar hampir tak sadarkan diri di dalam rumah tanpa ada seorang pun yang tahu. Jika saat itu Guntur tidak mengantarkan titipan makanan untuknya, mungkin Guntur tidak akan tahu bahwa ia sudah terkapar tidak berdaya di dalam rumah. Tensinya yang mendadak tinggi membuat kepalanya berat dan berputar tak karuan. Saat itu, Yaya bahkan tak sanggup untuk bangun dari tempat tidurnya. Pintu rumah harus didobrak oleh Guntur karena tidak mendapatkan jawaban Yaya dari dalam rumah. Yaya langsung digendong dan dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.

Semenjak kejadian itu, Yaya memberikan kunci cadangan rumahnya untuk keluarga Guntur. Tentu saja setelah melalui perdebatan panjang dan omelan dari Guntur. Akhirnya Yaya bersedia memberikan kunci cadangan pada Ibu. Omelan Guntur lebih memekakan telinga dibandingkan omelan Ibunya.

"Yaya, kok bengong di ruang tamu?" tegur Ibu lembut yang berjalan ke arah Yaya. Ia mengamit lengan Yaya dan membawanya ke meja makan. "Udah ditunggu Guntur sama Ilmi di meja makan. Ibu udah masak nasi goreng pete kesukaanmu. Ilmi juga suka menu itu," lanjutnya dengan semangat.

"Tapi Guntur kurang suka." Yaya terkekeh pelan.

Ibu mengibaskan sebelah tangannya yang bebas. "Halah, biarin aja," sahutnya ringan.

Begitu menginjakkan kaki di ruang makan, Guntur menampilkan senyum lebar sembari melambai ke arahnya.

"Apa aku bilang, Yaya pasti lama mandinya," ucap Guntur begitu Yaya sudah duduk di hadapannya.

"Wajar dong, namanya juga cewek," bela Ilmi. Kemudian ia menatap ke arah Yaya. "Mas Guntur kalo mandi emang secepat kilat. Makanya masih sering bau badan."

Yaya terkekeh mendengar ledekan Ilmi untuk Guntur.

"Udah, jangan mulai kisruh. Masa tiap pagi, Ibu harus dengarin kalian yang saling ledek," lerai Ibu. "Kamu harus cepat berangkat biar gak telat masuk kelas," lanjutnya menatap Ilmi.

"Iya, Bu," jawab Ilmi malas.

"Yaya, tensi pagi ini normal?" tanya Ibu setelah mengunyah nasi gorengnya. Tatapan matanya tertuju pada Yaya yang baru saja menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.

Yaya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

"Kata Mas Guntur, Mbak Yaya habis dari mini market ya tadi pagi?"

Yaya baru saja akan membuka mulutnya, tapi sudah keduluan oleh Guntur. "Beli pembalut dia. Soalnya lagi berdarah."

"Guntur," tergur Ibu penuh peringatan. Tidak lupa delikan mata tajam untuk anak laki-lakinya.

"Guntur emang mulutnya minta diulek, Bu," sahut Yaya menatap Guntur dengan menyipit tajam.

"Jangan kayak gitu sama Yaya." Ibu menatap Guntur dengan pandangan galak. "Yang sopan kalo ngomong sama perempuan," lanjutnya menegur anak sulungnya.

Yaya merasa di atas angin begitu Ibu membelanya. Ia meleletkan lidahnya, membuat Guntur berdecak pelan melihat tingkah kekanak-kanakannya.

Usia mereka boleh sudah dewasa, tapi kelakuan mereka persis seperti bocah ketika sedang bertengkar. Hal itu sudah hal yang tidak asing lagi bagi Ibu. Kebersamaan Guntur dengan Yaya membuat hubungan pertemanan mereka berdua sangat-sangat dekat.

Lucky to Have You [Completed]Where stories live. Discover now