02

9 1 0
                                    

Mata tajam seseorang kini mengamati sebuah bangunan yang nampak luas dipadati para pengunjung. Badannya terhalang oleh tembok di lorong sepi yang tak jauh dari sana.

Gerakan orang itu cekatan membidik objek di depannya dengan kamera hitam seharga puluhan juta miliknya. Seorang pemuda yang kira-kira berumur pertengahan dua puluh sedang mengelap meja, menjadi sasarannya.

Ckrek!

“Sialan,” desisnya saat pelayan itu menoleh ke arahnya. Bukan hanya sampai situ saja, dia keluar dari cafe menuju ke arahnya.

Orang itu lantas melarikan diri sambil memeluk kamera di dadanya.

"Sampai di sini saja, aku sudah mendapatkannya,” gumam dia di sela aksi pelarian.

Sebisa mungkin ia tidak menimbulkan derap kaki, terus berlari menuju lorong paling ujung sampai menembus jalanan ramai ke dalam pasar.

Tidak ada pilihan lain, selain berlari sekarang. Namun karena takut menimbulkan kecurigaan, ia mulai mengurangi kecepatannya dan bergabung dengan keramaian pembeli.

Fokusnya sekarang hanyalah untuk melarikan diri secepatnya. Ia yakin, bahwa para pekerja di cafe itu bukan orang sembarangan. Walaupun dia tidak tahu apakah objek gambarnya tadi masih mengejar atau tidak, yang jelas pilihannya hanyalah melarikan diri secepat mungkin.

Dia begitu sibuk memikirkan hal itu sambil sesekali menengok ke belakang untuk memastikan, sampai-sampai tidak sadar, bahwa seseorang yang tengah menikmati minuman di tangannya datang dari arah berlawanan akan menabrak dirinya.

Brak!

“Aw, sialan!” umpat pria itu.
Bulir hijau serta gula dan santan yang kental mengotori baju keduanya, sebelum akhirnya terjatuh ke jalan. Pejalan kaki yang lain hanya berlalu tanpa mempedulikan mereka.

“Apaan, sih? Buta, ya? Jalan, tuh, liat ke depan, bukan ke belakang!” omel perempuan pendek itu. Sambil membersihkan seragam kerjanya yang kotor ia kembali menyindir, “Oh, pantes nggak liat, pakaian saja serba gelap begini, bagaimana bisa melihat, kan?”

Si pelaku hanya diam, bahkan tidak berminat untuk melihat wajah orang yang ia tabrak sedikitpun. Lebih parahnya lagi, ia bahkan berniat pergi dari jalanan yang sudah mulai ramai. Menyadari sang penabrak tidak bertanggung jawab itu akan pergi, Joly lantas menahan lengan kirinya dan mendorongnya hingga mundur beberapa senti.

“Bangsat!” Suaranya menggelegar dan menyeramkan, membuat Joly merinding dan menelan ludahnya ketakutan. Ternyata orang yang ia tabrak adalah laki-laki, dan laki-laki itu sekarang sedang menatapnya dengan tatapan penuh amarah.

“Dasar pengganggu, kau membuang waktuku! Apa kau tidak punya pekerjaan lain hingga mengurusi hal sepele seperti ini, hah! Ini! Ambil ini semua ambil!” bentak laki-laki tadi, sambil membuang beberapa lembar uang ke hadapan Joly.

“Lucu sekali! Kau yang menabrak dan kau yang marah-marah.” Joly berkata ketus, meski begitu ia tetap mengambil lembaran uang tadi dan menyimpannya dengan baik di saku celananya.

“Tapi, untuk uangnya aku ucapkan terimaka–” Kalimat Joly tidak selesai, karena sang lawan bicara sebelumnya ternyata telah hilang. Sangat cepat sekali ia pergi, tapi Joly tidak mau ambil pusing. Ada hal lebih penting yang perlu ia lakukan, yaitu pergi ke tempatnya bekerja sebelum terlambat.

Sudah dua tahun Joly bekerja di Aleksei’s Cafe. Bekerja di sana bagai keajaiban baginya, karena cafe tersebut adalah salah satu tempat kuliner paling terkenal yang berada di pusat kota.

“Oi, Yohan!” Joly menyapa salah satu rekannya, seorang pemuda 26 tahun yang bekerja sebagai pelayan. Padahal dia baru saja membuka pintu masuk, tapi semangatnya sudah mengudara ke penjuru cafe.

“Ya.” Yohan menjawab singkat. Sibuk membersihkan meja-meja dan lantai keramik yang entah sudah berapa kali ia mandikan dengan sabun. Menurut Joly, Yohan itu gila bersih. Setiap hari ia datang subuh pagi dan pulang terlambat di malam hari, hanya untuk mengepel lantai dan mengelap meja berkali-kali. Memastikan tidak ada debu sama sekali.

“Dasar si perfeksionis.” Joly mencibir, lelah sendiri melihat ada manusia serapi Yohan.

“Tahu tidak, Han? Dewi fortuna sedang berpihak padaku hari ini. Tadi, ada orang aneh berpakaian serba hitam yang menjatuhkan es dawetku, lalu memberikan 10 poundsterling untuk ganti rugi, gila kan!” Joly mengeluarkan uang dari saku celananya, kemudian dia hamparkan di atas meja.

“Banyak, kan?” ujarnya angkuh sambil mengangkat alis dan berkacak pinggang.

“Kenapa kau menerimanya? Harusnya kau kembalikan saja, itu termasuk pencurian, kau mengambil sesuatu yang bukan hakmu.” Balasan Yohan tentu membuat Joly kesal, dia kan sudah bilang itu uang ganti rugi. Tapi, Yohan dengan segala pemikirannya memang tidak pernah bisa Joly pahami.

“Aaaaaaaa!”

Teriakan dari arah luar terdengar samar namun saling bersahutan. Joly dan Yohan lantas mendekat ke arah jendela untuk mendapati puluhan orang terkapar di mana-mana.
Sebuah mobil tampak oleng sebelum akhirnya menabrak beberapa pejalan kaki. Jeritan kembali terdengar saat mereka yang terkapar mulai terbatuk sambil memuntahkan segumpal darah.

Sepasang kekasih yang baru saja menyeruput cairan santan dan gula di dalam cangkir bahkan ikut terkapar dengan tubuh kejang-kejang.
Salah satu warga lantas mengeluarkan ponselnya untuk menelepon ambulans. Lain dengan warga kebanyakan yang malah merekam kejadian ini menggunakan ponsel mereka, lalu diunggah ke media sosial.

“Tolong. Ada puluhan orang terkapar dan muntah darah di alun-alun kota,” ucap salah satu warga berhati nurani, sebelum akhirnya panggilan ditutup.
Tidak lama kemudian beberapa ambulans datang, bersamaan dengan seorang dokter yang turun dari mobil. Liana Green, namanya tercetak jelas pada bagian kiri snellinya. Dengan cekatan langsung melakukan tindakan inspeksi, yaitu mengobservasi korban sebelum melanjutkan palpasi-menyentuh secara langsung tubuh korban menggunakan tangannya yang terlapis hand gloves. Beberapa warga yang tidak sadarkan diri segera dibawa ke ambulan untuk diberikan perawatan lebih lanjut. Untuk sementara dia menganggap segelas es dawet yang jatuh berceceran di dekat korban, merupakan penyebab keracunan masal ini.

Sambil memeriksa korban keracunan, Liana juga memberikan pertolongan pertama pada korban yang tidak sadarkan diri dan denyut jantungnya berhenti.

“Dokter?” Yohan menatap Liana bingung. Setahunya dokter seharusnya berada di rumah sakit untuk mengobati pasien, tapi kenapa dia malah turun langsung ke lapangan? Pun, Yohan belum pernah melihat dokter ikut turun saat ada kejadian di luar ruangan seperti ini. Biasanya tim gawat darurat yang membawa pasien lalu diantar ke rumah sakit untuk diobati.

“Minggir, biar saya saja.” Liana mengambil alih pria muda yang masih kesulitan bernapas. Kondisinya penuh keringat dengan wajah yang merah padam, karena berusaha untuk mencari napasnya yang tersumbat. Suara yang dikeluarkan korban pun seperti orang yang tercekik. Karena tidak tahan, ia memukul-mukul dadanya berharap sesuatu yang menyumbat aliran pernapasannya keluar, akan tetapi bukannya lega, dadanya malah semakin sakit. Detak jantungnya tidak terkendali, hingga cairan merah segar keluar dari mulutnya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya kejang beberapa saat sebelum membeku dan membiru.

Liana yang menyaksikan itu segera mengambil catatan kecil di sakunya, kemudian dengan cepat menggores penanya hingga tercetak beberapa kata yang bersatu menjadi satu kalimat singkat.

“Edema paru.” Liana berbisik pelan, lantas menatap ke arah cafe yang berada tepat di hadapannya. Tepat ke arah Yohan dan Joly yang sedang berbisik dan menunjuk para korban. Yohan yang menyadari ia ditatap pun membalas tatapan Liana, kejadian itu tidak berlangsung lama karena Liana langsung memutus kontak mata.

”Damn.”

The Humans LifeWhere stories live. Discover now