08

5 1 0
                                    

"Lakukan dengan baik. I don't allow any mistakes." Davien memberi perintah mutlak, membuat Alano yang berada di hadapannya mengangguk patuh.

Sebelum melakukan tugasnya, Alano mengamati dengan saksama dua orang paruh baya yang berada di atas meja dapurnya. Tergeletak tidak berdaya, dengan bagian tubuh terdapat beberapa luka. Kata bosnya yang tidak suka ditentang itu, kedua orang ini adala okh pejalan kaki asing yang tidak sengaja ia tabrak, dan karena rasa pedulinya yang tinggi ia pun membawanya ke sini untuk bertanggung jawab, berniat mengurangi rasa sakit yang mereka derita dan langsung mengirimnya ke surga. Yah, walau Alano tahu itu bohong, tapi berhubung dia tidak peduli, jadi dia hanya mengedikkan bahu.

“Let's see." Dengan tangannya yang penuh kerutan, Alano memeriksa bagian tubuh kedua orang itu, memastikan tidak ada luka luar yang cukup dalam untuk melukai bagian sangat berharga yang mereka incar.

Saat sibuk dengan kegiatannya memeriksa bagian tubuh, tiba-tiba saja mata wanita paruh baya–yang tadi tidak sadarkan diri– itu terbuka dan langsung berteriak histeris. Ia meronta, melempar segala macam benda yang bisa digapai oleh tangannya. Membuat sekotak hitam berukuran sedang yang terbuat dari kayu itu menghantam wajah Alano. Alano yang mendapat Perlakuan seperti itu pun murka, ia berjalan cepat ke arah sang wanita dan dengan cepat menghunuskan pisaunya ke leher wanita tadi. Darah merembes deras karena tepat mengenai pembuluh darah besar, bahkan dalam sekejap wanita itu tumbang tanpa dihitung menit.

"Sialan Alan!" Bentakkan Davien–yang daritadi memperhatikan kinerja Alan– sangat lantang hingga gelombangnya menggema di setiap penampang keramik yang bertekstur solid seperti dapur cafe ini.

"Tidak perlu khawatir. Aku akan membersihkan darah ini. Lagipula aku tidak sampai merusak barang berharga." Alan berucap santai, sebelum kemudian mengangkat tubuh bersimbah darah itu dari lantai. Menaruhnya kembali di meja dapur, dan mulai mempersiapkan pisaunya.

Dengan cekatan, ia membuka seluruh pakaian korban. Lalu menyayat bagian perut perlahan, tipis-tipis dan hati-hati. Hingga benda berharga berwarna merah itu terpampang jelas. Di sana terdapat sebuah organ berbentuk segitiga dan dua buah benda berbentuk kacang merah. Warnanya merah darah, dan  kondisinya benar-benar segar. Alano tersenyum melihat hal itu, warna merah yang begitu membara itu membuatnya terpanah, rasanya seperti jantung di dalam tubuhnya ingin meloncat keluar. Alano selalu suka sensasi ini, sensasi yang begitu mendebarkan dan menebar kengerian di waktu yang bersamaan. Ia suka perasaan di mana hidup dan matinya seperti di ujung jembatan. Yang bila didorong sedikit saja pasti jatuh tenggelam ke dasar sungai. Benar-benar menakjubkan. Dan karena se-menakjubkan itu, Alano tersenyum amat lebar setelah berhasil memindahkan organ tersebut ke kotak biru di belakangnya.

Setelahnya, Alano lanjut membelah dada korban dan mengambil jantungnya yang sebesar gumpalan tangan, ah tidak, bahkan tangan Alano lebih besar daripada jantung milik orangtua Nayyara. Dengan cepat dan penuh pengalaman pula Alano meletakkan lagi jantung tadi ke kotak hijau di samping kirinya. Yang otomatis pula kedua kotak tersebu diambil oleh seorang perempuan berkacamata hitam. Ia menempel semacam logo pada kedua kotak tersebut, kemudian tanpa berbasa-basi langsung menuju ke pintu rahasia dapur. Menuju ke ambulans yang telah menunggu, lantas pergi untuk mengantar benda berharga ke tempat yang beharga pula.

Sekarang hanya tersisa Alano, kedua mayat tanpa organ dan Davien yang  memerhatikan sambil mengisap sigaret.

"Can i?" Alano bertanya pada Davien, yang hanya dibalas anggukan.

Melihat permintaannya disetujui, Alano langsung mengambil tali. Ia mengikatkan tali tersebut kepada orangtua Nayyara, dan menggantungnya seperti dia menggantung kambing untuk dikuliti. Dan yah, Alano menguliti kulit mereka berdua. Seluruhnya. Hingga kulit kuning Langsat yang mereka miliki berubah menjadi merah darah. Bau amis menyebar ke seluruh ruangan, tetapi Alano tampaknya tidak terganggu sedikitpun. Ia sudah seringkali melakukan ini dan tidak pernah bosan barang sekali. Meski di usianya yang telah menginjak kepala tiga, ia sepertinya masih tidak peduli bila nanti tiba-tiba mati.

Selain menguliti korbannya, Alano juga paling suka saat ia harus memisahkan leher dari kepala manusia. Menggorok mereka kasar, lalu menetaknya kuat-kuat hingga tulang keras yang menyambung pada tulang rusuk itu hancur, patah dan terpisah. Lalu setelahnya, ia memotong tangan, kaki, jari hingga usus 12 jarinya menjadi potongan-potongan teratur yang sama berat. 

"Jangan sampai salah timbang." Davien memperingatkan, bukannya apa tapi Alano kalau sudah bermain dengan kesukaannya memang suka lupa waktu.

"Ya, ya, ya." Alano masih sibuk memotong cepat tulang demi tulang, memisahkan daging dari tulang, lalu membuang tulang ke tempat khusus yang telah disediakan. Nantinya, tulang-tulang keras itu akan dihancurkan dengan asam sulfat, pada suhu yang amat panas lalu diuapkan ke luar cerobong.

"Tuan, ada berita penting." Yohan menyela di tengah kegiatan merah itu. Membuat perhatian Davien–yang sedang sibuk menghitung pembukuan sambil menghisap sigaret, dan sambil memperhatikan Alano– itu terganggu.

"Apa?" Yohan hanya diam, tidak bergerak dari depan pintu, membuat Davien dengan segala kepekaannya keluar dari ruangan dan pergi mengikuti Yohan.

Hingga tiba di ruangan kerja Davien, barulah Yohan bicara. "Rexy sialan itu berulah lagi. Dari informasi yang Grace berikan, saat perjalanan pulang ia melihat Rexy yang sedang mengambil sebuah kamera dari sudut tersembunyi pohon mangga di rumahnya." Nada bicara Yohan tenang dan santai seperti sifat aslinya. Berbanding terbalik dengan informasi yang ia sampaikan, hingga berhasil membuat Davien ternganga tidak percaya.

"Lalu apa isi kamera tersebut?" Davien menatap ke langit-langit ruangan, sebab berusaha melonggarkan ikatan dasi yang tiba-tiba saja terasa mencekiknya.

"Belum dikonfirmasi, Tuan. Tapi, sepertinya itu bukti para korban yang semuanya pernah datang kemari. Dan lagi Tuan, dari informasi yang diberikan pemimpin kepala, diketahui bahwa Rexy Narendra bekerja sama dengan Detektif Daniel." Davien semakin ternganga mendengar penjelasan Yohan. Namun, tak ayal ia tertawa jumawa.

"Astaga yang benar saja." Davien tertawa sambil memegang perutnya yang seperti digelitik, setelah tertawa Davien lantas menunjuk ke arah pintu keluar. Menyuruh Yohan pergi dan meninggalkannya sendiri.

Menurut. Yohan hanya mengangguk singkat, lalu meletakkan sebuah kertas berisi 10 digit angka.

"Sialan. Dia pikir dia bisa menang melawanku? Daniel sialan." Davien mengambil smartphonenya lalu menghubungi seseorang yang ia kenal amat bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Setelah menghabiskan beberapa menit untuk bercakap, Davien mencatat sesuatu dan memutuskan pembicaraan. Tersenyum lebar ia keluar dari ruangan, berniat menemui Alano.

"Oi, Alan. Segera kemaskan barang-barangmu dan pergilah ke tempat ini." Davien memberikan sebuah kertas berisi alamat kepada Alano.

"Apa maksudnya ini?" Alano menatap kertas tersebut dengan mata memicing, bagaimana pun ia sudah cukup tua untuk bisa melihat dengan jelas tulisan tangan Davien yang sangat cakar ayam.

"Maksudnya adalah kau tidak lagi bekerja di sini, kau tidak boleh menginjakkan kaki di sini, dan itu berarti kau dipecat dari cafe ini." Davien tersenyum lebar, sedangkan Alano hanya menunduk kesal.

"Kau akan menyesal setelah mengusirku seperti ini." Alano berjalan ke arah Davien dan sebelum pergi menatapnya dengan tatapan tajam.

"Aku tidak mengusirmu, Alan. Aku menyelamatkanmu. Menyelamatkan diriku dan menyelamatkan Aleksei's Cafe."

The Humans LifeWhere stories live. Discover now