03

7 1 0
                                    

"Jadi, selama beberapa hari ini putri Anda belum juga pulang dan sulit untuk dihubungi?" Seorang pria dengan seragam cokelat khas bertanya pada sepasang suami-istri yang melaporkan kasus hilangnya putri mereka.

"Ya, benar, Pak," jawab sang suami.
"Apakah Anda sudah menghubungi teman-temannya?" tanya pria itu sembari mencatat.

"Setahu saya, putri saya tidak memiliki teman, Pak." Pria dengan rambut yang mulai memutih itu kembali menjawab, "Ah, tidak. Setelah saya ingat-ingat, anak saya memiliki satu orang teman pria. Dia pernah mengantarkan putri saya pulang waktu itu," lanjutnya.

"Seorang teman pria, ya," gumam pria yang merupakan seorang polisi itu.

"Baiklah, pihak kepolisian akan mencari putri Anda. Saya harap Anda dan istri tenang saja."

"Baik, Pak," sahut pria itu singkat.

"Ah, sebelum itu, siapa nama putri anda?" tanya polisi itu lagi.

"Nayyara Braylen."

Sepasang suami-istri itu beranjak dari tempat duduk masing-masing setelah melaporkan putri mereka yang hilang pada seorang polisi lalu pergi meninggalkan ruangan.

"Maaf, permisi."

Suara seseorang membuat sepasang suami-istri itu menghentikan langkah kaki mereka kemudian menoleh pada sumber suara.

"Ya?" jawab sang istri di depan seorang pria yang berdiri terdiam tepat di depannya.

"Izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Daniel. Seorang detektif. Maaf sebelumnya karena saya telah lancang menguping pembicaraan Bapak dan Ibu," ucap seorang pria yang mengaku sebagai detektif itu.

"Tidak apa-apa. Jika boleh saya tahu. Ada masalah apa, ya?" tanya sang suami.

"Saya dengar putri Bapak dan Ibu menghilang. Apakah benar?"
Kedua orang itu hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Daniel yang menurut mereka sangat bertele-tele.

"Maaf jika saya bertele-tele, tetapi kedatangan saya menghampiri Bapak dan Ibu bukan tanpa alasan. Saya ingin membantu Anda berdua, dan saya yakin saya bisa melakukannya," kata Daniel penuh percaya diri.
Dua orang di hadapan Daniel hanya berdiri mematung di tempatnya.

"Bapak dan Ibu dapat mempercayai saya," kata Daniel lagi.

Pria dan wanita saling tatap selama beberapa detik.

"Saya akan mencoba untuk percaya padamu," kata sang suami.
Daniel mengulas senyum tipis.

"Apakah anak Bapak dan Ibu bertingkah aneh sebelum menghilang?" Daniel bertanya to the point.

"Ya," jawab mereka kompak.

"Contohnya seperti apa?" tanya Daniel lagi.

"Dia jadi sering ke kamar mandi dan selalu mengeluh sakit perut. Dia tidak ingin dibawa ke dokter dan hanya mengatakan bahwa itu sakit biasa karena menstruasi," jelas sang istri.

"Jika boleh saya tahu, siapa nama teman pria yang Anda maksud sebelumnya?"

"Kalau tidak salah, namanya Davien Aleksei," jawab sang istri lagi. "Saya pernah mendengar namanya saat anak saya bertelepon." Satu sudut bibir Daniel terangkat.

"Baiklah. Terima kasih atas jawabannya. Saya akan memulai penyelidikan. Permisi," ucap Daniel lalu beranjak pergi meninggalkan sepasang suami-istri yang juga ikut meninggalkan tempatnya.

"Davien Aleksei. Hmm, sudah kuduga,” gumam Daniel di sela-sela langkahnya. "Bagaimana pun caranya, aku harus membongkarnya."

"Pak detektif. Anda akan pulang, ya?" Seorang pria melambaikan tangan sembari tersenyum pada Daniel.

"Ketemu," gumam Daniel dengan seringaian khasnya.

"Ya! Aku akan pulang, dan apakah besok kau punya waktu?" tanya Daniel sembari mendekati pria itu.

"Kebetulan aku besok libur," jawab pria itu "memangnya ada apa pak?" lanjutnya.

"Aku hanya, ingin mengajakmu berjalan-jalan, yah, kau tahu bekerja sebagai detektif itu tidak mudah jadi aku membutuhkan sedikit refreshing untuk menyegarkan kembali otakku yang rasanya akan terbakar ini," jawab Daniel panjang lebar dan meyakinkan.

"Oke, baiklah aku mau. Jam berapa kita akan pergi?”

"Di antara pukul 10 atau 11 pagi karena mungkin besok aku akan bangun lebih lambat, tidak apa kan?" Pri di hadapan Daniel itu hanya mengangguk setuju.

***

Keesokan harinya mereka bertemu di alun-alun kota dekat dengan Universitas, seperti apa yang sudah Daniel beritahukan kepada Joshua, seorang polisi yang baru masuk beberapa bulan lalu.

Hening, sudah sekitar 5 menit mereka hanya berjalan dan tidak mengatakan sepatah katapun kecuali saat bertemu tadi. Joshua mulai merasa bosan, dia bukanlah orang yang bisa diam seperti ini.

"Pak, bapak memangnya tidak gerah ya memakai sarung tangan di panasnya matahari siang ini?" tanya Joshua yang sudah tidak sanggup berdiam diri.

"Tidak," jawab Daniel datar tapi kemudian dia mendongakkan kepalanya dan menoleh ke arah Joshua, "Joshua apa kau haus? Aku dengar di sebelah sini ada cafe yang menjual es dawet yang sangat enak." Mendengar kata es dawet membuat mata Joshua berbinar-binar, karena dia adalah pencinta es dawet.

Langsung saja dia menganggukkan kepalanya dengan semangat dan mata berbinar, kemudian Daniel menunjukkan jalannya. Joshua berjalan duluan karena tidak sabaran. Mereka melewati jalan yang sangat sepi dibuktikan dengan banyaknya rumah kosong yang ada di sana.

"Joshua," panggil Daniel pelan, nyaris berbisik, tapi masih bisa didengar. Joshua menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badannya untuk berkata 'apa' dari ekspresi wajahnya.

"Maaf, tapi aku harus melakukan ini."

Lalu setelahnya Daniel mencengkeram rambut belakang Joshua. Saat polisi itu akan berteriak, Daniel sudah terlebih dahulu mencekokinya dengan cairan yang ada di dalam botol kecil. Saat merasakan pahit dari cairan itu, pria di belakangnya melepas cengkraman, membuat Joshua yang memberontak di sela rasa peningnya menghantam aspal.

Bruk!

Joshua ambruk. Tidak lama tubuhnya menggeliat kesakitan, selang beberapa detik dia kejang-kejang dengan mulut yang mengeluarkan busa.

Daniel merogoh saku jaketnya dan mengambil sebuah amplop, lalu kemudian amplop itu dimasukkan ke saku Joshua dan Daniel pun pergi dari sana meninggalkan Joshua yang sudah tidak bernyawa.

Daniel datang ke kantor polisi untuk meminta surat perintah. Alasannya karena ia melihat rekan kerja nya tiba tiba kejang setelah meminum es dawet dari Aleksei’s Café. Setelah mendapatkan surat perintah, ia pergi ke Aleksei’s Café dan memesan es dawet untuk sampel. Diam diam Daniel pergi ke ruang Davien tetapi ia tidak bisa membuka pintu ruangan Davien.

Ketika Daniel mau kembali ke dapur, tiba tiba ia ditahan oleh Davien.

“Sedang apa kau disini?” tanya Davien yang menahan Daniel

“Bukan urusan mu” jawab Daniel dengan sengit.

“Kau tidak bisa menggeledah ruangan ku tanpa bukti tuan” kata Davien dengan senyum licik.

“Bukti-“

“Di sana tidak ada apa apa, Pak,” kata seorang rekan Daniel, Davien pun tersenyum dengan penuh kemenangan.

“Lihat saja nanti," kata Daniel ketika Davien melepasnya.

The Humans LifeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ