06

5 1 0
                                    

Suasana ramai hingga pengunjung rela antre di tengah sengatan mentari. Dari anak-anak hingga dewasa mereka memandang penuh minat dawet yang nampak menggiurkan itu. Semua pekerja kafe sibuk mondar-mandir mencatat dan mengantarkan pesanan.

Jauh dari keramaian, terdapat Daniel mengenakan seragam bewarna hitam dengan kamera senantiasa menggantung di lehernya. Ia mengepalkan tangan melihat hasil yang tak terduga.

Seharusnya tidak begini!

BRAK!

Daniel menendang apapun di sekitarnya untuk melampiaskan kemarahan. Matanya melotot tajam ketika ditatap aneh oleh orang-orang. Tidak bisa dibiarkan!

Ia menunduk, memijat pangkal hidungnya, meredam uap di kepala yang terasa ingin meledak.

Sebuah bohlam menyala di kepala, ia mencari ponsel di saku celana dan menekan dengan cepat. Nomor ponsel tersambung dengan pihak penerima.

“Halo, Tuan. Saya Daniel, boleh kita bertemu?”

Menunggu bukanlah hal mudah bagi Daniel. Sudah satu jam lamanya ia duduk macam orang dungu di sini. Kehadirannya yang mencolok serba hitam mengundah perhatian sedari tadi. Ingin sekali Daniel membanting meja dan membentak mereka semua.

Geraman tertahan saat melihat detik demi detik berlalu. Jika saja ia tidak membutuhkan pak tua itu, tanpa perlu repot-repot Daniel bersikap sopan.

Lonceng berbunyi menarik atensi para pengunjung. Sementara Daniel tetap memandang lurus dengan wajah kakunya. Berulangkali tertipu membuatnya bosan mencari-cari.

Derit kursi ditarik membuat Daniel memandangnya. Tidak bisa disembunyikan lagi rasa kesalnya. Sementara terdakwa hanya menampilkan raut tak bersalah.

“Maafkan kami, sedikit terlambat,” ucapnya tampak benar-benar tulus di kedua mata Daniel.

Mencengkeram kursi, Daniel mengangguk kaku.
“Langsung saja ke intinya–”

“Anda tidak memesan makanan?”

Hal lain yang ia benci selain keterlambatan adalah ketika dia bicara dan seseorang memotong ucapannya.

“Anda bisa memesan sendiri setelah urusan kita selesai.”

Tampak raut Ayah Nayyara kesal. “Anda sangat tidak sopan, seharusnya menyuguhkan saya makanan terlebih dahulu.”

Aku bukan babumu! Sialan!

Memejamkan mata, menahan agar tidak memukul pak tua ini. Daniel merubah rautnya menjadi serius. “Tidak mau mendengar soal Narraya?”

Disebut anaknya seperti itu, ayah Nayyara menegakkan tubuh. “Bagaimana putri saya? Anda sudah menemukannya?”

Daniel menggeleng membuat wajah senang Ayah berubah  suram. “Lalu Anda ingin mempermainkan saya?”

“Begini Tuan,” menghela napas, “saya yakin bahwa kafe yang kita curigai merupakan dalangnya. Berita yang tersebar bukan malah membuat pelanggan sepi.”

“Maksud Anda?”

“Ya, Davien bajingan itu mengeruk keuntungan di balik penderitaan Anda. Setelah melihat ini akankah Anda diam saja?”

Daniel menyerahkan hasil protet di mana kafe ramai pelanggan, nampak di sana Davien melempar senyum pada para pengunjung.

“Di balik sikapnya itulah dia menjerat Narraya dan menyekapnya.”

Papa mendongak dengan manik tidak terima. “Bawa putriku kembali.”

“Maka ikutlah rencana saya,” ucapnya diselingi senyum puas.

The Humans LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora